"Elle, sudahi acara melamun-mu itu!"
Aku memutar bola mata. Sebelum ada teguran lain yang meluncur, aku beranjak dari jendela, kemudian memasang posisi tidur. Sesungguhnya aku belum bisa dan belum mau tidur, tapi, ya, bagaimana lagi? Aku harus bersabar menunggu semuanya terlelap.
Aku menuruni ranjang perlahan setelah kurasa tidak ada yang terjaga lagi. Kurapatkan kursi belajarku ke dekat jendela, lantas aku melompat keluar secepat mungkin. Beruntung yang kupakai adalah celana, jadi tidak merepotkan.
Semoga saja lariku kali ini cukup kencang. Lihat, objek-objek di hadapanku seolah tertinggal di belakang saat aku melewatinya. Semakin jauh aku berlari, pasir yang kupijaki makin basah.
Aku berhenti untuk menghadap rembulan yang memancarkan sinar remang khasnya. Menatapnya membuat sebagian hatiku tenteram, dan sebagian lainnya merasa tercabik. Selama sepuluh dekade lebih lima tahun ini, tidak ada peristiwa yang berarti dalam hidupku. Yang kualami hanya berupa kisah hitam-putih. Sejauh ini aku masih tidak mengerti, untuk apa Tuhan membiarkan orang sepertiku bertahan sejauh ini?
Aku masihlah aku yang dulu, tidak berguna. Tidak ada harapan. Kepada siapa aku harus memperjuangkan keberhasilan? Ayah? Ibu? Tidak, mereka sudah amat jauh dariku. Mungkin lebih jauh daripada satu bintang di cakrawala.
Langkahku semakin mendekati bibir pantai. Biarlah kakiku terus berlari, sampai ombak menelanku. Apa lagi yang kuharapkan dari hidup ini?
Tiba-tiba, aku merasakan getaran yang lumayan kuat. Hamparan air di hadapanku terguncang. Angin mengamuk, membuat ombak semakin besar.
Susah payah aku melangkahkan kaki menjauhi pantai. Keseimbanganku membuyar.
Kulihat awan di langit memancarkan warna kemerah-merahan. Entah mengapa aku tidak menyadarinya sedari tadi. Antariksa penuh oleh siluet burung raksasa beserta makhluk lain yang menungganginya. Manusia? Mustahil. Buat apa mereka melintasi langit malam? Dengan mengendarai hewan pula.
Kuperhatikan mereka bergerak menuju selatan. Bila dilihat lagi, burung raksasa itu menyemburkan api lewat mulutnya! Tidak mungkin. Itu pasti hanya ilusi.
Hanya satu yang terpikirkan olehku di saat panik seperti sekarang: lari ke asrama secepatnya. Guncangan sudah mereda, jadi aku tidak sesusah tadi untuk berlari.
Anak panah melesat bertubi-tubi, mendarat di mana-mana. Beberapa nyaris mengenaiku, menghilangkan keseimbanganku. Aku ambruk. Dengan tenaga yang tersisa, aku kembali berlari menyelamatkan diri.
Aku terjengkang begitu melihat kekacauan di depanku. Lidah-lidah merah melalap gedung asrama. Suara percikannya sampai ke telinga, terdengar seperti ranting-ranting kayu yang dipatahkan. Orang-orang berlarian tak tentu arah, sedangkan burung-burung tadi berputar-putar di atas api.
"ELLE!"
Aku menoleh pada asal jeritan. Dengan terkejut kulihat teman sekamarku, Ollie, terjebak di antara burung-burung buas yang terbang beberapa meter di atasnya.
Aku menoleh ke kanan-kiri. Aha! Di sampingku tergeletak patahan ranting kayu yang cukup besar. Aku membayangkan benda ini adalah sebuah tombak, lantas kulempar kayu itu sekuat tenaga ke arah burung tadi.
Salah satu hewan itu kehilangan keseimbangan, tapi dia masih bisa terbang normal kembali. Semua kawanan burung menoleh ke arahku. Aku menelan ludah.
"ELLE, AWAS!"
Aku mengerling. Kulihat Ollie berlari panik, kemudian mendorongku. Aku berseru kaget. Beberapa detik berikutnya aku baru menyadari bahwa ada sebuah anak panah melesat ke arahku. Namun, benda itu malah menembus punggung Ollie!
"TIDAK, OLLIE!" aku berteriak kalap. "KALIAN BENAR-BENAR TIDAK BERPERIKEMANUSIAAN!" Kutunjuk kawanan burung di atas.
Bagus, sekarang semua mata itu menatapku tajam. Oke, mereka adalah hewan, makanya tidak punya rasa kemanusiaan. Tapi penunggangnya?
Selanjutnya, terdengar suara gemuruh. Aku menyipitkan mata ke arah suara itu berasal. Awalnya mereka terlihat samar, kemudian semakin dekat terlihatlah kawanan kuda yang ganas dan menyeramkan.
Kubalikkan badan, lalu kembali berlari secepat mungkin. Omong-omong, mengapa hari ini aku banyak berlari? Apakah beberapa hari lagi aku akan ditunjuk untuk mengikuti lari maraton di kota? Ah tidak. Aku menggelengkan kepala. Mengusir semua pikiran aneh di otakku.
Beberapa kali aku menolehkan kepala, lalu berbalik lagi. Begitu seterusnya, sampai aku tersandung sesuatu.
Dahiku menyentuh tanah. Dengan cepat aku berguling ke samping, kulihat kawanan hewan buas itu semakin dekat. Hewan bersayap itu mengeluarkan suara seperti elang. Apakah dia masih satu spesies dengan elang? Aduh! Dalam kondisi seperti ini aku malah sempat-sempatnya bertanya hal semacam itu pada diriku sendiri.
Sekali lagi kulirik raga tak bernyawa Ollie. Aku merasa sangat kehilangan. Mengapa dia harus menyelamatkanku? Padahal, jika dipikir-pikir, masih banyak orang yang menyayanginya, terlebih dia sosok yang baik dan berprestasi. Aku pun terisak.
Indra pendengaranku menangkap suara makhluk-makhluk menyeramkan itu. Mungkin sudah waktunya mereka akan memakanku hidup-hidup. Sebentar lagi aku akan menyusul Ollie. Ya, lebih baik seperti itu. Hidupku memang sudah tak terlalu berguna. Aku pun meringkuk dan memejamkan mata. Terbayang bagaimana makhluk di atas sana bersiap melepas anak panah dari busurnya, atau menerkamku hidup-hidup.
Namun, yang kudengar, suara mereka menggema, lalu perlahan hilang. Bersamaan dengan itu, kesadaranku menurun. Yang kurasakan terakhir kali, sesuatu merengkuhku, lalu menyelimutiku dengan kegelapan. Semuanya pun lenyap. Baiklah, selamat tinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zeologe [On Hold]
Fantasy[SLOW UPDATE] Ketika terjadi pemberontakan yang mengarah pada pembantaian keturunan orang Campuran di Zeologe, pengorbanan diam-diam harus dilakukan demi menjaga keberadaan dua alam. Untuk mengembalikan kekuasaan Zeologe, seseorang harus segera mem...