Feelings - 02

46 8 4
                                    

Diam adalah hal yang tidak asing bagi Ferro. Diam adalah temannya. Ditemani semilir angin yang menerpa wajah, diam adalah cara terbaik menumpahkan keluh-kesahnya.

Seperti saat ini. Di tengah dinginnya malam, Ferro duduk dibalkon kamarnya sambil menatap bintang yang berkelap-kelip di atas langit berwarna biru tua. Pikirannya melayang tentang kejadian saat pulang sekolah. Wajah perempuan yang di lihatnya seperti tidak asing. Dia sepertinya pernah melihat perempuan itu, tapi entah dimana.

Saat ini pun, Ferro masih mencoba mengingat-ingat dimana dia pernah bertemu dengan perempuan itu. Secara realita, mereka satu sekolah, tentu mereka pernah bertemu, bukan? Tapi bukan disitu yang menjadi masalahnya. Wajah perempuan itu seperti sangat familiar.

Ferro yang masih bergelut dengan pikirannya langsung menoleh saat ia menyadari ada tepukan dibahu kirinya.

"Kamu kenapa?" Tanya pria paruh baya itu--ayahnya.

Ferro mengernyit, "maksudnya?"

"Kamu ada masalah?"

Ferro menggeleng. Harinya selalu baik-baik saja.

Sang ayah kembali tersenyum sambil menatap langit malam yang begitu indah. Ferro menatap ayahnya dengan raut wajah yang semakin bingung. "Papa ngapain disini?"

Jika bukan papanya yang masuk, tentu saja ia dengan senang hati akan mengusir orang yang berani memasuki kamarnya tanpa izin.

Sang ayah menoleh. Sinar dari wajah tegas itu meredup, ditatapnya mata Ferro lekat-lekat. "Ada banyak cerita yang pernah Papa alami. Ada banyak cerita yang ingin Papa ceritakan ke kamu. Termasuk sebuah rahasia besar yang Papa simpan rapat selama ini."

Ferro diam mendengarkan. Degup jantungnya tidak teratur.

"Ada satu cerita besar yang ingin Papa sampaikan ke kamu. Tidak sekarang, mungkin nanti. Papa akan memberitahu jika kamu sudah berubah." lalu, dia berbalik badan dan pergi meninggalakn Ferro dengan sejuta peratanyaan yang menggunung diotaknya.

Kenapa sih?

Kenapa sosok yang terkenal tegas itu menunjukkan sisi rapuhnya ketika mengatakan hal tadi? Dan soal rahasia dan cerita besar itu? Apa maksudnya?

Ferro mengeratkan pegangannya pada pagar balkon.

Selalu begitu. Ferro benci teka-teki!

•••

Angin malam berhembus menerpa wajah Syilla, cewek itu tersenyum sambil merapatkan jaket yang ia kenakan. Disampingnya, Fika menatapnya dengan penuh selidik. Perempuan yang baru berulang tahun beberapa minggu yang lalu itu menyipitkan matanya sambil sesekali manaikkan kedua alisnya.

"IHH!! FIKA, JANGAN NGELIATIN GUE KAYAK GITU DONG!!"

Fika mencebikkan bibirnya. "Lo aneh hari ini."

Syilla mengernyit bingung. "Ha?"

Fika manyun. "Maksud gue, lo aneh hari ini. Lo lebih banyak diem, kayak yang nggak biasanya." Cewek itu menjelaskan.

Syilla menggeleng mantap sambil tersenyum. "Gue nggak ngerasa aneh. Tapi...,"

Fika menunggu kelajutan kalimat Syilla dengan wajah serius.

"Gue takut."

"Takut? Maksud lo?"

Hening sejenak. Syilla memejamkan matanya sambil menghela nafas. "Gue takut. Gue takut kalau suatu hari nanti orang-orang yang ada disekeliling gue ninggalin gue karena banyaknya kekurangan gue."

Fika langsung membeku. Sepersekian detik berikutnya, cewek itu langsung memeluk Syilla erat. Syilla membalas pelukan itu tak kalah eratnya. Mata mereka memanas---berusaha menahan bulir air mata yang akan jatuh kapan saja.

"Asyilla Prameswari, gue akan selalu menjadi pendengar setia lo. Curhat aja, gue juga selalu curhat kok sama elo." Fika bergumam pelan. Dia tidak menangis, tapi hatinya seperti tersayat. Sahabatnya, orang yang selama ini ia anggap seperti saudara ternyata memiliki ketakutan sendiri yang selama ini tidak ia ketahui.

Syilla mengangguk. Semakin mengeratkan pelukannya.

Ketika sendiri, Syilla selalu membayangkan bagaimana bahagianya setiap hari yang ia lalui. Tapi, cewek itu merasa ditampar oleh kenyataan. Kenyataan yang membuat dia kembali merasa menjadi manusia paling mengenaskan diantara orang-orang disekelilingnya.

Terdengar bodoh memang. Tapi, itu lah Asyilla Prameswari. Dia tidak ingin merepotkan siapa pun. Baginya, lebih baik memendam segala perasaannya agar tidak merepotkan orang lain.

•••

Lima menit setelahnya, bu Windy memasuki kamar Syilla dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hangat yang dia buat khusus untuk anak asuhnya dan sahabatnya yang memang sering berkunjung dan menginap ke Panti Asuhannya.

Setelah menaruh nampan itu diatas meja belajar Syilla. Bu Windy berjalan ke arah balkon yang pintunya terbuka lebar. Seperti dugaannya, Syilla dan Fika sedang berada dibalkon dengan posisi yang masih berpelukan. Bu Windy ikut tersenyum melihat keduanya yang selalu seperti itu.

Balkon kamar Syilla memang terlihat biasa. Tapi dari sana, mereka dapat melihat kerlap-kerlip bintang yang selalu terlihat indah menghiasi langit malam. Bagi Syilla, tempat itu terlalu luar biasa untuk dikatakan biasa.

Bu Windy lalu melangkah mendekat. Dielusnya kepala Syilla dan Fika bergantian dengan kelembutan yang mampu membuat siapa saja merasa nyaman.

Syilla menoleh, tersenyum, lalu cengengesan seperti orang gila.

"Sudah malam, sebaiknya kalian tidur. Fika menginap saja disini, bahaya kalau mau pulang sendiri." Bu Windy memperingatkan.

Keduanya mengangguk bersamaan. "Niatnya emang mau gitu kok Bu." Syilla menyahut enteng sambil tersenyum geli.

"Apaan sih!" Fika menggeram kesal.

Bu Windy langsung saja mengambil nampan yang ia taruh sebelumnya, "sudah-sudah. Ini tehnya, diminum dulu, keburu dingin."

Lalu, dengan semangat, keduanya langsung mengambil teh itu dan tersenyum lebar. Kejadian tadi, bagaikan angin lalu bagi Fika dan Syilla. Seolah ketakutan yang dikatakan Syilla tidak pernah ia katakan sebelumnya.

--

Selamat Natal dan Tahun Baru🎄🎄🎉🎉🎊🎊🎆🎆

Minggu, 01 Januari 2016.

Feelings [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang