"Apa kabar?"
Hanya itu kata yang kau ucapkan saat kita kembali bertemu setelah enam tahun lamanya terpisah. Aku memang tidak mengharapkan sapaan yang lebih dari itu. Hanya saja, jika boleh aku meminta, aku hanya ingin kau mengingat bagaimana dulu kita berpisah. Aku hanya ingin kau mengingat, betapa menyakitkannya saat kau pergi meninggalkan aku tanpa kata perpisahan. Apa pernah kau berfikir bagaiman hancurnya perasaanku kala itu. Seringkali aku mulai menyalahkan diriku sendiri karena mungkin saja kau pergi karena ada sikap atau perkataanku yang tanpa sadar telah menyakitimu. Tapi logikaku terus menyangkal, karena aku memang tidak merasa ada hal yang salah dariku. Jika memang ada, seharusnya kau mengatakannya padaku. Agar aku tahu, agar aku dapat memperbaikinya. Tapi yang kau lakukan justru pergi begitu saja. Setelah pergulatan panjang antara logika dan perasaanku. Baru aku menyadari, jika memang sejak awal kau tidak pernah bermaksud untuk menetap. Kau hanya ingin datang dan pergi sesuka hatimu.
Kau telah menggoreskan banyak sekali luka dalam hatiku. Haruskah aku jawab pertanyaanmu itu. Jika kau ingin mendengar jawaban jujur, maka yang ingin aku katakana adalah.
"Aku tampak baik-baik saja. Tapi jika kau ingin melihat bagaimana rupa hatiku saat ini, maka kau akan melihat banyaknya goresan luka yang masih terasa perih. Perih saat kau harus pergi begitu saja tanpa alasan yang pasti. Perih saat aku harus selalu berusaha menikam perasaanku sendiri setiap kali aku mengingatmu. Perih saat aku mulai terjebak merindukanmu. Perih saat aku menydari jika kamu hanya mempermainkan perasaanku. Dan terasa semakin perih saat kini aku kembali bertemu denganmu."
Tapi otakku masih waras untuk tidak membeberkan semua perasaan yang aku rasakan saat ini dihadapanmu. Aku tahu semua itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kau sendiri mungkin sudah melupakan kedekatan kita dulu.
Biar aku luruskan disini. Dulu kita memang dekat. Tapi kedekatan kita adalah kedekatan yang berjarak. Jarak antara aku dan kamu tanpa pernah menjadi "kita". Kau datang kepadaku karena saat itu kau tahu betapa aku sangat mencintaimu. Mungkin saat itu kau hanya ingin membuktikannya, bahwa asumsimu itu benar, jika aku memang sangat mencintaimu. Eksperimen mu berhasil. Tanpa perlu kau dengar langsung dari mulutku, kau sudah dapat menyimpulkannya sendiri. Aku memang sangat mencintaimu. Kau bisa menarik kesimpulanmu dari apa yang selama ini kau tanyakan padaku tentang dirimu. Dari pertanyaan-pertanyaanmu yang terus memaksaku untuk mengungkapkan perasaanku pada mu. Aku tahu kau laki-laki cerdas, tanpa perlu aku ungkapkan secara gambalang, kau sudah dapat mengambil kesimpulan itu dengan tepat. Selamat, kau telah berhasil. Berhasil mengetahui perasaan yang sudah sangat lama kututupi. Dan selamat, kau telah berhasil menghancurkan hatiku dalam satu kali pukulan telak.
"Aku? Baik." Jawabku singkat sedikit tersenyum tipis.
Kau masih menatapku lurus, entah apa yang ada difikiranmu saat ini. Apakah kau masih penasaran dengan perasaanku padamu? Kau masih ingin tahu, apakah aku masih memendam perasaan padamu atau tidak? Aku hanya dapat tersenyum getir saat fikiranku mulai menebak-nebak setiap kemungkinan yang kini ada di otakmu.
"Lama kita tidak bertemu, Sana."
Aku tersenyum sinis mendengar kau menyebutkan namaku dengan begitu lancarnya.
"Yah, tentu saja lama tidak bertemu karena kamu sendiri pergi entah kemana." Jawabku memukul telak atas ucapannya tadi. Aku tidak ingin berbasa-basi manis dengan mu, sungguh.
Kali ini wajahmu menunduk, apakah kau malu padaku atas apa yang aku ucapkan? Jika kau memang laki-laki yang memiliki hati nurani, harusnya kau merasa malu dan merasa bersalah. Harusnya kau meminta maaf padaku karena telah membuat aku terluka sedemikian rupa karena mu.
"Aku senang bisa bertemu lagi dengan mu di sini. Aku tidak menyangka kamu akan menjadi seorang penulis hebat."
Diluar dugaan kalau kamu akan memujiku seperti itu. Kali ini aku akan bersikap adil. Aku tidak bisa menyangkal satu hal, bahwa kau adalah salah satu inspirasi terbesarku dalam menulis. Rasa sakit hatiku padamu, aku tuangkan kedalam semua tulisan-tulisanku. Rasa sakitku padamu, membuat aku bertumbuh menjadi seorang wanita yang tangguh. Aku tidak lagi cengeng meratapi kepergianmu. Tapi aku kumpulkan semua rasa sakit itu menjadi sebuah senjata untuk aku bisa menjadi seorang wanita hebat. Aku bukan wanita yang tidak memiliki dendam. Aku sangat sakit hati padamu. Itu adalah keniscayaan yang harus aku akui. Sekeras apapun aku berusaha untuk memaafkanmu. Tapi sayangnya hati kecilku tidak semudah itu untuk berdamai dengan rasa sakitku. Dan satu-satunya jalan yang aku tempuh untuk membalaskan rasa sakitku padamu adalah dengan menjadi seorang wanita yang dapat berdiri tegak di atas ke dua kakinya sendiri, sebanyak apapun rasa sakit yang pernah dirasakan. Aku ingin berdiri dengan berani, menjadi seorang wanita hebat, menjadi seseorang yang dapat melampaui keterbatasannya. Itulah cara terbaikku membalaskan dendamku padamu. Seandainya kau tahu itu.
"Terimakasih. Apa kau membaca buku-buku yang aku tulis?"
"Iya, aku sangat menyukai semua tulisan-tulisanmu. Seandainya aku tahu kalau aku akan bertemu denganmu, aku akan membawa semua koleksi buku-buku tulisanmu untuk ditandatangani oleh penulisnya." Katamu dengan penuh ketulusan.
Entah mengapa hatiku begitu gembira mendengar pengakuanmu. Aku hanya dapat menanggapinya dengan sebuah senyuman lebar yang mengembang. Terlalu senang hingga aku lupa akan perasaan sakitku padamu. Terimakasih karena untuk kesekian kalianya kau berhasil membiusku dalam pesonamu.
"Sekarang kamu tidak tinggal di Indonesia?"
"Iya, orang tua ku dipindah tugaskan di Queensland dua tahun lalu. Dan aku sendiri tinggal di Köln. Aku jarang pulang ke sini karena setiap kali liburan aku selalu pulang ke Queensland." Jelaskku padanya yang hanya mengangguk.
"Apa sekarang kamu sedang berlibur di sini?"
"Tidak bisa dikatakan liburan, karena kenyataannya aku di sini untuk menghadiri launching novel terbaruku dan mengadiri beberapa acara talk show. Kemudian menghadiri pernikahan sahabatku sebelum akhirnya aku kembali lagi ke Jerman." Jelaskku panjang lebar padanya.
"Jadwal mu padat sekali. Aku sampai bingung kalau harus mengajak mu makan bersama."
Luar biasa, masih bisakah kamu mengatakan hal seperti itu. Mengajak ku pergi makan bersama? Apa tidak salah. Pernahkah kau mengingat dulu kau memiliki banyak janji padaku dan tidak ada satupun yang kau penuhi. Apa sekarang kau pun akan kembali membual dengan membuat janji lagi padaku. Oke, hentikan semua itu. Aku sudah muak untuk kembali berbasa-basi dengan mu.
"Es tut mir leid1, aku tidak punya waktu bahkan untuk sekedar pergi minum kopi bersama." Tolakku dengan penuh kemantapan.
"Aku mengerti, mungkin lain waktu kita bisa bertemu lagi."
Hanya senyum pias sebagai jawaban atas ucapan mu tadi. Mungkin setelah ini tidak ada kata lain waktu karena aku sungguh tidak ingin kembali bertemu denganmu lagi. Cukup hari ini dan aku tidak ingin ada hari esok untuk bertemu kembali denganmu. Aku cukup waras untuk tidak lagi membiarkan hatiku kembali membuka pintu untuk mu. Hatiku terlalu rapuh jika itu tentang mu. Aku takut semua pertahanan yang aku buat selama ini kembali runtuh, dan membuatmu dengan leluasa masuk kembali dalam kehidupanku. Dan akan sangat bodoh jika aku harus terluka untuk ke dua kalinya karena orang yang sama. Sungguh kebodohan yang tak termaafkan.
"Maaf aku harus pergi sekarang. Sampai nanti." Aku buru-buru berpamitan dengan sedikit berbasa-basi sopan. Meski aku berdoa dalam hati semoga aku tidak lagi bertemu dengan mu setelah hari ini.
Catatan: 1. Es tut mir leid (Bahasa Jerman) = Maaf
####
Akhirnya bisa menyelesaikan bagian pertama juga. Gimana menurut kalian cerita ini? Udah ngena ke hati? hehe.... Oh iya, jangan lupa untuk meninggalakan jejak kalian yaa :) thanks for stopping by at my story
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kita
ChickLitIni tentang cinta pertama yang menyakitkan. Tentang menunggu yang tak pernah kunjung datang. Tentang menemukan tanpa sanggup melepaskan. Apa yang seorang gadis harapakan dari sebuah cinta, jika ia kerap kali dikhianati. Apa yang seorang laki-laki in...