as Family by Cloudhie

104 1 0
                                    

“Ayo, Chika!” gadis yang ditarik tangannya hanya menghela nafas frustasi, tahu kalau Rina tidak akan berhenti hingga dia bangkit dari tempat duduknya lalu beranjak menuju lapangan yang Chika yakin telah dibanjiri oleh banyak orang.

Rina tahu Chika tidak begitu tertarik dengan pertandingan olahraga, namun Rina juga tahu kalau temannya itu tidak bisa menolak permintaannya. Mereka sudah berteman semenjak kecil, mereka juga tinggal serumah, Chika itu anak sahabat Mamanya Rina. Dan karena kedua orangtua Chika lagi ada di Australia dalam rangka ayahnya gadis itu tengah melanjutkan studi S3nya yang diberikan cuma-cuma oleh kantornya sebagai hadiah dari dedikasi yang tinggi, Chika akhirnya dititipkan di rumah Rina. Toh, Chika sendiri yang tidak ingin ikut orangtuanya dan memilih untuk menyelesaikan studinya di Indonesia saja. Katanya terlalu merepotkan Chika tidak suka kerepotan.

“Iya, iya. Sabar kek. Lo kayak mau terima gaji aja,” canda gadis itu yang kemudian dibalas dengan uluran lidah oleh Rina.

“Lo kayak gak tahu aja deh ah. Yuklah, Chik. Entar keburu banyak orang, ntar gak bisa lihat dengan jelas nih gue,” bibirnya dimajukan, membuat Chika tertawa kecil melihat sikap Rina yang kadang terlihat seperti  anak kecil itu.

“Iya, iya. Bentar, gue beresin dulu nih,” ucapnya sembari memasukkan peralatan tulis menulisnya kembali ke dalam tas, kemudian diraihnya tas gendong yang bermotif polkadot itu kemudian tersenyum pada Rina, “lead the way, princess!” ucapnya dramatis.

“Ah, gaya lo. Dasar pemain teater,” Rina terkekeh geli memperhatikan sahabat sekaligus teman serumahnya itu.

.

.

“Dimana?”

Dengan semangat, Rina membawa Chika ke tempat strategis yang dipesannya khusus tadi oleh orang yang bertugas di sana. Maklum, pertandingan ini jadi super laris sehingga membuat beberapa orang menjadikannya sebagai sebuah bisnis. Dengan beberapa ribu rupiah, mereka bisa menitipkan tempat strategis untuk bisa menikmati pertandingan dengan nyaman. 

Banyaknya penonton itu gara-gara dua sosok di lapangan yang menjadi ikon dari Dies Natalis yang hampir terjadi setiap tahunnya. Mereka juga yang menjadi alasan kenapa Rina bersusah payah untuk bisa mendapat tempat sampai mengajak Chika segala supaya dia tidak terlalu berkesan semangat sekali untuk sekedar menonton. Gadis itu tidak mau kena tatapan jutek para penggemar Rendi atau Rangga. Ups, maksudnya tidak mau kena tatapan jutek itu sendirian. Kalau ada Chika, mereka paling tidak mendapat tatapan jutek itu berdua, lagipula Chika itu tipe yang tidak akan tinggal diam diperlakukan tidak baik begitu, berbeda dengan Rina yang malah akan semakin menyembunyikan dirinya. Jika mendapat tatapan begitu, akan dibalas Chika dengan tatapan yang lebih jutek lagi. Kadang malah, ada kalimat nyempil macam : ‘apaan kalian lihat-lihat?’

Rina dan Chika memang berbeda sekali. Meskipun kesannya Chika seperti cewek lembut yang feminim, pada dasarnya dia cewek tomboy nan berani dan tidak kenal takut, hanya saja, dia bukanlah penggemar permainan bola atau olahraga lainnya. Berbeda dengan Rina yang merupakan penggemar bola tingkat akut (atau permainan olahraga lainnya), gaya mereka juga berbeda. Jika Chika bertahan dengan dress manis yang dipilihkan oleh ibunya, Rina malah lebih senang menggunakan celana jeans dan kaos santai. Tapi kalau diperhatikan lagi, yang lebih sering melindungi itu adalah Chika sementara yang sering dilindungi itu adalah Rina. Mereka yang mengenal keduanya sudah biasa melihat Chika berdiri kokoh di depan Rina ketika gadis itu tengah berada dalam masalah.

“Mereka mana sih?”

“Itu lho, ituuu. Yang lagi giring bola, itu  Rangga,” jelas Rina sembari mengarahkan jari telunjuknya ke lapangan dimana ada sosok pemuda yang tengah menggiring bola sementara yang satunya terus mengekori dari belakang sembari menunggu kesempatan untuk mengambil alih bolanya. “Yang satu itu Rendi,” terang gadis itu dengan semangat.

Rina tidak habis-habisnya selalu menceritakan keduanya pada Chika yang kebetulan merupakan mahasiswi Teknik Informasi yang tidak begitu mengetahui mengenai keduanya, maklum gadis itu selama ini sibuk dengan kuliahnya. Tawaran mengenai pekerjaan tetap telah didapatkannya, makanya dia fokus pada apa yang harus dikejar. Sementara Rina yang berada di fakultas yang sama dengan Rangga, mengenal betul keduanya. Rina bahkan merupakan orang yang memperkenalkan Chika pada keduanya.

“Oh. Iye. Dari sini masih rada gak kelihatan sih,” dengan cepat gadis itu lalu membuka tasnya, mencari kacamata yang biasa dibawanya ketika kuliah berlangsung. Mata Chika tidak begitu bagus melihat dalam posisi yang jauh, namun dia masih tidak mau menggunakan kacamata ketika tidak begitu diperlukan. Menurutnya itu bisa semakin merusak matanya.

“Hu’uh, kamu jadi keseringan pake kacamata ya, Chik?”

Chika mengangguk, membenarkan posisi kacamatanya lalu menatap kembali pertandingan yang diselimuti dengan sorak-sorai penonton yang justru lebih heboh dari para pemainnya yang sibuk mengejar bola di lapangan. Memang benar kata Rina, pertandingan yang diikuti keduanya terlalu sayang untuk dilewatkan. Bahkan untuk gadis semacam dia, yang notabene tidak begitu doyan menonton semacam ini, ikut hanyut dalam serunya pertandingan.

Pada akhirnya, pertandingan dimenangkan oleh Fakultas Sastra dengan skor tipis 4-3. Rangga mencetak dua gol dan begitupun dengan Rendi. Pertandingan itu kini menjadi buah bibir banyak orang. Setiap sudut Chika dan Rina melangkah pasti akan terdengar berita tentang serunya pertandingan tadi. Bahkan Rina tidak berhenti bicara semenjak mereka meninggalkan kursi penonton.

“—terus keren banget tadi bola yang dimasukin Rendi! Rangga juga gak kalah keren pokoknya. Wuih, keren banget tadi pertandingan—“

“Iya, iya,” Chika memang harus mengakui bahwa pertandingan tadi memang seru, tapi terlepas dari itu semua, dia tidak begitu terlihat antusias seperti yang lainnya.

“Eh, Chika. Lo denger gue kan?”

“Denger kok denger,” Chika tertawa kecil melihat Rina yang tampak tidak senang dengan reaksi datar Chika sementara dirinya sudah heboh setengah mati menceritakan kembali pertandingan tadi. Padahal ya, Chika juga nonton kok. Ngapain diceritakan ulang coba? “Eh, Dino nelpon, bentar ya Rin,” ucap Chika yang kemudian dibalas dengan cengiran penuh arti dari Rina.

“Ya? Kenapa Din?” Dino itu sepupu Chika, sekaligus sahabat kecilnya juga. Lebih muda dua tahun dari Chika dan tengah kuliah di universitas yang berbeda kota dengan Chika. “Heh? Beneran? Besok? Perlu gue jemput gak? Oh, oke. Sip. Sampai ketemu besok ya.”

Chika mematikan teleponnya, lalu berbalik pada Rina dengan antusias yang sangat terlihat di wajahnya, “Rina! Besok Dino mau datang tuh. Nanti temenin gue jalan bareng dia ya!” ucapnya semangat, dibalas dengan cekikikan dari Rina yang tahu benar sejak dulu Chika suka sekali pada Dino. Meskipun Chika lebih tua dari Dino. Yang dimaksud juga sebenarnya tidak pernah mengakui, tapi sebagai orang terdekat Chika, Rina tentu tahu dan bisa membaca gerak-gerik Chika yang selalu tampak berbeda ketika berada di dekat Dino.

“Iya deh. Sebagai balasan lo udah temenin gue hari ini,” ucap Rina. Mendengar ini, Chika tersenyum lebar, “dia minta dijemput gak?”

Chika mengangguk.

“Sip. Lo yang bayar ongkosnya kan?” Chika mengangguk antusias.

Besok—hari minggu. Mereka sudah punya jadwal tersendiri. 

[Chain Fiction Project] Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang