Senin siang, Rio berada di rumah Fasa, seseorang yang dibicarakan Kakek kemarin. Rio menyempatkan diri untuk pulang ganti baju serta minta izin pada Mamanya. Ia memakai memakai kaos hitam polos dilapisi jaket kulit dan celana jeans.
Fasa baru saja keluar dari kamarnya. Ia memakai gaun berwarna biru tosca dengan potongan manis di leher dan berenda di bagian bawah gaun, membuatnya semakin cantik. Rio sedikit tercengang, tapi dengan cepat menutupinya.
"Ini Fasa, Nak Rio," kata Om July, Papa Fasa. Rio hanya menyunggingkan senyum terbaiknya.
Fasa memang terlihat cantik sejak kanak-kanak. Dulu ia sangat pendiam hingga sukar digauli oleh teman-temannya. Tepat berumur sepuluh tahun, Fasa dipindahkan ke Bandung bersama Tantenya, karena pekerjaan Papa Fasa yang tidak pernah tinggal menetap. Om July harus pindah dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa tidak dibatasi waktu tinggal. Sedangkan Mama Fasa selalu setia mendampingi Papa Fasa.
"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Rio, setelah berpamitan pada Om July.
"Terserah, aku cuma pengen keluar rumah. Bosan di rumah terus," jawab Fasa sambil tersenyum.
"Oke, kita cuma jalan-jalan aja. Bilang aja kalau kamu mau ke suatu tempat."
"Iya, Rio."
Keduanya tersenyum dalam perjalanan. Rio merasa sedikit canggung, lain lagi dengan Fasa. Ia begitu bahagia berada di dekat Rio. Sesekali matanya melirik ke arah Rio yang sedang berkonsentrasi menyetir ke jalanan. Dahi Rio berkerut membuatnya terkekeh geli.
Mereka memutuskan berhenti di alun-alun untuk menikmati es degan. Sebenarnya Fasa ingin menolak, tapi enggan. Mereka duduk di atas kap mobil seraya menikmati segarnya es di antara panasnya terik mentari.
"Kamu sekolah di mana, Rio?" tanya Fasa.
"Aku sekolah di SMA 2. Kamu sendiri di sini, liburan?"
"Iya, kebetulan di Bandung libur semester. Mama sama Papa juga kebetulan ke sini, jadi aku minta sekalian liburan bareng mereka sambil mengenang masa kecilku. Banyak yang berubah, ya. Oh ya ... kamu mau, kan, nemenin aku selama di sini?"
"Iya."
"Janji?"
"Em ... iya, janji deh."
Dalam hati, Rio ragu. Tapi ia tidak mempunyai alasan yang tepat untuk menolak. Bagaimanapun Fasa masih teman kecilnya.
Waktu berlalu dengan canda tawa sehingga tidak menyadari ada yang memerhatikannya dari kejauhan.
*
Beberapa menit yang lalu ....
Matahari bersinar terang dengan angkuhnya memancarkan hawa panas di bumi. Tak peduli dengan keluhan manusia-manusia berdosa. Hari Senin adalah hari yang paling full disaster untuk tiga sekawan, yakni Auli, Luvi dan Nene.
"Sumpah ni hari, neraka bocor kali, ya! Panas banget!" teriak Auli seraya mengibaskan tangannya.
"Sok surga banget deh," sindir Luvi.
"Biarin! Gak ada sejarahnya aku suka matahari, panas tau! Mending hujan, kan romantis," kata Auli.
"Cari yang seger-seger, yuk!" sahut Nene.
"Ide bagus. Swim, pengen nih," sorak Luvi semangat.
"No! Emang mau bikin kita gosong, panas-panas renang! Cari es aja, yuk!" ajak Auli membuat mata Nene berbinar.
"Good ide. Daripada renang bikin kita gosong, mending minum es yang seger bener. Eh, es degan gimana?" usul Nene.
"Oke, tuh. Gimana, Vi?" tanya Auli seraya mengadahkan kepala ke arah Luvi yang cemberut, "haduh ... Aku traktir deh," sambung Auli yang seketika disambut pelukan Luvi dan cengiran Nene.

KAMU SEDANG MEMBACA
API ASMARA
RomansaIngin rasanya jadi embusan angin. Terbang ke sana kemari tanpa pusing-pusing memikirkan melodi kehidupan. -Uli- "Oh Tuhan! Keren banget sih dia, nih orang apa pangeran, ya?" Love at the first sight memanah Uli dan Rio secara bersamaan. Sebuah...