BAB 1

6.6K 148 2
                                    

Duka Tsunami Aceh

KEHILANGAN 1

Sembilan belas tahun telah berlalu. Namun, peristiwa itu masih saja terus membayangiku. Meninggalkan luka yang cukup sulit untuk kusembuhkan.

26 Desember 2004 merupakan hari bersejarah bagi hidupku. Gempa berkekuatan 9,3 skala richter, kemudian disusul Tsunami yang menghantam Aceh dengan keganasannya memakan 283.100 korban jiwa, 14.000 orang hilang, dan 1.126.900 kehilangan tempat tinggal.

Orang-orang kesayanganku termasuk di antara korban-korban tersebut. Setiap kali memejamkan mata, hingga kini masih saja terbayang-bayang kejadian yang merenggut mereka.

Tak jarang dalam tiap lamunan, pikiranku melambung ke masa itu.

"Gempa! Ada gempa! Gempaaa ...."

Teriakan terdengar dari beberapa orang tetangga di sekitar tempat tinggalku. Aku pun merasakan goncangan yang cukup membuat langkah kaki terombang-ambing saat berpijak. Riuh gemuruh suara benda-benda yang ikut tergoncang terdengar pekik di telinga, bercampur dengan suara kepanikan dari orang-orang yang juga merasakan hal yang sama.

Hanya sekitar sepuluh detik goncangan terjadi. Namun, cukup mampu menghamburkan benda-benda dalam bangunan ini. Saat gempa terjadi, aku sedang berada di rumah bersama dengan suami serta Salwa dan Saviera, kedua putriku. Shalda, putra pertama sedang pergi bermain ke rumah Bu De yang jaraknya hanya beberapa blok dari rumah kami. Setelah gemba berhenti, aku mengajak suami ke rumah ibu,
tapi suami menolak.

Kami pun hanya berkumpul dan berbincang-bincang bersama tetangga mengenai gempa yang barusan saja terjadi. Beberapa saat kemudian, kami kembali ke rumah dan suami memutuskan untuk pergi ke rumah ibu.

Saat sedang bersiap-siap, tiba-tiba terdengar kembali teriakan orang-orang dari arah luar. Aku dan suami saling berpandangan dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi?

Aku bergegas naik ke lantai dua membawa Salwa dan Saviera. Suamiku pun bergegas keluar rumah untuk membawa pulang putra pertama kami, Shalda. Beberapa orang tetangga yang tak memiliki rumah tingkat ikut menuju lantai dua di rumah ini. Saat itu ada sebelas orang yang turut mengungsi.
Satu orang pria dewasa, enam orang wanita dewasa, dan selebihnya anak-anak.

Aku menatap keluar jendela, nampak langit begitu kelabu. Orang-orang yang berada di lantai dua pun mulai terlihat begitu ketakutan. Bergegas aku menggendong Salwa dan Saviera. Di tengah-tengah kepanikan, terdengar suara benturan yang semakin memacu debaran jantungku.

Air menghantam ruangan lantai dua. Dinding bagian belakang jebol karena besarnya hantaman. Air dengan sangat cepat memenuhi ruangan. Kami saling berpandangan dan aku pun bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Dalam suasana kepanikan, aku mendengar Salwa berucap Asma Allah. Dia mulai mengucap doa-doa yang dihafalnya.

Tak setenang Salwa, aku justru dilingkupi kepanikan yang luar biasa. Air semakin tinggi membanjiri ruangan lantai dua. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan saat itu. Aku hanya mendekap erat Salwa dan Saviera. Tidak cukup sampai di situ serangan yang kami rasakan,
air mulai berputar-putar di dalam ruangan.

"Ibu, aku takut," lirih putri bungsuku.

Dalam dekapan, kurasakan tubuh Saviera gemetar. Dia tampak begitu ketakutan.

Kupeluk erat Salwa dan Saviera. Terdengar suara tangis anak-anak lain dalam ruangan. Suasana mendadak semakin mencekam, karena pusaran air tiba-tiba saja naik. Dalam hitungan detik, ruangan lantai dua telah terisi oleh air. Air berputar-putar di dalam ruangan. Pusaran semakin kuat hingga membuat dekapanku goyah. Salwa terlepas dari pelukanku. Air laut yang telah menguasai ruangan merenggut putriku.Aku menyaksikan gelombang air seolah mempermainkannya. Teriakanku bersautan dengan suara riuh air yang terus berputar.

"Salwaaaa ... Salwaaa ...."

Aku berusaha menggapainya kembali. Namun, pusaran air begitu kuat menariknya. Seujung jari pun tak mampu aku menyentuhnya kembali. Tak kuasa aku menahan air mata melihat putriku terombang-ambing terbawa arus yang semakin menghanyutkannya. Hati ini begitu hancur. Salwa tak berkata sepatah kata pun. Dia seolah pasrah entah kemana gelombang air akan membawanya. Semakin jauh dan terus semakin menjauh. Hingga akhirnya aku tak dapat melihatnya lagi. Dia bagaikan ditelan ganasnya air kala itu.

"Salwaaa ... Salwaaa ... ya Allah anakku.”

"Ibu, aku takut, Bu!" Bibir Saviera yang mulai pucat terus menyuarakan tangis.

Saat itu tak ada yang dapat kulakukan selain memeluknya dengan erat. Tak sempat kupikirkan keadaan tetangga yang saat itu sama-sama berada di lantai dua. Aku hanya terfokus kepada bagaimana cara melindungi Saviera. Aku telah kehilangan Salwa, tak ingin kehilangan Saviera juga.

Baru saja memikirkan sebuah cara untuk terlepas dari situasi ini, tiba-tiba air kembali membentuk pusaran dan menenggelamkan kami berdua. Aku merasakan sakit di jari tangan. Ternyata tangan sedang terjepit di jendela. Apabila kutarik tangan ini, bisa saja jariku putus dan akan menyebabkan cacat seumur hidup. Namun, yang utama adalah anakku. Rasa sakit dan efek yang akan terjadi di kemudian hari kusingkirkan demi menyelamatkan Saviera yang saat itu masih dalam dekapan.

Aku berusaha menarik tangan sekuat tenaga. Namun, setelah lepas, gelombang air justru membawa kami. Sambil tetap berdekapan, kami terbawa arus yang semakin deras. Sesekali tenggelam, lalu timbul kembali ke permukaan. Kami terombang-ambing dalam gelombang air. Aku tak tahu apakah kami sedang berada di daratan atau lautan, yang kulihat saat itu hanyalah air yang menutupi seluruh permukaan bumi. Cukup lama kami terbawa arus.

Kurasakan dekapan Saviera semakin melemah,
tidak sekuat sebelumnya.

"Vira, sayang. Sadar, sayang."

Aku menatapnya, dan dia sudah tak sadarkan diri. Wajah pucat pasi Saviera membuat hati ini
terasa begitu teriris. Kuperiksa denyut nadinya, ternyata  sudah tak ada. Aku menangis sejadi-jadinya.

“Viraaa ... jangan tinggalkan Ibu, Nak.”

Air mata yang terus turun tersibak oleh ombak yang sesekali menghantam wajahku. Bercampur dengan pekatnya gelombang air laut yang terus membawa kami entah kemana. Sesak, sakit, dan begitu pedih kurasakan. Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan putriku mengembuskan napas terakhirnya.

Aku mulai kehabisan tenaga dan tak sanggup lagi menopang tubuh Saviera yang mulai kaku. Kutatap kembali putri kecilku yang sudah tak bernyawa. Wajah polosnya semakin pucat. Dengan berat hati, perlahan kulepaskan dia dari dekapan. Kubiarkan arus membawa putri kecilku yang sudah tak bernyawa. Dia pun hanyut terombang ambing, lalu menghilang tertelan pusaran air.

Bersambung ....

Duka Tsunami Aceh (Selesai √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang