DUA

13 0 0
                                    

2009

Tahun ke dua sebagai murid SMA ternyata tidak ada yang berbeda. Semua doktrin-doktrin yang kerap ditampilkan di TV atau majalah-majalah remaja tentang indahnya masa-masa SMA. Masa dimana kita dapat menikmati kehidupan yang sesungguhnya sebagai remaja. Mulai dari merasakan indahnya cinta pertama, pergi bersenang-senang dengan teman-teman, pergi berlibur ke suatu tempat bersama para sahabat, dan tidak perlu dirisaukan dengan segala macam pelajaran yang memusingkan. Hal itu sama sekali tidak aku rasakan. Kenyataan terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi itu benar adanya.

Mungkin jika hanya untuk pergi hang out di café atau pergi menonton film di bisokop di akhir pekan, aku bisa memastikan itu memang aku alami. Tapi untuk merasakan indahnya cinta pertama atu tidak memusingkan pelajaran-pelajaran sekolah. Itu adalah bagian yang terasa "only in my dream". Sejak pertama masuk sekolah menjadi anak SMA, aku dan teman-temanku tidak pernah sedikitpun terbebas dari pekerjaan rumah yang luar biasa banyak dan memusingkan, serta ulangan harian yang seolah tidak ada henti-hentinya. Belum lagi kegiatan ekstra kurikuler yang diwajibkan untuk diikuti oleh para siswa. Dimana sekolahku mewajibkan tiap siswa mengikuti minimal satu ekskul yang nanti akan masuk dalam kolom penilaian di buku rapor kami.

Dunia remaja kami tidak pernah jauh dari sekolah dan buku. Omong kosong semua hal-hal menyenangkan yang sering ditayangkan di sinetron-sinetron remaja itu, kecuali jika kau memang meiliki otak super jenius yang tidak perlu belajar tapi tetap pintar. Atau jika kau ingin tidak naik kelas bahkan di tahun pertamamu sekolah. Baiklah aku beri tahu jika sekolahku adalah salah satu sekolah yang super ketat dan disiplin dalam berbagai peraturan. Namun semua "penyiksaan" itu akan menuai hasil yang indah pada akhirnya. Sekolahku tidak pernah gagal mengirim para siswanya ke perguruan-perguruan tinggi terbaik di Indonesia ataupun di dunia. Reputasi menjadi sekolah terbaik selalu di sandang oleh sekolahku sejak 40 tahun lamanya. Luar biasa bukan? Tapi itulah, harga yang harus kami bayar adalah masa remaja yang tersita.

Pagi ini semua berjalan seperti biasa. Bahkan terlalu biasa dan membosankan karena tidak pernah ada rutinitas baru yang aku lakukan. Selain bangun pagi, sarapan, pergi sekolah, bertemu dengan teman-teman dan guru-guru yang sama, belajar, makan siang, les, pulang, makan, belajar, dan tidur. Dan semua kegiatan itu akan terus berulang di hari-hari berikutnya. Sama dan menjenuhkan. Tidak berwarna dan kelabu.

Aku sampai di sekolah 15 menit sebelum bel berdering.

"San, lo tahu gak pagi ini ada berita baru?" Tanya Hannah, sahabat dekatku yang duduk di meja tepat di sebelah kiriku.

Aku menggeleng. Mana aku tahu ada berita apa pagi ini, jelas-jelas aku bukan ratu gosip yang selalu mencari up date berita untuk dibicarakan dengan teman-teman lain. Aku lebih suka menjadi pendengar dan tidak terlalu perduli dengan segala macam urusan orang lain yang tidak ada urusannya denganku. Buang-buang waktu dan tenaga, pikirku.

"Katanya bakal ada murid baru di sekolah kita."

"Terus kalau ada murid baru kenapa?" Tanyaku heran mendengar berita yang Hannah sampaikan.

Hannah memukul jidatnya tanda bahwa ia sangat frustasi menghadapi ke-cuekanku. Aku hanya tersenyum lebar melihat ekspresi Hannah yang juga terlihat kesal dengan sikapku yang tidak menunjukkan rasa antusias.

"Lo tahu gak anak pindahan itu cowok dan dia kece abis."

"Han, lo tahu jumlah siswa cowok di sekolah kita ini banyak, dan menurut gue mereka semua itu kece. Terus apa yang membuat siswa pindahan itu special, sampe bikin lo seheboh ini? Padahal gue berani taruhan, lo aja kayaknya belum pernah liat tuh cowok. Lo pasti cuma denger dari orang lain juga, kan?"

"Iya sih, lo bener juga. Gue cuma kebawa heboh aja gara-gara anak-anak pada ngomongin gitu."

"Makannya lo gak usah kebanyakan nge-gosip jadi gak rasional otak lo."

"Rese lo."

Obrolan kami terhenti saat bel masuk berbunyi dan selang beberapa menit Frau Siska yang merupakan guru bahasa Jerman kami masuk. Tapi pagi itu ada yang berbeda, ada seorang anak laki-laki yang datang bersama dengan beliau. Hannah langsung melirik ke arahku memberi kode jika laki-laki yang baru masuk itu siswa pindahan yang baru saja ia obrolkan tadi.

Frau Siska kemudian memperkenalkan anak laki-laki itu yang ternyata memang seorang siswa pindahan. Tanpa sadar mataku mulai mengamati siswa pindahan itu. Wajahnya tampak begitu dingin, nyaris tanpa ekspresi. Tapi aku bisa melihat bahwa dia adalah siswa yang pastinya memiliki otak di atas rata-rata. Aku mungkin hanya asal menebak berdasarkan feeling. Tapi bagiku orang-orang berotak pintar selalu terlihat dari cara mereka menatap, mata mereka akan memancarkan aura berbeda.

Sepertinya aku tadi terlalu fokus memperhatika anak laki-laki itu sampai aku tidak mendengarkan saat Frau Siska memperkenalkan namanya. Aku kemudian menengok kearah Hannah untuk menanyakannya.

"Siapa namanya?" Tanyaku dengan intonasi suara sepelan mungkin.

"Lo gak denger?" Ucap Hannah kesal. Aku kemudian tersenyum.

"Namanya Dipta Wijaya." Jelas Hannah.

"Oke, vielen Dank.2" Ucapku seraya tersenyum pada sahabatku yang kini memasang wajah jutek.

Anak baru itu kini duduk di kursi yang terletak berhadapan dengan meja guru. Selama pelajaran berlangsung, tidak ada yang spesial dengan siswa pindahan itu, selain sikapnya yang tenang. Dan aku baru menyadari jika sejak tadi pandanganku tanpa sadar terus memperhatikan siswa pindahan itu. Menyadari perilakuku yang terasa begitu memalukan, aku segera kembali fokus pada pelajaran yang pagi itu tengah berlangsung."

"Sana,Sana... What's wrong with you?"Ucapku membatin saat kurasakan bahwa sikapku terasa aneh dengan terus-menerusmencuri pandang ke arah anak itu.     

Catatan: 2. Vielen dank (bahasa Jerman) = Terimakasih banyak

###


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tanpa KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang