Sepasang Mata Yang Memandang Di Balik Jendela

33 0 0
                                    


HUJAN rintik-rintik membasahi kaca jendela kelasku. Aku hanya melamun menatap kontras butir-butir cairan yang berjalan siput di kaca jendela. Sebentar, mataku terkatup-katup menahan rasa kantuk, yang terus menerpaku sejak bunyi hujan itu memulai pertunjukannya. Aku sama sekali tak memerhatikan penerangan guru di depan kelasku. Entahlah, rasanya aku malas berlama-lama berada di kelas. Memang, aku memang selalu malas untuk belajar di kelas. Sudah kubilang, entahlah. Aku tak tahu apa sebabnya. Apa karena kondisi keluargaku di rumah? Tidak juga. Mereka baik-baik saja.

Mendadak, kilauan sinar matahari yang mengintip di balik awan kelabu, menyilaukan pandanganku. Aku terbangun. Dan kantukku pun agak hilang. Guruku masih memberikan pelajarannya: sejarah. Aku benar-benar malas mendengar sejarah; seakan-akan kita terkekang dengan masa lalu dan tak berharap banyak pada masa depan yang lebih maju lagi. Mengapa tak ada mata pelajaran 'masa depan'. Selalu sejarah.

Aku beranjak dari bangkuku, meminta diri untuk pergi ke toilet. Ya, kusadari aku sedikit berbohong. Aku keluar tidak untuk buang air kecil atau besar, atau bahkan sekedar mencuci muka. Aku keluar untuk menghindari rasa malasku pada pelajaran itu.

* * *

KEESOKAN harinya, mata pelajaran matematika. Ah, lagi-lagi aku bertemu dengan sesuatu yang rumit. Yang membuatku harus mengerutkan kening ketika melihat angka-angka berhamburan di dalam kertasku. Belum lagi gurunya, yang selalu menuntut siswanya agar cepat paham. Bila tidak, ia pasti akan uring-uringan, seperti anak kecil yang menangis meminta jajan. Padahal, dia harusnya mengerti betul kondisi anak; tidak mungkin menyamaratakan kemampuan anak berdasarkan keegoisan dirinya. Apa mungkin, dia tak mengerti? Atau tak mau mengerti?

* * *

HARI ini tak ada hujan. Panas. Aku lebih suka hujan; dinginnya kaca jendela, kadang membuatku tambah semangat berada di kelas. Meskipun sebenarnya aku malas. Oh, aku baru sadar. Ini hari Jumat. Hari di mana lelaki itu olahraga. Aku mulai tambah semangat ketika kulihat anak-anak kelas dua belas sosial mulai keluar dengan baju olahraganya; yang menurutku sih agak norak.

Mataku sebentar-bentar teralihkan; pada kertas ujianku, dan pada sosoknya. Tapi, di mana dia? Aku mencari-cari sosoknya. Aku mulai gelisah. Maka dari itu, kupusatkan lagi perhatianku pada soal menyusahkan ini; kuhitung, kuanalisis, kutarik kesimpulan. Ketemu. Satu soal terselesaikan. Namun, sebentar kuperiksa lagi, lalu lanjut ke nomor berikutnya.

Baru aku akan lanjut ke nomor dua, aku mendengar suara lantangnya, tentu saja aku segera menoleh ke jendela dan mencari sosoknya. Ah, itu dia. Ternyata dia baru mengambil bola voli dari ruang olahraga. Entahlah, aku ini menyukainya atau tidak, yang jelas aku selalu senang melihatnya beraktifitas di lapangan; entah saat dia olahraga: main futsal, basket, atau payah dalam main voli. Atau, dia sedang berbaris, atau juga sedang melamun di bangku taman depan kelasnya. Aku selalu senang melihatnya. Ah, apa aku jatuh cinta padanya? Tidak, tidak. Aku sudah punya pacar. Tapi, perasaan apa ini?

Konsentrasiku selalu teralihkan pada sosoknya yang payah dalam bermain voli. Aku menahan tawa saat bola voli yang diumpan temannya, kena wajahnya. Aku tersenyum saat dia menghardik teman-temannya yang ceria. Aku kembali tersenyum saat guru olahraga memarahi mereka. Lucu sekali. Kadang, aku cemburu dengan keceriaan mereka, meskipun sekarang anak dua belas seperti dirongrong dengan kelulusan, dan memilih perguruan tinggi yang paling baik.

Yap, nomor tiga sudah selesai, nomor empat sudah, dan sekarang mulai menghitung soal nomor lima. Aku kembali mengerenyitkan dahi. Daripada pusing, kualihakan pandanganku ke arahnya lagi. Aku melihat tawanya. Aku melihat senyumnya. Aku melihat segala kebahagiaannya.

Antologi Di Dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang