"Kamu ngefoto apa, sih"
Aku mendadak buyar dari lamunanku semula. Bola mataku jadi sesigap elang, menukik ke arah mana saja yang sekiranya nggak akan menimbulkan kesan macam-macam. Sebisa mungkin aku berusaha menyamarkan dosa-dosaku di hadapan orang ini—Mas Wahid, koor sie pubdok—yang sedang berdiri di hadapanku dengan tatapan bete karena aku melenceng dari tugas. Tangannya mengeplak pelan bagian depan topi yang aku pakai. Aku memejamkan mata sebentar, reflek karena serangannya yang tanpa aba-aba.
"Acaranya di sana. Nggak perlu ngefotoin anak perkap yang lagi gabut," tegasnya.
Nggak perlu sampai Mas Wahid memarahiku dua kali supaya aku tahu diri. Aku beringsut dari gerombolan anak-anak sie perlengkapan dengan berat hati. Mau nggak mau, rela nggak rela, aku harus bergabung bersama Nike dan Dira yang tengah fokus mengabadikan momen-momen penyambutan adik tingkat kami yang baru akan masuk semester satu. Bibir bawahku maju sedikit, menemani langkah kakiku yang ogah-ogahan. Kalau nggak ingat tugasku sebagai sie pubdok, aku emoh pergi dari sana.
"Amar!"
Aku menoleh dengan tampang yang aku tahu awut-awutan. Selain karena belum mandi pagi ini, ekspresi kesal yang menghiasi wajahku jelas membuat rupaku terlihat makin nggak bisa dimaklumi. Laki-laki jangkung yang sebelumnya menyebut namaku itu berlari kecil ke arahku, memperpendek jarak di antara kami. Rambut depannya yang lebat dan panjang namun tertata rapi bergerak-gerak pelan seiring langkahnya ke arahku. Sial, sudah satu jam tadi aku berdiri di sana. Kenapa dia baru notice aku sekarang?
"Nih," dia menyerahkan sepotong roti sisanya makan tadi, seolah dia tahu kalau aku hampir mati dan butuh asupan energi, "aku nggak habis. Buat kamu aja."
"Thanks, De," jawabku dengan senyum simpul.
Phew, kalau tadi Mas Wahid membuat gumpalan darah di balik tengkorakku serasa ingin muncrat, orang di hadapanku ini berhasil menenangkan gejolak itu kembali. Sungguh, dia macam pawang hewan liar yang tahu betul bagaimana menjinakkan homo sapiens sapiens yang butuh rehat karena belum tidur selama dua hari ini. Aku menyimpan roti itu di dalam saku jaketku. Rencananya akan kumakan nanti.
"Makan yang banyak. Biar makin tinggi," tangannya menepuk kepalaku pelan.
Berkebalikan dengan fisiknya yang jangkung dan kurus, tinggiku pendek dan tubuhku sedang-sedang saja. Entah aku mimpi apa sebelum masuk kuliah—bisa-bisanya aku satu angkatan dengan mereka yang sebagian besar lebih tinggi dari aku, bahkan para perempuannya. Aku bahkan nggak lebih tinggi dari beberapa cewek yang paling rendah di angkatan kami, dan itu sungguhan menyiksa. Mereka memang nggak pernah mengejek tinggi badanku secara langsung, tapi itu sangat nggak keren saat mereka memanggilku dengan sebutan 'heh, kecil!'. Bangsat.
Tapi, dia beda. Aku nggak pernah marah saat dia menyinggung tinggi badanku. Malahan, aku suka.
"Woi," dumelku sok-sokan kesal.
Aku malah mati-matian menahan senyum sekarang. Dodol.
Dia tertawa, mengeluarkan suara renyah nan menenangkan yang selalu aku suka. Aku benci saat tangannya turun dari kepalaku dan masuk ke dalam saku celana training-nya. Tanpa mengucapkan selamat tinggal atau apa pun, dia langsung nyelonong pergi. Tempo langkah kakinya sama dengan saat menghampiriku tadi. Rambutnya masih bergerak-gerak lucu, membuatku ingin mengejarnya dan membelainya seharian penuh.
S e h a r i a n p e n u h.
Hei, ngomong apa aku barusan?
"Amar!"
"Yo, Mas Wahid! Siap!"
Aku berlari menuju kumpulan adik-adik tingkatku yang sedang melakukan senam pagi. Kedua tanganku memegang kamera dan telunjukku tepat di shutter-nya, berlagak hendak mengambil gambar sungguhan setelah ini. Sudah nggak ada waktu lagi. Lebih tepatnya, wajah Mas Wahid yang dapat kulihat bersungut-sungut dari kejauhan itu menyiratkan bahwa tidak ada ampun lagi kalau sampai tindakan tadi kuulangi.
Aku sejenak teringat sesuatu. Tanganku berpindah sebentar dari kamera, merogoh seonggok roti yang kusimpan di dalam saku jaketku tadi. Mataku membagi perhatian antara Mas Wahid dan bekas gigitan Dean pada salah satu sisi roti. Kubuka bungkusnya dan kugigit tepat di bagian yang ada bekas gigi-gigi lucunya. Ah, roti yang ada di dalam mulutku sekarang ini jadi terasa seribu kali enaknya. Mas Wahid, anak buahmu ini siap kerja!
***
H-hai. Aku kembali.
Oh, unwated. Kbye.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingkai
Fiksi UmumDari sekian banyak minat yang ada di dunia, Amar cuma jatuh hati pada satu: fotografi. Masuk ke jurusan kuliah yang berbau sastra pun bukan murni kehendaknya-cuma salah satu opsi yang dia estimasi bakal mampu untuk menjembatani hobinya itu di masa d...