[2] Terlalu Rumit

139 13 0
                                    

**

Seorang perempuan cantik berjalan dengan santai sambil menelusuri koridor kelas XII. Perempuan yang kerap di sapa Rachel ini, berjalan dengan angkuh dan sombong. Sudah menjadi hal yang biasa dimata siswa-siswi SMA Merpati. Semenjak meninggalnya Rengga dan hancurnya persahabatan antara Rachel dengan Nathen. Semuanya berubah drastis tanpa terkecuali.

"Masih jam enam lewat dua puluh. Berarti, masih ada waktu buat ngelindungin Nathen dari haters sialan itu," gumamnya sambil menatap arloji yang melekat di pergelangan tangannya.

Sudah menjadi rutinitasnya untuk berangkat pagi dan memergoki para haters yang tengah bersiap-siap mengadakan perang dadakan dengan orang yang mereka benci. Rachel berjalan tergesa-gesa menuju parkiran sekolah. Tujuan pertamanya adalah tembok pembatas antara parkiran mobil dan motor. Tempat dimana para bandit-bandit sekolah bersembunyi sebelum mencelakai incarannya. Setelah sampai disana, Rachel melihat dua orang laki-laki yang sedang bersandar dibelakang tembok dan ditangan mereka ada satu gelas kopi.

"Ekhm.." deham Rachel. Sontak kedua laki-laki itu pun berdiri tegap dihadapan Rachel dengan tampang kaget.

"Situ punya otak nggak di pake, ya?" tanyanya dengan santai kepada kedua laki-laki yang diketahui namanya adalah Resto dan Genta.

"Sialan! Eh, punya telinga nggak!? Gue nanya sama lo berdua bukan nanya sama Pak Hutang. Bodoh banget nih anak," Pak Hutang. Salah satu guru killer terpopuler di SMA Merpati. Guru yang bernama lengkap Aan Hutagalung ini berasal dari Medan. Berawal dari Kodir -siswa yang dijuluki sebagai Mad dog SMA Merpati- yang tiba-tiba memanggil Pak Aan dengan sebutan Pak Hutang. Katanya, "Pak Aan itu punya banyak Hutang dengan Pak Sinting." Dan berbagai panggilan lainnya bermunculan semenjak insiden itu, seperti : 'Pak Gunung Galunggung, Pak Situgintung, Pak Peng-hulung ( Pak pemulung), dan lainnya'. Ditambah lagi dengan insiden Manto -teman dekat Kodir- yang menyebut nama Pak Ginting dengan sebutan Pak Sinting. Memang aneh kedua anak itu.

Senyum sinis pun terbit di wajah mereka, entah apa yan membuat mereka mengembangkan senyum seperti itu. Tapi, apakah Rachel peduli? Pasti tidak. Rachel hanya menatap mereka sambil berkacak pinggang. Enggan berdebat senyum dengan mereka. Mendingan berdebat otak, tidak menguras tenaga.

Rachel menggulung lengan bajunya ke atas. Bukan maksudnya untuk menunjukkan pribadinya yang berbeda lagi. Bukan. Melainkan, sedikit kepanasan karena matahari sudah mulai tidak tahu malu memancarkan sinarnya. Tidak seperti tadi, masih malu-malu kucing untuk menampakkan diri.

"Omes ,ya, lo berdua!" Seru Rachel ketika sadar bahwa Resto dan Genta tidak lagi menatap wajahnya yang sangar. Tetapi, mereka melihat benda yang mampu membuat dosa mereka menjadi bertambah.

Sejurus kemudian, Resto dan Genta berjengit kaget. Sekaligus... malu. Malu karena tertangkap basah sedang melihat yang tidak-tidak. Mereka berdua pun kembali menatap wajah Rachel. Menatap wajah yang merah menyala. Matanya mengkilat memancarkan kemarahan. Siapa, sih, yang tidak emosi ketika tahu bahwa orang lain tengah menatap bagian yang 'dilarang'? Semuanya pasti marah. Bahkan, mengamuk mungkin?

Rachel mengepalkan tangannya, meremas ujung roknya yang masih rapi habis disetrika. Padahal tadinya, amarah masih berada di dalam mulut. Belum sampai ke ubun-ubun. Memang keterlaluan anak laki-laki, selalu berpikir yang kotor. Tidak bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

"Bangsat!" Teriaknya dengan kalap.

**

Bu Tati memutar bola matanya malas, melihat wajah Rachel yang lagi dan lagi masuk ke dalam ruang BP. Padahal hari masih pagi. Masih waktunya otak berpikir dengan jernih. Seharusnya pagi-pagi itu menjadi ajang refreshing sementara sebelum jam pelajaran dimulai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang