3

121 12 1
                                    


Tiga temannya menatap kami dengan pandangan berbeda-beda: malaslah kudeskripsikan satu-satu. Intinya mereka tidak menganggap perdebatan ini penting untuk dicermati. "Kakak juga sama saja! Kakak pikir animasi-animasi yang suka kakak tonton itu bukan dari luar?"

"Setidaknya aku tidak menganggap festival tidak lebih penting dari menonton konser penyanyi asing."

Darahku mendidih tapi aku tidak mungkin menunjukkan seberapa aku bisa marah di hadapan teman-teman kakakku. Bisa-bisa mereka mengernyit dan memilih angkat kaki sekarang juga, lalu memilih tidak kembali lagi. Dan berpikir, dasar adik kurang ajar yang tidak bisa sopan santun terhadap kakak sendiri.

"Sudah, sudah," akhirnya Kak Gilang menengahi. "Emma, minum dulu, deh. Nanti keburu gak dingin lagi jus nya."

Aku menyorongkan pandangan tajam pada Kak Gilang. Lalu pada gelasku satu-satunya yang masih terisi penuh berwarna oranye menyegarkan dan sisi-sisinya mulai berembun. Kuteguk cairan asam-dingin di dalamnya yang habis ditenggak setengahnya olehku. "Dasar menyebalkan," lalu gerutuku pelan.

Aku pahami selama ini, aku cenderung antusias terhadap hal apa saja yang berbau K-Pop. Terlihat tidak etis, tidak benar, dan semua berpikir sebaiknya aku tidak melakukannya. Tapi jika aku menengok pada negara ini, aku benar-benar resah melihat pemberitaan korupsi sampai kasus kopi yang belum juga menemui ajalnya. Publik diperlihatkan bahwa apa yang menjadi karakter Indonesia adalah menikmati tayangan yang tidak sepantasnya diterima anak-anak remaja. Yah, tidak jauh berbeda sebenarnya. Tapi lama-kelamaan aku muak berkat media-media sosial yang mengundang hal-hal tidak baik, satu contohnya cyber-bullying. Kecenderungan menikmati kebudayaan luar tidak diamini sebagai tindakan yang tepat, bagi sebagian orang. Satu kalimat sederhana, aku mencari hiburan. Hiburan yang tidak kudapat dari sini. Toh, mengapa? Dengan menggemari ini aku bisa menjaring lebih banyak teman dari seluruh Indonesia, dari tiap-tiap petak benua, bahkan seluruh dunia. Dan sekarang kakakku emosi karena aku telanjur berpikir soal acara-acara besar dan tanpa sadar mengatakan itu saja?. Dia tidak bisa menyimpulkan aku tidak memiliki sedikit pun nasionalisme hanya karena menyukai pemusik yang bukan dari Indonesia. Di mana benarnya itu? Aku menarik napas penuh ketidaksabaran, memicing satu-satunya laki-laki yang berhubungan darah denganku.

Aku akan sangat kagum jika dia tidak menyimpulkan hanya apa yang mengambang di permukaan.

FGHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang