[1] Prolog

208 16 3
                                    

"Hai, Rengga," sapa seorang perempuan sambil meletakkan bunga lily di atas sebuah makam.

Rengga Laksamana. Sahabat karibnya dari awal berkenal sampai dia 'kembali'. Kunjungan rutin ini adalah salah satu kegiatannya yang dilakukan setiap 1 bulan sekali. Untuk menebus rasa bersalah dari zaman masih imut-imut sampai ke zaman sudah amit-amit. Mengingat betapa bersalahnya dia terhadap sahabatnya yang satu ini. Dosa yang tidak terlalu besar namun memberikan efek yang sungguh luar biasa.

"Eh, Udin. Udah lama, ya, kita nggak nonton drama Korea. Cowok-cowok yang cepat banget peka. Yah, hanya ada di dalam seri drama Korea. Tapi itu hanya ada di dalam drama. Nggak nyata. But, di kehidupan nyata gue. Cowok itu ada. Cowok itu selalu berdekatan dengan gue. Dan cowok itu adalah lo. Cowok yang udah nggak bisa gue jambak rambutnya kalau ada adegan baper di drama Korea. Cowok yang selalu menghibur gue kalau gue lagi ngambek sama Abang sialan lo itu. Cowok yang paaliiingggg... mengerti gue. Gimana pun keadaan dan kondisinya," ucapnya sambil bertopang dagu.

Matanya menatap gundukan tanah itu dengan tatapan kosong. Menerawang masa lalunya yang indah. Masa-masa dimana Tuhan masih memberikan kesempatan kepadanya untuk menghapus beberapa jejak luka yang dulu masih berbekas. Tapi sekarang, Tuhan mengembalikan posisinya ke asal. Dicabutnya semua kebahagiaan darinya dengan cara di ambilnya satu persatu orang yang disayanginya.

"Tau nggak, sih, Ngga? Semenjak lo udah 'nggak ada'... Suasana di dunia ini jadi berubah. Gue aja sampe pingin nyusul lo. Saking jahatnya dunia sama gue. Dan si Udin satunya lagi... Siapa, sih, nama kembaran lo itu?" Tanyanya kepada desing angin. Yang hanya meniup tanpa bisa menjawab.

Dia mencoba mengingat kembali nama seseorang yang membuatnya uring-uringan selama ini. Yang menjadi alasannya untuk berjuangan dan bertahan pada kehidupan ini. Yang menjadi bagian dari do'a dan impiannya selama ini. Walaupun dia, tidak pernah dianggap sekalipun perjuangannya.

"Nah, iya!" Serunya ketika berhasil mengingat nama seseorang yang nyaris terlupakan oleh otaknya.

"Itu... Si Nathen. Ikut-ikutan berubah. Serasa minta di bunuh tuh anak. Kerjaannya ngacangin gue mulu. Kayak cowok yang ada di FTV Indonesia," dengusnya. Sambil menyibak rambut panjang yang hitam nan legamnya ke belakang. Yang memang sengaja ia geraikan.

"Sekeras-kerasnya baja, masih kerasan juga hati kembaran lo, Ngga. Mau dilelehin pake cinta juga nggak bakalan bisa leleh. Walaupun api neraka udah membakar tubuh bahkan hati dia."

Setelah mengucapkan sepenggal kalimat yang hanya mampu di dengar alam. Dan yang akan di sampaikan kepada Tuhan. Perempuan itu bergegas berdiri dari duduknya. Meninggalkan makam sahabatnya itu. Mengakhiri kegiatannya pada hari ini.

"Gue pulang, ya, Ngga. Bulan depan gue main kesini lagi, kok." lanjutnya sebelum dia benar-benar pergi meinggalkan makam itu bersama angin yang terus menerpa makam dan bunga lily yang ada di atasnya.

**

To be continue...

Surat TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang