[2] Elang Pemangsa

245 2 0
                                    

Senin siang, Rio berada di rumah Fasa, seseorang yang dibicarakan  Kakek kemarin. Rio menyempatkan diri untuk pulang ganti baju serta minta  izin pada Mamanya. Ia memakai memakai kaos hitam polos dilapisi jaket  kulit dan celana jeans.

Fasa baru saja keluar dari kamarnya. Ia  memakai gaun berwarna biru tosca dengan potongan manis di leher dan  berenda di bagian bawah gaun, membuatnya semakin cantik. Rio sedikit  tercengang, tapi dengan cepat menutupinya.

"Ini Fasa, Nak Rio," kata Om July, Papa Fasa. Rio hanya menyunggingkan senyum terbaiknya.

  Fasa memang terlihat cantik sejak kanak-kanak. Dulu ia sangat pendiam  hingga sukar digauli oleh teman-temannya. Tepat berumur sepuluh tahun,  Fasa dipindahkan ke Bandung bersama Tantenya, karena pekerjaan Papa Fasa  yang tidak pernah tinggal menetap. Om July harus pindah dari satu  tempat ke tempat lainnya tanpa tidak dibatasi waktu tinggal. Sedangkan  Mama Fasa selalu setia mendampingi Papa Fasa.

"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Rio, setelah berpamitan pada Om July.

"Terserah, aku cuma pengen keluar rumah. Bosan di rumah terus," jawab Fasa sambil tersenyum.

"Oke, kita cuma jalan-jalan aja. Bilang aja kalau kamu mau ke suatu tempat."

"Iya, Rio."

  Keduanya tersenyum dalam perjalanan. Rio merasa sedikit canggung, lain  lagi dengan Fasa. Ia begitu bahagia berada di dekat Rio. Sesekali  matanya melirik ke arah Rio yang sedang berkonsentrasi menyetir ke  jalanan. Dahi Rio berkerut membuatnya terkekeh geli.

Mereka  memutuskan berhenti di alun-alun untuk menikmati es degan. Sebenarnya  Fasa ingin menolak, tapi enggan. Mereka duduk di atas kap mobil seraya  menikmati segarnya es di antara panasnya terik mentari.

"Kamu sekolah di mana, Rio?" tanya Fasa.

"Aku sekolah di SMA 2. Kamu sendiri di sini, liburan?"

  "Iya, kebetulan di Bandung libur semester. Mama sama Papa juga  kebetulan ke sini, jadi aku minta sekalian liburan bareng mereka sambil  mengenang masa kecilku. Banyak yang berubah, ya. Oh ya ... kamu mau,  kan, nemenin aku selama di sini?"

"Iya."

"Janji?"

"Em ... iya, janji deh."

Dalam hati, Rio ragu. Tapi ia tidak mempunyai alasan yang tepat untuk menolak. Bagaimanapun Fasa masih teman kecilnya.

Waktu berlalu dengan canda tawa sehingga tidak menyadari ada yang memerhatikannya dari kejauhan.

*

Beberapa menit yang lalu ....

  Matahari bersinar terang dengan angkuhnya memancarkan hawa panas di  bumi. Tak peduli dengan keluhan manusia-manusia berdosa. Hari Senin  adalah hari yang paling full disaster untuk tiga sekawan, yakni Auli,  Luvi dan Nene.

"Sumpah ni hari, neraka bocor kali, ya! Panas banget!" teriak Auli seraya mengibaskan tangannya.

"Sok surga banget deh," sindir Luvi.

"Biarin! Gak ada sejarahnya aku suka matahari, panas tau! Mending hujan, kan romantis," kata Auli.

"Cari yang seger-seger, yuk!" sahut Nene.

"Ide bagus. Swim, pengen nih," sorak Luvi semangat.

"No! Emang mau bikin kita gosong, panas-panas renang! Cari es aja, yuk!" ajak Auli membuat mata Nene berbinar.

"Good ide. Daripada renang bikin kita gosong, mending minum es yang seger bener. Eh, es degan gimana?" usul Nene.

  "Oke, tuh. Gimana, Vi?" tanya Auli seraya mengadahkan kepala ke arah  Luvi yang cemberut, "haduh ... Aku traktir deh," sambung Auli yang  seketika disambut pelukan Luvi dan cengiran Nene.

API ASMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang