3. Skandal

125K 14.8K 1K
                                    

"Kalau Bos punya mau, anak buah harus maju!"

Bidakara terasa makin sesak. Antrian untuk memberikan selamat pada pengantin mengular sampai ke pintu depan. Ternyata Carlo memang bukan omong kosong. Sebagai salah satu anak pejabat di Indonesia, pernikahan Carlo memang relatif meriah dan mewah.

Aku mengantri sendirian, berkali-kali mencoba mencari massa kantor tapi hasilnya nihil.

"Sendirian?" Tanya suara yang kukenal, "Saya ikut join ya, malas antri dari belakang," kata Tigran.

Aku menoleh, melihat Pak Bos yang sebenarnya terlihat lebih humble dengan batik lengan panjang. Selama ini di kantor dia selalu mengenakan setelah jas lengkap atau kemeja biasa.

"Tumben pakai batik," kataku datar sambil melihat ke belakang.

Antrian semakin panjang, mobil - mobil mengantri hanya untuk menurunkan penumpang. Beberapa  bapak - bapak dikawal oleh panitia pernikahan ketika menerima sebuah kartu bertuliskan VVIP.

"Bapak nggak dapat kartu VVIP dari undangan Carlo?" Tanyaku tiba-tiba.
Tigran menggeleng, "Nggak tuh," katanya.

Dalam hati aku nyaris tertawa. Jadi ini maksud Carlo. Dia sempat bercanda, katanya, ia akan membuat Tigran merasa powerless!

"Panjang banget gini sih ngantrinya," Tigran mulai mengeluh.
"Ya baru gini aja ngeluh," kataku sambil main handphone.
"Maksudnya apa tuh?" Tanya Tigran dengan pandangan sinis.

Ya saya bapak suruh revisi report dua puluh kali sampai pulang pagi aja nggak pakai ngeluh Pak!

"Nggak ada maksud..." kataku santai, kemudian menatap Pak Bos yang memicingkan mata.

Pak bos tidak berkata-kata lagi. Dia sibuk memainkan ponsel.

"Nggak bawa siapa-siapa Pak? Katanya mau bawa pasangan?" Sindirku.
"Kalau saya bawa, kamu sama siapa?" Dia balik bertanya.
"Saya nggak perlu ditemani Pak," Jawabku malas.
"Ya lumayan kan? Kalau nggak ada saya kamu mau nyinyir sama siapa?" Dia balik menyindir.

Oke, perang benar-benar dimulai. Sepertinya selepas atribut kantor, Pak Bos ini semakin sarkas!

"Kamu sendiri nggak bawa pacar?" Tanyanya.
"Nggak," Aku menjawab.
"Baru putus apa pacarnya diumpetin?" Tanya Pak Bos lagi.
"Kan saya di sini penugasan biar Bapak bisa motong antrian," Telak.
Tigran menahan senyumnya, "Fine," Ucapnya.

Antrian terus maju. Sudah setengah jam lewat tapi mendekati bibir pelaminan saja belum. Seringkali antrian diselak oleh tamu-tamu VVIP yang kemudian harus berfoto beberapa kali di pelaminan. Kakiku mulai pegal dan berkali-kali aku memindahkan posisi tumpuan.

"Pegal?" Tanya Pak Bos.
"Nggak, stretching aja," Aku berbohong.
"Pakai hak 20 centi berdiri 30 menit itu pasti..."
"Ini cuma 7 centi," Aku memotongnya.
"Iya whatever itu tetap berhak, ya pasti pegal," katanya.

Aku diam, malas untuk mengomentari. Rasanya ingin sekali bertukar pesan dengan mas Andre atau mbak Karenina, tapi tidak mungkin karena Pak Bos pasti bisa melihat semuanya berhubung dia lebih tinggi.

"Kenapa kamu mau kerja Ra?" Tanya Tigran tiba-tiba.
"Ya cari uang, kenapa nanyanya gitu?" Aku balik bertanya.
"Hmmm...," Dia enggan menjawab.

Aku juga ikut diam. Kami tidak bicara lagi setelah itu. Entah apa maksud pertanyaan Tigran. Ini sama seperti ketika interview pertama kami. Entah perasaanku saja atau tidak, tapi Tigran tampak kaget ketika melihatku. Ada satu pertanyaannya yang menurutku tidak relevan, "Kamu baik-baik saja kan?"

Resign!!! (Only 6 Chapters Left)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang