[1] Dia

459 2 0
                                    

"Rio, cepat, Nak. Keburu siang nyampe sana," ucap Mama Rio.

"Iya, Ma. Ini udah selesai kok. Mama tunggu depan aja."
Mama Rio berjalan menuju ruang tamu. Mereka akan pergi ke rumah nenek yang berada di Kencong.

"Ayo Ma," ajak Rio.

Sesampainya di rumah Nenek, mereka langsung disambut manis.

"Wah, cucuku tambah ganteng," puji Nenek.

"Nenek bisa aja," ucap Rio malu-malu seraya menundukkan kepala.

"Udah punya cewek belom?" tanya Kakek.
Rio agak terkejut dengan pertanyaan Kakek, spontan saja ia menggeleng. "Belum, Kek."

"Ah, kamu ini, gak keren. Nunggu apa, sih?" tanya Kakek penuh semangat.

"Nunggu yang pas aja, Kek," ucap Rio.

Secara tidak sengaja, Rio membayangkan kejadian tadi pagi yang sangat menggelikan ketika melihat pipi cewek yang ditabraknya merona. Ia malah merasakan jantungnya yang berdegup kencang ketika melihat senyuman di wajah manis gadis itu, sehingga ia harus cepat-cepat pergi sebelum sikapnya bertambah kikuk.

"Kamu ini jangan terlalu memilih Rio," ujar Kakek menarik Rio dari lamunannya.

"Sudahlah, ayo masuk! Nenekmu sudah menyiapkan makanan spesial pagi ini. Ayo!" ajak Kakek.

Akhirnya mereka menuju ruang makan yang tersaji lengkap untuk menyambut kedatangan anak dan cucu kesayangannya.

"Rio, temen kecilmu baru pulang dari Bandung. Anaknya Pak July fotografer. Dia tambah cantik. Kakek jamin, kamu gak akan menyesal bisa jalan sama dia, namanya Fasa," ucap kakek antusias mengawali pembicaraan di ruang makan.

Rio mengerutkan kening. "Lalu, Kek?"

"Kakek pengen kamu temenin dia selama di sini. Dia bilang pengen jalan-jalan, tapi gak mau diantar satu orang pun. Kakek jadi khawatir. Kamu mau nemenin dia, kan?" pinta Kakek.

Rio mengernyitkan keningnya, entah harus jawab bagaimana. Hatinya tak berminat sama sekali.

"Apa kamu mau Rio?" tanya ulang Kakek.

"Baiklah, jika itu kemauan Kakek," ucap Rio sekadar menyenangkan hati Kakeknya.

Akhirnya, mereka pun melanjutkan sarapan tanpa sepatah kata lagi yang diluncurkan.

*

Uli berjalan malas mengantar makanan ke rumah Rizal. Ia tidak habis pikir, kenapa setiap hari selalu ada acara mengantar makanan dari rumah Neneknya maupun rumah Rizal.

Kebiasaan yang aneh, batin Uli.

"Rizal, ini nih mak ... eh, anu, maaf! Aku gak tau kalau ada tamu," ujar Uli sambil lari terbirit-birit.

Bodoh banget sih, sampe lupa kalau ada tamu, tapi lumayan juga sih tuh cowok mukanya lucu. Ah, masih best pangeran tadi sih, hihi ... aduh kenapa masih kepikiran cowok tadi pagi sih, batin Auli seraya mengetok kepalanya sendiri.

Rizal memperhatikannya dengan pandangan heran. Ia menaruh tangan kanannya di dahi Uli sambil berkata, "Gak panas kok."

"Kamu pikir aku gila," desis Uli. Tangan kirinya mencubit pinggang Rizal.

"Aduh, galak banget sih jadi cewek! Heran deh, ada cewek lahir kayak kamu. Pantes aja gak ada yang mau jadi pacar kamu. Cewek tuh harusnya lembut tau!" Mata Rizal terpaku pada makanan di tangan Uli. "Eh, apaan tuh makanan ya? Wah, thank's banget cewek galak. Tau banget kalau aku lapar," omel Rizal tanpa rasa bersalah sambil merebut makanan yang ada di tangan Auli.

"Rizal!! Kayak kamu yang punya cewek aja!" Uli memanyunkan bibir.

"Udah gak usah ngambek gitu, tambah jelek. Lama-lama gak ada yang mau sungguh loh." Rizal berlari mengabaikan kejengkelan Uli.

"Rizal, awas kamu ya, heh! Mau ke mana? Jangan lari!" Uli mengejar Rizal yang kalah gesit dengannya. Tiba-tiba ia berhenti, matanya terpaku.

Aduh, lupa lagi sama nih cowok kalo masih ada di sini. Ampun deh, malu banget, batin Uli.

"Hay," sapa cowok tersebut.

"Oh ... h-hay," jawab Uli gugup.

"Ceileh, gugup banget! Ketemu cowok lain aja kayak putri keraton, coba ketemu aku, pasti berubah deh jadi nenek sihir. Hahaha ...." Rizal semakin terpingkal-pingkal melihat mata Uli melotot.

"Liat tuh dia mulai marah kan," lanjutnya masih menggoda.

Uli mendengus kesal tanpa memandangnya. Ia masih jaim –jaga image- di depan cowok keren ini. Biasanya ia langsung menghadiahi cubitan, pukulan atau apalah sampai Rizal menjerit minta ampun.

"Kenalin Rory Abrory, panggil aja Rory," kata cowok itu sambil tersenyum.

"Eh, a-aku Uli." Uli membalas senyumannya.

"Sekolah mana, Li?"

"SMK 6."

"Oh, SMK 6. Aku SMK 8 sekelas malah sama Rizal."

"Oh." Uli menganggukan kepala, bingung harus jawab apa.

"Ya udah, aku berangkat dulu. Lain kali kita ngomong lebih lama bisa, kan?" ucapnya penuh harap.

Uli mengangguk.

"Makasih Uli," katanya sambil tersenyum.

Tak sengaja Uli menoleh ke arah sepupunya yang sedang tersenyum geli melihat tingkah tersipunya. Matanya kembali melotot seolah berkata, 'Tunggu pembalasanku!' pada Rizal.

Uli pulang dan masuk terburu-buru ke kamar menyadari betapa konyolnya dia tadi. Rory memang tampan, sikapnya lembut. Membayangkan senyum Rory, tiba-tiba bayangan pangeran melintas di pikirannya.

"Aduh, kok malah ngebayangin pangeran itu lagi sih. Ah, jadi kebayangan pangeran terus. Iya sih dia cakep, tapi mungkin aja dia punya pacar. Lagian aku gak tau namanya, dia tadi pagi bilangnya keburu gitu.

"Pusing! Pusing! Pusing! Lupakan pangeran, lupakan pangeran. Tadi kan udah ketemu Rory. Hey, Uli ... tunggu dulu, mungkin aja Rory basa basi doang! Tapi ... ah udahlah kenapa aku mikir cowok sih. Mending cerita ke Luvi atau Nene soal tadi pagi," ucapnya bersemangat, kenapa ia melupakan kedua sahabatnya.

Ketika Uli beranjak, tiba-tiba terdengar suara sms dari ponsel Auli yang tergeletak di atas mejanya. Dengan segera ia membukanya.

From : +628154597056
Hai, aku Rory. Jalan yuk?

Rory? Agresif banget nih cowok, pikir Uli sambil membalas smsnya.

To : +628154597056
Jalan? maksudnya?

From : +628154597056
Ya, jalan-jalan ke mana gitu.
Mau, kan? Atau, aku perlu ijin sama Rizal?

Uli mondar-mandir sebelum membalas sms Rory. Secepat itukah Rory tertarik pada Uli?

To : +628154597056
Gak perlu. Kapan?

From : +628154597056
Besok. Aku jemput jam 7 malam. See you.

"Ya ampun aku harus cerita ke Luvi dan Nene," ucap Uli semangat.

Uli memencet nomor Luvi hingga terdengar suara yang sudah dikenalnya dari ujung sana.

"Halo."

*
-TBC-

API ASMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang