Ibarat membuat novel perdana, special thanks minggu ketiga bulan September ini kudedikasikan kepada kesibukan yang sukses membuatku merasakan barely living akhir-akhir ini. Setelah selama beberapa bulan terakhir sedikit berhasil adaptasi dengan seluk-beluk kehidupan kampus, berkat those-damned-assigments, pondasiku mulai tergoyahkan lagi. Kerjaan yang datang tanpa henti disertai deadline yang saling berdempetan membuat aku nyaris gila. Tugas-tugas sebelumnya yang belum selesai aku garap sudah dikubur dengan proyek-proyek baru lagi. Congratulations!
Oh, tunggu. Ralat. The truth is, yang dikubur itu aku.
Hahaha.
Ha.
Huh. Hah.
Yang tenang, Amar.
Aku berjalan terseok-seok menuju kantin. Lagakku di mata orang lain pasti layaknya mayat hidup. Kuliah sebenarnya baru akan dimulai pukul sembilan, namun sejak pukul tujuh kurang sepuluh tadi aku sudah berada di sini karena kudu nebeng Mas Wahid yang ada kelas pagi. Semalam, aku nggak pulang karena terpaksa menginap di kamar indekos koor sieku itu untuk mengerjakan tugas publikasi yang belum kunjung selesai. Dan, tugas itu masih belum selesai. Tapi, kabar baiknya, aku sudah lepas tangan dari kewajiban itu. Dara dan Nike yang absen kerja rodi semalam sudah berjanji akan memberikan sentuhan final mereka pagi ini. Jadi, untuk sementara ini, tugas itu belum jadi urusanku lagi.
Meski tugas yang sedang dikejar-kejar ketua panitia itu nggak lagi ku-handle, bukan berarti nasib burukku serta merta usai. Karena perutku terasa nggak enak, meski aku datang pagi, aku ogah sarapan dari tadi. Aku pun belum sempat mandi dan ganti baju, apalagi ganti sempak—shit, belum. Sama sekali nggak sempat. Aku lebih memilih untuk setia dengan pembungkus kejantanan yang kukenakan sejak kemarin pagi ketimbang meminjam salah satu milik Mas Wahid yang menganggur meski dia sudah menawarkanku berkali-kali dengan agak memaksa. No, thank you very much. Very very very much.
Satu-satunya hal yang sempat kulakukan untuk memanjakan ragaku pagi ini adalah menyesap kopi dingin kalengan yang kubeli dari salah satu kulkas milik warung di kantin fakultasku. Aku melangkah gontai sambil melirik sekitar, mencari tempat yang sekiranya bisa meredam pikiran kalutku. Akhirnya kuputuskan untuk menghabiskan cairan hitam di genggamanku ini sambil melamun di salah satu bangku yang kelihatan sepi. Seorang kawanku dari sastra inggris yang berpapasan denganku melemparkan senyuman.
"Am!"
Sejujurnya, aku heran bagaimana dia masih bisa mengenaliku dalam bentuk yang seabsurd ini.
"Oit!"
Nah, sepi lagi.
Seusai dopping-ku habis kukonsumsi, aku meletakkan kepalaku di atas meja dan memblokir akses pandangnya dengan kedua lenganku. Aku melengos. Setelah begadang sampai seusai sholat subuh, mataku susah sekali untuk dibuka lama-lama. Kulirik jam tanganku—masih pukul delapan. Masih ada waktu untuk me-recharge energiku yang sudah di ujung tanduk. Aku memejamkan mata dan baru akan mulai terlelap saat seseorang mengelus rambutku. Buru-buru kuangkat kepalaku dan menyaksikan kehadiran orang itu.
Heh. Itu Dean.
Sialan. Aku nggak jadi nih tidur kalau gini caranya. Why, lord?
"Pagi," ucap Dean dengan perangai tenang seperti biasa. Dia mengisi kursi kosong di seberangku dan meletakkan tasnya di samping kanan, menempel pada sebelah pahanya, "masih ngantuk, ya?"
Aku mengangguk sambil menguap lebar, "apa boleh buat. Semalem aku nginep di rumah Mas Wahid bareng Mas Fauzi dalam rangka garap tugas publikasi. Baru bisa tidur pas abis subuhan. Eh, pas mau lanjut molor, kamu dateng."
"Oh," wajah Dean langsung berubah panik, "aku ngebangunin kamu, Am? Sorry-sorry. Aku pergi aja, ya?"
"Nggaklah, jangan," cegahku sambil mengibaskan tangan, "nggak apa-apa. Nggak usah. Nggak perlu. Ngantuknya udah hilang pas kamu dateng."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingkai
General FictionDari sekian banyak minat yang ada di dunia, Amar cuma jatuh hati pada satu: fotografi. Masuk ke jurusan kuliah yang berbau sastra pun bukan murni kehendaknya-cuma salah satu opsi yang dia estimasi bakal mampu untuk menjembatani hobinya itu di masa d...