Seperti Kerbau

11 1 0
                                        



Dimana-mana, orang akan belajar setelah terjatuh bukannya malah terjatuh dua kali. Terjerat dalam jebakan yang sama. Menggalau karena perihal yang tak beda. Mengukung hati karena terluka. Harusnya tidak begitu.

Aku tak pernah terlalu memikirkan semua itu, karena iya tentu saja menyita waktu ku yang sudah sia-sia. Malas-malasan, rerebahan, asyik mengunyah cemilan sembari membaca novel atau pun manga, bisa juga asyik menarikan jari jemari di atas keyboard mengeruaikan penat kesal yang biasaya hanya jadi benak batin.

Bukan tak pernah melakukan hal bodoh di atas, tapi karena pernah dan menyerah. Iya menyerah, memasrahkannya. Toh, yang memberi rasa juga Sang Maha Kuasa jadi biar berakhir sesuai kehendakNya. Terluka ataupun terlupa.

Setidaknya begitulah pikirku..

Pikiran seorang gadis kaku yang hatinya selalu terombang-ambing kenistaan.

Setidaknya begitulah perasaku..

Perasa seorang gadis pesimis yang mimpinya menggantung terbengkalai.

Kemarin.. tentu bukan kemarin juga. Aku mulai mengeksplorasi hati ku yang bongkrah tanpa tatanan. Berantakan. Berdebu.

Sengaja bertemu orang baru, memaksakan ilmu 'akrab' yang jarang digunakan, berubah cerewet, hanya ingin tau sejauh mana sifat orang itu.

Dan iya, hanya karena sekali pertemuan dan bincang tak jelas itu dia mendeklarasikan fase memuakan dalam kehidupan. Fase yang lama telah kutinggalkan karena kemuakan.

Mendekat, ia mendekat, tanpa menyatakan perasaan atau pun mengukapkan. Dia hanya menyibak hatinya untuk memulai hubungan.

Lalu aku?

Aku terlalu asyik bereksperimen, terbawa begitu saja. Tanpa melihat rasa sendiri. Takut. Ragu. Itu jelas hal yang mengganggu.

Sejenak ku berpikir, ini biasa, tak merubah keadaan dengan pria itu. pria yang lama membalas pesan, yang selalu menelpon tiba-tiba. Pria yang memaksakan ku untuk terlihat "akrab" lagi.

Aku jerih.

Ingin sekali mencoba serius. Ingat aku terbawa arus. Lupa hakikat awal yang telah ku mulai.

Sejenak aku jadi "akrab".

Dan semua lenyap ketika aku lelah "akrab".

Kembali menjadi si pendiam, termengu dalam tiap dering telpon menderu. Menjadi pendengar dari hembusan angin pantai di seberang.

Semua berakhir.

Tidak seperti biasanya..

Semua berakhir karena aku yang ceroboh meng-iya-kan sesuatu yang mengguncang prinsipku.

Sudah kubilang aku jerih.

Dan iya tepat di sana aku terganggu dengan dia yang lain.

Seseorang dengan seenak jidatnya memanggil nama ku dengan nama yang terlampau cantik. Aku tak suka, tapi ku diam.

Seseorang yang mengenalku hanya bermodalkan kata temanku. Aku juga diam tak membenarkan maupun menyalahkan.

Seseorang yang mengatakan dengan entengnya, "aku penasaran denganmu, lalu kini kecanduan". Merontohkan naruni ku. Mengoyak kenyataan dan jarak yang tak dekat.

Lagi-lagi.

Aku rindu berbalas chat dengan seseorang yang tak sekalipun bertemu sapa. Aku menggalau hanya kata-kata biasa yang dia ucap. Sungguh perasaan bodoh.

Terbawa kembali dalam arus yang dua kali lebih deras. Menyebalkan. Hati meraung menentang. Ingin mematikan saja rasanya.

Tentu, dia yang ini berbeda dengan dia yang kemarin. Apalagi dia yang dulu, yang selalu saja masih mengorehkan sesal di hati.

Dia yang ini, melelah dengan rasa memilih untuk masa bodoh saja. Terlalu mirip dengan ku? Tidak.

Aku tak akan memilih masa bodoh untuk hal yang ku yakini meski ragu selalu merayapi. Aku akan rela mengorbankan sepotong hati terbawa olehnya ketika semua ini pergi.

Aku rela.

Tapi tidak sekarang, tidak untuk dia yang jelas-jelas menyatakan jarak. Dia yang menyiapkan kabar buruk.

Aku tak akan merelakan diriku, untuk lelaki yang tak berani membuka takdir.

Masih dengan dia, dengan chat yang katanya absur luar biasa membahagiakannya.

Aku menyerah pada hati ku, membiarkan kepala ku berpikir dua kali. Merefleksikan segala peristiwa yang tiba-tiba membawa ku berjumpa padanya.

Lagi..

Aku terpungkur diujung kasur, meraup muka lelah tak jua pejamkan mata.

Jerih.

Begitu mudahnya seorang seperti ia menjungkirkan dunia ku.

Jerih.

Karena lagi, aku takut sekali.

Takut, akan kenang sesak masa lalu yang hadir begitu saja tiap renungan malam berlangsung. Terjerat masa lalu, hati ku kembali mengelam.

"pantas ia ragu padaku, biar dia diam. Pergi dan hilang. Lagipula aku ini apa? Hanya perempuan sisa kejam kehidupan."

Sisi pesimisku hadir mendera tiap malam.

Tenggelam dalam renungan penuh siksaan, tertunduk sendu. Meraup muka.

Ku ingin menjerit, merindukanmu.

Namun hanya deru nafas yang meluncur. Tinggalkan sesak menyumpal mulutku. Menghalang tanganku.

Biar malam tenggelamkan aku kembali dalam kenyataan.

Masih,

Masih berlanjut kau yang selalu memanggil nama ku, padahalku sudah menjauh.

Sulit kau tau.

Memang tak salah berteman dengan mu, tapi hati ku terlalu serakah. Ia menginginkan hal lebih dan aku lelah berharap.

Jadi aku membatu untukmu.

Begitu, masih begitu.

Malam renungan juga tetap sama, menghujatku yang selalu hidup dibalik kenistaan. Hidup layaknya hipokrit. Tak tau tempat.

Dan iya, aku kembali tenggelam dalam malam penuh renungan. Kenyataan yang sesungguhnya.

Aku sudah terbiasa tanpa seseorang dulu, dan kini aku tinggal mengulangnya. Membatukan hati ku untuk mu. Untuk orang lain pula.

Karena, aku ini apa? Hipokrit. Sok-tau.

Aku belajar saat mengenalmu,

Yang mengatakan masa bodoh, adalah orang yang tak lagi berani membuka takdirnya.

Yang menyatakan ikhlas, adalah orang yang telah terluka berulang kali.

Yang menyatakan rasa, adalah orang yang kalah.

Dan di ujung ini, aku mengakui. Bahwasanya aku tak lebih pandai dari kerbau.

Salah TaruhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang