BAB 4

4K 205 3
                                    

"Every living will change. Either now or later time we can only wait."

*****

Edel POV

Suara berat tepat di telingaku, terdengar familiar. Hanya ada satu kemungkinan, Elang. Hanya Elang yang berada di sini sebelum aku terlelap. Untuk apa dia peduli dengan ku? Dia membisikkan kalimat ambigu yang membuatku harus berfikir dua kali.

Sekarang aku tidak tahu, masih dalam keadaan sadar atau sedang bermimpi. Tapi jika ini mimpi, suara itu, hembusan napas yang sangat dekat, apa mungkin bisa terasa senyata ini dalam mimpi?

Aku membuka mata perlahan. Cahaya dari sinar matahari yang berusaha masuk melalui celah jendela UKS menyilaukan mata. Kulihat sekeliling, Elang sudah tidak ada. Cukup lama juga aku tertidur. Dari pagi sejak awal jam pelajaran sampai sekarang, 10 menit lagi bel pulang akan berbunyi.

Pikiranku kembali saat berangkat sekolah tadi. Lemas dan pusing menyerang tubuhku. Sebenarnya bukan hari ini saja, beberapa bulan semenjak aku memasuki SMA sering sekali aku drop.

Aktivitas yang aku lakukan sebenarnya tidak terlalu berat. Mengangkat beban berlebih tidak pernah. Sekolah setiap hari diantar oleh supir.

Kedua orang tuaku dan kak Revan juga tidak ada yang tahu semua ini. Mereka terlalu sibuk sendiri.

Mungkin, kapan-kapan aku akan memeriksakan diri ke dokter.

Aku berjalan kearah pintu. Sebelumnya aku berhenti di depan kaca yang sengaja diletakkan disamping pintu masuk UKS. Rambutku sedikit berantakan.

Aku mengambil sisir yang tergeletak di meja bercampur dengan obat-obatan. Perlahan-lahan karena masih sakit, aku menyisir rambut dan itu sangat sulit karena rambutku sudah sepinggul.

Saat keluar ruangan, aku melihat Naya berjalan sendiri dari arah kantin. Kebiasaan yang buruk, mabal ketika jam kosong. Naya membawa satu kantong plastik-yang entah apa isinya-dan air mineral dua botol.

"Nay tunggu!" Aku melambaikan tangan ke Naya. Dia tersenyum sumringah dan menghampiriku.

"Emang guru nggak ada?"

"Pak Santo anaknya lagi sakit. Ambil cuti seminggu. Denger-denger anaknya sakit apa ya ..." Naya tampak berpikir.

"Oh iya lupus. Anaknya sakit lupus. Kasihan juga ya, gue sih nggak tau itu penyakit apaan."

"Gimana sih, orang Ipa tapi masalah gitu nggak tau Nay."

"Ya maklum lah, gue masuk ipa gara-gara orang tua. Peruntungan juga sih sebenernya." Naya memang lucu.

"Sekolah bukan mencari peruntungan. Kalau setau gue, lupus itu penyakit yang sama bahayanya sama kanker. Bedanya lupus sulit terdeteksi dini. Penderita baru bisa di diagnosis setelah muncul tanda-tanda lupus."

Naya menepuk pundakku. "Kagum gue Del sama lo. Setiap hari lo bikin gue termotivasi buat terus semangat sekolah. Pingin gue jadi lo Del. "

"Jadi diri lo sendiri aja Nay. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pintar-pintarnya setiap orang buat menyembunyikan kekurangan itu dengan menonjolkan kelebihannya. Keahlian lo bukan bidang bio, mungkin fisika, mungkin sih."

Kami berdua tertawa bersama. Jelas fisika adalah pelajaran terhoror sepanjang sejarah.

"Eh Del tunggu bentar." Naya mengambil beberapa helai rambut yang menempel di baju putih seragamku.

"Rambut lo rontok! Banyak lagi."

Benar apa kata Naya. Lumayan banyak rambutku yang rontok. Mungkin masalah shampoo lagi. Sudah beberapa kali aku mengganti shampoo karena rambut rontok.

Cose U (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang