Aku berdiri di pojok ruangan ditemani helaan napas panjang. Seperti yang sudah biasa kulakukan, tanganku mencoret tanggal hari ini pada kalender yang tergantung sebagai ritual call it a day. Spidol yang kulempar ke atas meja setelah kugunakan bergulir perlahan dan jatuh ke lantai, membuat aku mendengus dan berbalik. Setelah meraih dan mengembalikannya ke tempat semula dengan perangai jengkel, aku menghempaskan tubuh ke atas kasur dengan brutal. Tangan kananku kuletakkan di atas kepala dan pergelangan kaki kiriku nangkring di atas lutut.
Gelisahku bukan timbul tanpa alasan. Malam keakraban semakin dekat sementara masih ada tugas dokumentasi yang belum juga kelar. Sebagai anggota sie, aku nggak bisa bertindak sebelum menerima perintah dari Mas Wahid. Padahal, setahuku, masih ada dua project lagi yang tersisa. Title orang nomer satu yang paling aku benci bulan ini goes to ketua panitia yang nggak bisa membiarkan kami, sie pubdok, bekerja dengan tenang. Yang kedua, Mas Wahid, koor yang nggak cepat tanggap. Yang ketiga, diriku sendiri, yang berkat pilihan-pilihanku di masa lampau, jadi terjebak dalam keadaan ini.
Aku menghela napas lagi, entah sudah yang kali keberapa. Mataku kini menatap nanar layar laptop yang sedang menampilkan proses render video project trailer lomba fotografi tiga bulan ke depan. Karena Mas Wahid belum juga memberikan perintah, aku memanfaatkan waktuku untuk mengerjakan tugas kepanitiaan lain yang sebenarnya deadline-nya masih lama. Sudah nyaris pukul dua belas dan aku sangat ingin memejamkan mata, tapi tanggung. Aku takut kalau-kalau prosesnya mengalami gangguan saat aku sudah vakum dari dunia nyata. Nggak lucu kalau aku sampai harus meng-edit video ini dari awal lagi.
Saking bosannya, aku sempat kepikiran untuk nge-chat Dean. Tapi karena dia besok mesti berangkat pagi untuk menjemputku duluan, aku urung dan tahu diri. Lalu aku teringat sesuatu. Tanganku yang semula menopang dagu berpindah ke touchpad laptop, mulai menyusuri dokumen. Aku membuka daftar folder yang ada di hard disk Mas Wahid. Aku baru ingat kalau kemarin aku minta dikirimi file malam keakraban tahun lalu. Dan bukan tanpa alasan, sih. Aku cukup yakin kalau banyak foto momenku dengan Dean yang harus aku simpan di situ. Nggak jarang Mas Wahid atau qiánbèi lain lewat dan mengabadikan kami saat tengah berdua-duaan. Hell yeah, mereka pasti berpikiran bakal seru kalau foto kami disebarkan. Homo jokes at the point.
Dulu, selama malam keakraban, aku dan Dean hampir selalu berdua. Kebetulan kami juga satu kamar, meski agak sial karena aku nggak tidur di sampingnya dan malah satu selimut dengan Kelana. Aku cuma bisa menatap iri pada Dean yang memunggungiku dan wajahnya menghadap ke arah Sabi. Bagusnya, aku bisa tidur dengan nyenyak karena nggak perlu melihat wajah Dean yang pasti lucu banget. Kalau aku menghabiskan malam sambil menatap wajahnya, aku yakin aku nggak bakalan bisa tidur dan my energy would have drained so fast at day. Waktu tidur yang diberikan para qiánbèi cuma dua sampai tiga jam, dan aku nggak mau menyia-nyiakannya. Yah, meski memandangi wajah Dean itu nggak berarti sia-sia juga.
Aku tersenyum saat menemukan foto Ari yang tengah didorong ke kolam. Ilham, karena badannya agak kecil, diangkat oleh para qiánbèi yang berbadan lebih besar darinya. Aku sendiri waktu itu lari karena nggak suka basah-basahan. Dean, aku lupa. Kayaknya dia juga mojok. Setahuku, sama seperti aku, Dean juga nggak suka dengan air. Oh, aku ingat. Dia berlari dan sembunyi di balik pohon-pohon. Rasa nggak sukanya jauh lebih parah daripada aku. Kehujanan saja dia benci setengah mati. Dia lebih memilih tinggal di kampus sampai malam daripada menerobos pulang meski di dalam joknya selalu ada jas hujan. Hanya saat mandi dia bisa mediasi dengan air.
Soal mandi ... Ah, sialan.
Waktu istirahat sore yang diberikan saat malam keakraban cuma sekitar satu jam. Karena kegiatan dari pagi sampai siang membuat kami terus bergerak dan menghasilkan banyak keringat, demi kenyamanan bersama, kami memutuskan agenda wajib mandi bagi semua penghuni kamar. Kami menyusun rencana supaya durasi itu bisa kami manfaatkan dengan efektif. Karena sekamar diisi oleh sembilan orang, kami membaginya menjadi tiga kloter dengan tiga orang di setiap kloternya. Satu kloter punya waktu lima belas menit untuk menggunakan kamar mandi. Lain kloter lain lagi kebijakannya. Kalau Kelana, Ibra, dan Sabi memutuskan untuk membagi jatah masing-masing lima menit bagi setiap individu, aku, Dean, dan Budi sepakat untuk langsung masuk bertiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingkai
General FictionDari sekian banyak minat yang ada di dunia, Amar cuma jatuh hati pada satu: fotografi. Masuk ke jurusan kuliah yang berbau sastra pun bukan murni kehendaknya-cuma salah satu opsi yang dia estimasi bakal mampu untuk menjembatani hobinya itu di masa d...