Siapa yang marah?

173 2 0
                                    

Bel istirahat berbunyi, dengan langkah seribu Faris menuju kelas Dinda. Senyum manis segera Faris pasang ketika Dinda hendak melewati pintu.

Dan Dinda melewati Faris, maksudnya Dinda ini mengabaikan Faris.

Senyum Faris langsung luntur macam warna baju batiknya yang memudar. Pantang menyerah, Faris mengejar Dinda. Mensejajarkan langkah kakinya dengan langkah kaki Dinda yang kian cepat.

Semakin lama, langkah Dinda semakin cepat. Faris tak mau kalah. Hingga akhirnya Dinda lari, lalu Faris pun ikut lari.

Faris bertumpu pada lututnya, napasnya habis. Dengan terengah-engah Faris berusaha meraup semua oksigen yang ada di sekitarnya.

Faris mengatur napasnya, menatap Dinda yang menatapnya setajam katana. Aduh, Faris menggaruk tengkuknya.

Faris mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Dinda, "Kenapa?" Tanyanya. Namun naas, tangan Faris ditepis oleh Dinda. Dinda melangkah pergi meninggalkan Faris yang mentapanya dengan nelangsa.

***

"Siapa yang marah?" Faris ingin mencopot kepalanya sekarang juga. Dinda, dengan wajah yang merah dan mata nyaris keluar, lagi-lagi mengabaikannya dengan berjalan cepat.

Apa lagi perbuatan tak salah yang Faris lakukan?

Faris mengejar Dinda, "Maaf deh,"

"Emang kamu salah apa?"

Faris menggaruk kepalanya, "Nggak tau."

"Terus, ngapain minta maaf?" Bumi, telanlah aku sekarang! Faris mengalihkan pandangannya ketika Dinda lagi-lagi menatapnya dengan tatapan setajam katana.

"Dinda Pamiswari." Langkah Dinda terhenti, dengan enggan Dinda membalik tubuhnya. Masih mempertahankan ekspresinya dengan dagu terangkat. Menantang.

Faris menghela napas, satu-satunya cara untuk membuat Dinda berhenti adalah dengan menyebut nama lengkap Dinda. Tebukti kan?

Faris melangkah mendekat, "Mau es krim?" Tanya Faris dengan tatapan teduhnya.

Dinda mengalihkan pandangan, tangannya terlipat di depan dada.

Faris menghela napas, diraihnya Dinda ke dalam pelukannya. "Iya, maaf deh." Tangan Faris dengan telaten mengelus puncak kepala Dinda.

"Jahat."

"Iya, maaf."

"Jahat!" Tangis Dinda pecah, dipukulnya dada Faris dengan lemah.

"Iya, maaf." Meskipun, untuk kesekian kalinya, Faris tidak tahu dimana letak kesalahannya.

Dinda sesenggukan, Faris menepuk-nepuk pelan kepala Dinda,

"Kamu tadi pagi aku chat, balesnya lama."

Faris menghela napas. Jelas aja dibalesnya lama. Ini si Dinda ngechatnya jam 3 pagi. Gimana bisa bales?

Faris melonggarkan pelukannya, menempatkan kedua tangannya disisi kepala Dinda,"Tapi kan udah aku bales." Seraya ibu jarinya menghapus sisa air mata Dinda.

"Tapi kan lama!" Dinda merengek, dipukulnya bahu Faris. Faris dengan segera kembali memeluk Dinda.

Faris memejamkan matanya, kemudian menghela napasnya. Sekarang, kira-kira jadwal bulanan Dinda. Iya, jadwal tamu bulanan Dinda.

Pantesan, Dinda jadi lebih sensitif seratus kali lipat dari biasanya. Harusnya ia sadar akan hal ini dari awal. Jadi Faris akan tahu dirinya harus bersikap bagaimana.

"Yaudah, hari ini Bakso Mamang, yuk?" Faris menampilkan senyum lebarnya. Dinda mengangguk sambil sesekali mengelap matanya.

Faris merangkul Dinda sambil tangannya sesekali mengelus kepala Dinda.

"Tau nggak? Kemarin, bajunya Pak Salim terbang soalnya bajunya dicuci pake sabun winks."

"Nggak lucu, Faris." Meskipun bibir Dinda terangkat mengukir senyum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lovestory.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang