(cerita ini didedikasikan untuk perwakilan pembuatan cerpen pada acara Bulan Bahasa SMA Negeri 1 Majalengka)
Sepertinya wujud-wujud nyata dari film-film paling menyeramkan yang pernah kupelototi (padahal berani mengintip saja tidak pernah) berkoloni dan bergumul menjadi gumpalan-gumpalan yang berwujud kata "Sen" pada kalender, dan selalu menempatkan posisi di sebelah kanan tanggal merah setiap baris tanggal untuk satu minggunya.
Alias—hari Senin.
Ada apa sih, pada hari Senin?
"Ada BANYAK! Kau tahu, er, mari kita lihat... jam bel masuk yang dipercepat sepuluh menit, kaget akan kesibukan setelah sehari asyik berpacaran dengan kasur sendiri... Belum lagi kalau ada macet. Datang terlambat, punya upacara 'tambahan' sambil diberi kata-kata pedas. Atribut paling rewel, tertinggal satu yang mengomelnya orang lain." Aku mengangkat tangan menahan bayanganku sendiri menyela omonganku—yang mana itu sangat mustahil. "DAN jangan lupa pidato upacara yang sering keluar dari garis batas wajar membiarkan anak-anak berdiri kepayahan di bawah naungan terik matahari yang keterlaluan."
Aku menarik napas. Menatap tajam pantulan diirku di cermin yang tergantung malang. "Jadi intinya, tiadakan hari Senin!"
Orang boleh saja berpikir aku gila, di Minggu pagi yang cerah kamarku terasa suram karena sang pemilik sendiri tidak membuka gorden kamarnya. Menurutku sia-sia untuk beriang gembira hari ini, jika besok aku dibangunkan untuk bertarung dengan monster menyebalkan ("dasar lebay," ketus kakakku ketika aku mengeluh padanya) maka hari ini aku sudah uring-uringan duluan. Aku meraung lalu berguling-guling ganas menggilas kutu-kutu kasur yang mungkin saja tengah mengadakan trip di permukaan kasurku yang empuk (amit-amit sih, semoga itu bukan). Mengabaikan kemungkinan mereka mengamuk dan datang lagi dengan pasukan besar-besaran. Tak hanya itu, rambutku tidak keruan menjalin jalinan kusut satu sama lain karena sengaja kuacak-acak demi tersalurkannya frustrasi ini.
Cahaya matahari yang menabrak kaca dan dibendung gordenku yang nampak merah bercahaya tidak cukup membantu menerangi sudut-sudut berbelok dalam otakku yang gelap. Rasanya buntu. Dan mual bersamaan kalau siapa saja berani menyebut hari Senin keras-keras dalam jarak pendengaranku.
"... kalau Senin saja bagaimana?"
Aku mengerang keras dan bangkit dari tempat tidur dengan suara berderit, turun dalam satu lompatan. Berlari menuju pintu, aku membukanya sedikit dan mendelik dari celah yang terbuka. Berusaha menelusuri darimana asal muasal kata-kata terkutuk itu dilontarkan.
Oh tentu saja—itu kakakku. Kakak yang kuragukan kasih sayangnya tersisa untuk adik satu-satunya ini.
Kakakku tidak sama denganku. Dari jenis kelamin saja sudah berbeda. Dan itu akar dari segalanya. Dia tinggi menjulang sementara tinggiku tertahan dan badanku berbobot lebih dari jumlah dua digit paling belakang tinggi badanku (tinggi 147 cm dan berat 51 kg. Di mana warasnya itu?). Dia sangat menggilai Jepang dan antek-anteknya, aku sangat menyukai selera musik negeri ginseng dan khayalan fantastis penulis novel asal Britania Raya. Dia selalu berpikir rasional, sedangkan aku dipenuhi fantasi yang tumpah-tumpah saking banyaknya fiksi tercetak di dalam kepalaku. Oke, kadang animasi Jepang itu membantunya berkhayal. Tapi tetap saja, dia selalu menolak kuliahan dariku soal sihir dan bagaimana dunianya—fantasiku sejak usia sebelas tahun.
Kakakku itu. Aku membuka pintu lebih lebar dengan bunyi derit pelan pada engselnya. Kuhampiri lingkaran kecil di karpet merah gelap ruang tengah rumah. Kukira baru saja menyulut kobaran api hitam antar-saudara ketika dia sengaja membuatku kesal. Bagaimana pun, segala raunganku itu pasti terdengar bahkan oleh daging-daging ayam beku yang tersimpan di kulkas dapur. Tapi ternyata, dia sedang berbicara dengan orang lain. Orang-orang lain. Dan langsung mengenali orang-orang itu sebagai orang-orang yang selalu main ke rumah kami bahkan sebelum aku lahir.
Yah, siapa lagi kalau bukan teman-teman kakakku?
Ada tiga, bersama kakakku. Tergabung dalam geng solid yang sampai saat ini belum juga menunjukkan harga laku mereka di pasaran (begitu aku sering mencemooh kakakku). Kak Hadi, Kak Gilang, dan Kak Fuad. Tentu saja, kakakku—Iman.
Aku sedikit merapikan tatanan rambutku yang hancur juga beberapa kotoran khas bangun tidur di sudut mata atau pipiku ketika mendekat dan mendengar salah satu dari mereka bebricara cepat. "Gak bisa, Man. Senin itu sudah banyak gangguan. Ya upacara—"
Kontan syaraf-syarafku yang beberapa masih tertidur, melonjak-lonjak terbangun gembira mengetahui ada orang yang berpola pikir sama denganku. "AKU SETUJU SEKALI!" suara cemprengku menyambar, sorakku bersemangat duduk menjejalkan diri di antara Kak Fuad dan Kak Iman. "Siapa yang barusan berbicara?" kataku berseri-seri.
Kulihat Kak Hadi melambai ringan dan nyengir menunjuk dirinya sendiri—ah, baik benar. Sungguh pemikiran yang bijak.
"Ya, menurutku apa yang dikatakan Kak Hadi itu sangat benar—"
"Kami tidak butuh pendapatmu." ketus suara dari sebelahku. Kakakku mendelikku datar. Rupanya, kedatanganku yang tak diminta tidak disambut baik oleh kakakku sendiri. Tidak, aku tidak sakit hati, kok. Sudah biasa. Karena menurutnya, aku ini sampah masyarakat yang akan menyerap pundi-pundi cantik dari dompet kulinya. "Apa-apaan kamu Emma? Sana, baca lagi saja buku Hawry Phowter-mu yang kucel itu!"
"NO WAY!" kataku sengit. Berani-beraninya dia menginjak pahlawan dalan fantasi favoritku selama ini! "yang benar itu Harry Potter! Aku 'kan mau ikut ngobrol saja. Boleh, 'kan, boleh?"
Kak Hadi tertawa tanpa suara dan Kak Fuad jeelasjelas menahan dongkol berlebihan. Ah, aku tahu bakatku memang membuat kesal orang-orang. Apa? Kak Gilang? Ah, tidak usah ditanya. Dia memang yang paling tidak mau dekat denganku, apalagi menanggapi celotehanku yang receh.
"Asal tidak mengganggu," sahut Kak Gilang kaku. Oh rupanya, hari ini dia—lumayan—peduli padaku. Dia berpaling pada Kak Hadi, "Jadi, kalau bukan Senin, hari apa?"
"Ya sudah, biar oke, hari Sabtu aja. Itu masih awal-awal akhir pekan. Besoknya ada Minggu." Kak Iman masih terdengar ketus, bisa jadi dia kurang setuju keberadaan adiknya yang tengil merecoki diskusi-entah-apa-ini.
"Tapi keburu nggak, nih?" sanggah Kak Fuad menggosok-gosok kumis tipisnya. Dia yang paling putih diantara semua. Sehingga kumis tipisnya terlihat sangat mencolok. "Persiapannnya cuma lima hari dari sekarang. Nanti masih pada molor lagi... Pas waktunya berangkat baru deh pada melek."
"Bicara soal apa sih?" Aku bebrisik pada Kak Fuad yang baru saja menyuarakan pendapatnya sementara yang lain nampak menimbang-nimbang. Kak Hadi yang berkulit paling kurang cahaya menaik-turunkan jari di atas layar ponselnya. Kak Gilang, yang wajahnya panjang dan kental akan darah Arab, menggigiti jari telunjuknya dengan ekspresi kosong—aku tak percaya itu caranya berpikir. Kakakku—cih, aku tak sudi memperhatikannya.
Mereka semua sangat tinggi, dan semuanya menunduk, aku jadi merasa diperhatikan. Tentu saja ini hanya rasa percaya diri yang berlebihan.
"Ada aja."
Dasar om-om kumis tipis pelit.
Keheningan selama sepuluh detik diselip oleh suara lidahku yang mengentak langit-langit mulut "Tak tok tak tok,". Sampai dirusak oleh seruan lantang Kak Hadi.
"Ya sudah, sip!"
Dia berseru sampai aku terlonjak. Pandangannya masih tertuju pada ponsel, dan senyumnya berseri-seri terlihat mencolok karena warna giginya berbanding terbalik dengan wajahnya. Yeah, cukup lucu, sebenarnya. Aku tidak rasis lho, ya.
Duuh, mereka membicarakan apa sih sebetulnya soal hari Senin yang tidak jadi itu?
Walau penasaran, bukan berarti kedongkolanku soal hari Senin pudar, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FGHI
Short StoryBerjuta alasan untuk membenci hari Senin, tapi Emma berusaha memperbaiki opininya terkait keringanan untuk hibahan pemikiran negatif darinya untuk si hari kedua dalam kalender Masehi.