II

18.2K 1.2K 39
                                    

Jax POV

"Kau mau ke mana?"

Aku menoleh sekilas ke arah wanita yang kini sedang terengah dan menatapku dengan menggoda. Aku memutar kedua bola mataku dan menarik resleting celanaku sebelum menatap wanitanya dengan datar.

"Tentu saja kembali ke pesta." Jawabku. "Kau pikir, untuk apa aku datang ke pertunangan Andrew?"

Wanita itu mengerucutkan bibirnya yang tebal. Membuatku meringis jijik dibuatnya. Entah mengapa, aku merasa lega tidak mencium bibirnya yang tebal dan berwarna merah tersebut.

"Aku pikir kau ingin melanjutkan aktivitas kita di tempatmu."

Aku memutar kedua bola mataku. "Jangan bermimpi. Lebih baik kau cari pria lain yang mau menampungmu karena aku tidak tertarik."

Tanpa menunggu jawabannya, aku segera pergi dari hadapan wanita tersebut.

Aku meraih gelas wine dari meja yang telah dihidangkan. Menatap keramaian pesta tunangan Andrew dengan kekasihnya sejak kecil, Iris.

Dari tempatku berdiri, aku melihat Andrew terlihat begitu bahagia. Bisa dibilang, ini adalah pertama kalinya aku melihat laki-laki yang persis seperti es batu itu tersenyum begitu lebar.

Andrew Alexander, pewaris tunggal dari salah satu perusahaan nomor satu di Inggris—mengapa dia rela membuang masa lajangnya diumur yang masih sangat muda? Jika aku jadi dia, aku akan menghabiskan masa lajangku dan membuat target untuk meniduri wanita sebanyak yang aku mau.

Seperti yang sudah kulakukan saat ini.

Dan wanita yang baru saja aku beri quickie, merupakan wanita yang ke delapan ratus sembilan puluh lima. Aku perlu mencari seratus lima orang lainnya untuk mendapatkan targetku—tidur dengan seribu wanita yang berbeda.

Aku menatap Andrew dan Iris sekali lagi sebelum memutuskan untuk keluar dari ruangan yang mulai menyesakkan.

Kedua alisku terangkat ketika mendapati seorang wanita berada di balkon seorang diri. Pemandangan seorang wanita yang memutuskan untuk menyendiri di tengah keramaian—hal yang baru untuk kutemui.

Biasanya, para wanita akan mencari cara untuk menjadi pusat perhatian. Pemikiran tersebut berhasil membuatku memutar kedua bola mataku tanpa sadar.

Aku berjalan dan tanpa berbicara apapun, aku sudah berdiri di sampingnya. Hanya perlu beberapa detik baginya untuk menyadari keberadaanku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat jika dia sedang menatapku saat ini.

Dasar wanita semuanya sama saja. Mereka pasti tidak bisa mengabaikan pesona pria dewasa sepertiku.

"Sudah puas melihatku?"

***

Sudah satu minggu aku tidak bertemu lagi dengan perempuan di bawah umur tersebut. Tidak pernah sama sekali di pikiranku jika aku akan merasakan hal aneh seperti saat ini.

Perasaan aneh semacam aku yang ingin bertemu dengannya kembali, aku yang ingin menyentuhnya kembali, dan aku yang ingin menidurinya berkali-kali.

Parahnya lagi, beberapa hari ini aku bermimpi menidurinya dan dia memanggilku 'Daddy' dengan begitu seksi.

Semalam, setelah aku bermimpi Emma mengendarai juniorku dan berteriak 'Terus daddy, terus! Aku ingin kau keluar di dalamku!' dan detik itu juga aku terbangun dengan kondisi basah pada bagian bawahku.

Aku benar-benar seperti remaja yang baru mengalami mimpi basah untuk pertama kalinya.

Menyedihkan.

Detik berikutnya, aku sudah menghubungi Black tanpa melihat jam. Aku membutuhkan semua identitas mengenai Emma, dan aku akan membuat perhitungan dengannya karena telah berhasil membuatku terlihat menyedihkan seperti sekarang.

Suara ketukan pintu menyadarkanku dari tragedi mengenaskan.

Aku berdeham sebelum berkata, "Masuk!"

Pintu ruanganku terbuka dan tampaklah Black di ambang pintu. Dia menundukkan kepalanya kepadaku sebelum masuk dan menutup pintu di belakangnya.

"Saya sudah melakukan apa yang Bos perintahkan." Aku mengangguk sebagai jawaban. "Emma White Scott, seorang anak tunggal dari Daniel Scott dan Claudia Haryanti-Scott. Ayahnya berasal dari Selandia Baru dan ibunya berasal dari Indonesia. Emma tinggal bersama neneknya yang berada di Selandia Baru. Diulang tahun yang ke lima belas, Emma pindah ke Los Angeles dan mulai tinggal bersama orang tuanya. Seminggu yang lalu, Emma pergi ke Inggris bersama ayahnya untuk menggantikan posisi ibunya yang sedang sakit."

Aku menganggukkan kepalaku. "Lalu, bagaimana dengan kisah percintaannya? Apakah dia memiliki kekasih saat ini?"

Black menggelengkan kepalanya. "Emma belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Ada beberapa laki-laki yang mendekatinya, namun selalu ditolaknya dengan halus."

Entah mengapa, aku merasa senang mendengar berita ini.

"Tapi, dari sumber yang saya terima, Emma akan pergi bersama seorang laki-laki bernama Ashton Baraz pada saat Homecoming yang akan diselenggarakan bulan depan."

Aku mengerutkan keningku dengan tidak suka. "Mengapa Emma tidak menolak ajakan laki-laki itu?"

"Ashton Baraz adalah sahabat Emma sejak kecil. Saya juga mendapat info jika Ashton dan Emma saling menyukai. Mereka juga sudah memiliki rencana untuk mengambil universitas yang sama setelah lulus sekolah nanti."

Black mengulurkan tangannya dan meletakkan sebuah foto seorang laki-laki di hadapanku. "Itu adalah Ashton Baraz, sahabat Emma sejak kecil."

Aku menatap tajam foto yang diberikan oleh Black.

Sungguh? Laki-laki seperti ini yang disukai oleh Emma? Apa dia tidak bisa melihat jika laki-laki ini sangat jelek? Aku bahkan jauh terlihat tampan dan matang jika dibandingkan laki-laki ini!

"Tugasmu sudah selesai untuk saat ini, Black." Kataku pada akhirnya. "Aku akan memanggilmu lagi jika aku memerlukanmu."

"Baik, Bos." Jawabnya.

Tepat sebelum Black membuka pintu, dia berbalik dan berkata, "Satu lagi, Bos. Ashton dan Emma berencana untuk menghabiskan libur musim panas bersama tahun ini."

Ucapan terakhir Black sebelum keluar dari ruanganku telah berhasil membuatku kesal saat ini.

Tunggu saja sampai aku bertemu dengan Emma. Aku akan merantainya hingga dia sadar jika hanya aku yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

***

Tubuhku bergetar ketika aku sampai puncak. Napasku memburu dan peluh keringat membasahi tubuhku.

Aku melepaskan diriku dari wanita yang ada di bawahku saat ini.

Wanita bernomor delapan ratus sembilan puluh enam.

Aku melepaskan kondom yang melingkari kejantananku dan membuangnya di tempat sampah. Meraih pakaianku yang berada di lantai, aku pun mulai mengenakannya. Tidak peduli jika pakaianku akan lengket terkena keringat.

"Kau tidak mau menginap?" tanyanya dengan serak.

Aku mendengus. "Kau tidak tahu istilah one night stand, ya?" ejekku. "Oh ya, sedikit masukan untukmu, kau sangat payah dalam bercinta. Aku bahkan harus memikirkan wanita lain agar aku bisa sampai puncak."

Tanpa menunggu balasan wanita itu, aku sudah pergi keluar dari kamarnya.

Akhir-akhir ini hidupku semakin menyedihkan. Juniorku bahkan tidak mau berdiri walaupun ada wanita cantik dan seksi yang sedang memberikanku oral.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini. Hanya saja, yang aku tahu dengan pasti, juniorku akan berdiri menantang jika aku berpikiran kotor tentang Emma.

Berpikir kotor seperti aku yang sedang memasukkinya dengan keras dan cepat.

Il SuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang