SATU

272 9 1
                                    

Hari ini Bandung terasa lebih sepi dari biasanya. Pak Harris menancapkan gas lebih dalam agar mobilnya melaju lebih cepat. Di jok sebelah Iqbaal masih sibuk dengan handphonenya yang ia mainkan dari awal perjalanan.

"Baal"

"Hmm" Iqbaal menjawab malas. Tatapannya masih tertuju kepada handphonenya.

"Nanti disini, kamu jangan bandel ya, jangan nyusahin eyang, kamu harus lebih baik dari waktu kamu sekolah di Jakarta"

Iqbaal tidak menjawab.

"Baal, ayahmu ini lagi bicara"

Iqbaal memalingkan handphonenya. Ia menatap Ayahnya.

"Maaf Yah, Aku nyusahin Ayah terus"

Pak Harris tersenyum seadanya. Ia percaya, dibalik kenakalan anak semata wayangnya itu, sebenarnya Iqbaal adalah anak yang baik.

"Gak apa – apa."

Mobilnya berhenti disebuah rumah sederhana berwarna coklat yang berada di jalan Riau. Pak Harris menatap rumah itu. Ia teringat pada masa kecilnya. Waktu SMA rumah ini dijadikan basecamp untuk berkumpul dengan teman – teman se-gengnya. Rumah ini selalu berantakan. Abu rokok, bungkus makanan ringan dan aqua botol berserakan di depan teras. Bahkan, halaman belakang juga dijadikan tempat untuk diacak – acak oleh mereka. Kadang, sang Ibu sampai harus mengunci pintu kalau ia dan teman – temannya datang kerumah saking tidak kuat melihat kekacauan yang akan dibuat.

"Yah, ayo masuk, eyang pasti udah nunggu"

Iqbaal membuyarkan lamunannya. Mereka masuk kedalam rumah itu. Dibuka pintunya, dan dilihatnya Eyang Uti sedang menonton tv, lalu diganti dengan wajah bahagia melihat Pak Harris dan Iqbaal datang.

"Iqbaal, Harris, sudah sampai ternyata"

"Bandung lagi sepi Eyang, makanya cepet sampe" Iqbaal memeluk neneknya, dan mencium kedua pipinya.

Eyang Uti tersenyum melihat cucunya semakin tampan saat tumbuh dewasa.

"Baal.. Baal.. Eyang gak kepikiran kamu bakal secakep ini sekarang"

Iqbaal tertawa mendengar perkataan neneknya.

"Eyang juga makin tua makin cantik"

"Kamu ini ngeledek aja. Barang – barangmu diturunkan dulu sana. Kamarmu sudah Eyang Uti rapihkan. Sekarang Eyang mau mengobrol dulu sama ayahmu."

Iqbaal mengangguk dan menuju mobilnya untuk menurunkan koper dan barang – barangnya.

Pak Harris duduk di lantai di halaman belakang rumah masa mudanya itu. Sang ibu menghampirinya dan duduk disebelahnya.

"Jadi kamu serius mau menyekolahkan Iqbaal disini?"

Pak Harris membenarkan posisi duduknya agar lebih berdekatan dengan sang Ibu.

"Iya Bu, kalau sudah begini saya gak mungkin masih menyekolahkan Iqbaal di Jakarta. Teman Iqbaal di Jakarta terlalu banyak yang pergaulannya bisa dibilang tidak baik. Saya takut kalau Iqbaal masih sekolah di Jakarta Iqbaal gak akan pernah berubah."

Wajah Pak Harris berubah memelas. Sejujurnya ia tidak mau tinggal berjauhan dengan anak semata wayangnya itu. Tapi, Pak Harris yakin, ini adalah satu – satunya jalan agar Iqbaal bisa berubah kearah yang lebih baik.

Sang ibu mengangguk mengerti. Ia mengusap pundak anaknya lembut.

"Jadi dimana kamu akan menyekolahkan Iqbaal, Ris?"

"Di SMA Ilmu Nusantara Bu, sekolah saya dulu"


2 Hari kemudian

The Light Of My Darkness SkyWhere stories live. Discover now