Kakakku masih berusaha gigih untuk mengusirku dari sana dengan alasan, "Kami butuh asupan energi. Sekarang, buatkan cemilan dan minuman, atau apa sajalah!"
Aku mendelik dan mengaduk-aduk jus jeruk di gelas ketiga dengan gusar. Hampir segala perabot yang kugunakan untuk membuat minuman berkelontangan keras, menunjukkan betapa aku sebal disuruh-suruhnya seperti ini. Ibuku sampai berteriak marah dari arah halaman belakang, sedang berjumpa dengan tanaman-tanaman sayur hijaunya sekarang. Sementara kakakku dan gengnya terlibat percakapan soal sesuatu yang sepertinya acara besar sampai butuh persiapan lima hari (begitu penuturan Kak Fuad) sedangkan aku bertanggungjawab atas cucian piring dan menjadi pelayan yang membawakan mereka kudapan.
"Emma!"
"Maaf, Ma!" teriakku tanpa merasa benar-benar meminta maaf ketika sekali lagi ibuku menjerit mendengar suara nampan alumunium kuentakkan keras ke meja keramik di dapur. Aku meringis, niatku untuk mengode keras kakakku malah membuatku ditampar balik dengan amukkan ibuku.
"Emma, gak usah aneh-aneh bikin minumannya! Ikhlas gak, sih?"
Ingin kugerungkan "NGGAK!" kuat-kuat pada kakak tercinta tapi aku memikirkan nasib pulsa kuota handphone-ku ke depannya. Kadang si tongkat pramuka itu berjasa guna berlangsungnya momen-momen histerisku untuk streaming video musik favoritku (yang menurut Iman—KAK Iman—aneh, "Apa-apaan cowok pakai eyeliner?" Dasar anak kuliahan kolot). Yah, begitu-begitu dia baik juga.
"Iya, iya!" kataku ogah-ogahan. Langkahku mengentak-entak sampai telapak kakiku memerah sakit. Lagi-lagi aku yang kena sialnya. Dan whoops, hampir nampanku jatuh berkelontangan karena hampir gagal menjaga keseimbangan.
Aku menyimpan nampan berisi lima gelas jus jeruk dan stoples keripik asin di tengah-tengah mereka. Tak perlu kutawari, langsung disambar rakus. Aku merengut dan memilih tidak mengatakan apa-apa. Dan sejenak mereka nampak bahagia merasakan air sejuk mengaliri tenggorokan yang tandus oleh diskus-entah-apa-itu.
"Kok nggak minum?" tawar Kak Hadi setelah menyimpan gelasnya—tersisa setengah.
Aku mendengus. "Nanti aja." Setelah masing-masing meletakkan gelas, aku berpaling dan mendesak kakakku. "Kalian bahas soal apa, sih?"
Mereka sejenak bertukar pandang. Kemudian menyunggingkan senyum geli.
Benar-benar menyebalkan.
"Bukan apa-apa sebenarnya," tutur kakakku kalem tanpa mau memandangku yang menatapnya gusar. Yang lain mendenguskan "Pfft," tanda mereka menahan tawa. "Ini acara kami! Serius kamu mau tau?"
"Mau!" jawabku bersungut-sungut.
Kak Iman menghela napas. Sepertinya berat menjawab keingintahuanku di kala yang lain asyik jeda dan menggerogoti keripik pisang. "Rencananya, kami bakal menonton Festival Angklung Jawa Barat di kota. Mumpung kami tidak memiliki jam kuliah dua bulan ini.." Dia mengembuskan napas bangga. "Dan, kami masih bingung soal tanggal pemberangkatannya..."
Aku melengos malas. Bayanganku soal rencana hiking ke gunung-gunung curam, atau menyelam ke dasar lautan, atau berencana menyemarakkan kota dengan macam-macam festival sekolah, atau acara-acara wah lain buyar sudah. Aku yakin bukan aku saja yang berpikir bahwa itu hal yang tidak luar biasa, dan tidak perlu didiskusikan dengan sealot itu. "Itu saja?"
"Saja?" Kak Iman menatapku tidak percaya, penuh penekanan setiap suku katanya. "Kamu pikir saja? Wajar, sih. Otakmu sudah terkontaminasi musik-musik gak jelas favoritmu itu!"
Alisku terangkat naik secara emosional. Dia baru saja mengata-ngatai seleraku? Peradaban musik yang besar dan cukup fenomenal dari Benua Asia?
"Apa, sih??" suaraku meninggi sekian oktaf. "Kok tau-tau jadi menghina idolaku begitu!"
"Karena kamu BODOH, lebih mengutamakan musik luar sementara budayamu sendiri kauanggap angin lalu!" Kak Iman membuatku semakin kesal saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
FGHI
Short StoryBerjuta alasan untuk membenci hari Senin, tapi Emma berusaha memperbaiki opininya terkait keringanan untuk hibahan pemikiran negatif darinya untuk si hari kedua dalam kalender Masehi.