3. Makanan, Kamar, dan Mimpi

239 20 68
                                    

Aku memandangi sepaket makanan yang dikirimkan Celio, si pangeran yang membawaku ke tempat megah ini. Rasa lapar terus mendesakku untuk segera melahapnya. Aku tidak berharap bisa mendapatkan steak seperti yang sering disantap teman-teman sekolahku. Celio hanya kuminta agar menyiapkan masakan daging, terutama ikan.

Sekarang, aku jadi kehilangan selera makanku setelah melihat bentuk makanan ini. Sungguh, tampilannya tidak mengenakkan, terlihat seperti sayuran yang ditumbuk sampai halus.

"Makanan apa ini?"

Aera, adik Celio yang menyapaku sewaktu aku datang kemari, berdecak, kemudian mendekatkan piring makanan itu kepadaku. "Ayo, cobalah dulu. Ini tak seburuk yang kaukira."

Aku bergidik.

Celio mengetuk pintu, kemudian tanpa diminta, ia melenggang masuk. Ah iya, saat ini aku berada di kamar Celio. Mereka sebisa mungkin menyembunyikanku dari orang-orang. Menurut perkataan mereka, aku ini masih ilegal.

"Bagaimana makanannya?" tanyanya begitu duduk di dekatku.

"Dia tidak mau. Aku sudah memaksanya, dan dia tetap tidak mau," timpal Aera.

Celio beralih menatapku. "Bagaimana kau bisa sampai di sini, sih?"

Aku mengendikkan bahu. "Ya aku tidak tahu! Yang kuingat, di tempatku sebelumnya, sedang terjadi musibah. Tanah bergoyang seperti gempa. Ada makhluk-makhluk aneh yang menyerang tiba-tiba di sana. Lalu aku tak sadar apa yang terjadi selanjutnya, dan tiba-tiba berada di sini."

"Aneh. Setahuku tidak ada orang yang bisa berpindah tempat semudah itu."

"Sebenarnya tempat macam apa Zeologe ini?" tanyaku balik.

Celio menghela napas, kemudian berujar. "Bagaimana, ya, cara menjelaskannya? Zeologe adalah tempat yang berada di langit kesekian, beberapa ribu kilometer di atas kerak bumi, tempatmu tinggal. Kami memiliki tugas yang amat penting; menjaga dan mengendalikan ekosistem di bumi. Kalau dipikir-pikir, sia-sia juga kami mengurusi bumi yang diisi oleh manusia yang hanya bisa merusak. Tapi ini amanat. Raja Agung yang pertama sudah menetapkan hal ini sebagai peraturan bersama."

Celio menarik napas lagi. "Kehidupan kami tak jauh berbeda dengan di bumi, hanya saja dengan tradisi yang berbeda. Apalagi dengan teknologi. Mungkin kau berpikir bahwa teknologi di sini jauh terbelakang dibanding dengan di bumi. Namun, kami masih mencintai alam, sehingga teknologi yang ada dimodifikasi dari alam."

Aku hanya mengangguk-angguk meskipun masih belum paham. Entahlah, aku malas berkomentar. Mungkin nanti jika energiku sudah pulih, aku akan membombardir mereka dengan banyak pertanyaan.

Celio melirik pada makananku yang masih utuh. "Ayo, coba dulu!" Dia mendekatkan mangkuk makanku. Ah, omong-omong, mangkuk ini sepertinya terbuat dari kayu jika dilihat dari teksturnya.

"Mungkin kita tidak harus memaksanya, Celio," ujar Aera.

"Seharusnya tamu makan apa yang kita sajikan, bukan yang dia mau, bukan?" balas Celio. "Hei, makanlah! Aku janji rasanya tidak buruk."

Perutku mengeluarkan irama khas lapar. Cacing-cacing di sana mulai protes, rupanya. Pada akhirnya, setelah aku melawan nafsu untuk makan karena mengingat betapa tidak menariknya makanan ini, aku menyerah.

Tanganku bergerak cekatan menyendok makanan. Bayangan betapa tidak enaknya makanan itu terkalahkan oleh rasa laparku. Aku memejamkan mata, takut rasa pahit melanda lidahku. Mulutku sibuk mengunyah. Saraf-saraf di lidahku dengan cepat mendeteksi rasa makanan yang kukunyah.

Tidak, ini tidak pahit! Tidak juga asin atau asam.

Ini sempurna. Aku pun menyuapkan sesendok berikutnya ke mulutku. Kulihat pula Aera dan Celio yang menatapku dengan wajah gembira, seakan aku ini bocah berumur satu tahun yang pertama kali makan sendiri dengan sendok.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Zeologe [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang