II : Kitab ilmu pedang

3.5K 31 0
                                    

Entah berapa lama sudah lewat, mendadak Hian Kie seperti mendusin dari mimpinya yang buruk dan hebat, dia seperti dibawa terbang kudanya berlaksa lie, dia bertempur dahsyat di gunung belukar di malam hari, lalu dia ingat kejadian atas dirinya. Ia menggeraki tubuhnya, untuk berbalik.
"Ha, aku berada di mana?" tanyanya seorang diri. "Mana Siangkoan Thian Ya? Mana Oen Lan? Mana kudaku? Eh, tempat ini tempat apakah?"
Ia terbenam dalam keheranan, matanya mengawasi ke arah jendela. Di sana terasa angin halus mendesir masuk, hidungnya membaui bau yang harum halus, hatinya menjadi lapang. Karena ia merasakan nyaman itu, tiba-tiba ia berbangkit untuk berduduk.
"Hai, mengapa aku telah kembali ke rumahku?" ia berseru seorang diri tanpa ia merasa.
Inilah sungguh di luar dugaan. Ia mengucak-ngucak kedua matanya, ia pun menggigit jari tangannya sendiri. Bukan, ia bukan tengah bermimpi! Ia ingat baik sekali bahwa ia telah tiba di gunung Holan San, di kaki gunung, yang terpisah dan rumahnya ribuan lie. Mustahilkah ia telah ketiduran hingga seratus hari? Bahwa tengah pulas orang sudah mengangkatnya, menggotong ia pulang ke rumahnya? Atau, mustahillah di dalam dunia ini ada dewa, yang telah menggunakan ilmunya membikin ciut bumi, hingga dari kaki gunung Holan San ia telah dibawa pulang ke kampung halamannya di Soetjoan Utara?
Tidak, itulah tak dapat terjadi! Toh ia bukannya lagi bermimpi!
Jendela di depannya itu menghadap ke selatan, jendela itu tertutup dengan kaca, di luar jendela berbayang pohon bwee. Semua itu, berikut almari buku di dalam kamarnya ini ? ia ingat, adalah kamar tulisnya sendiri...
Ketika itu terdengar tindakan kaki di luar kamar. Tidak ayal lagi, pemuda ini bergerak untuk turun dari pembaringan.
"Ibu!" ia memanggil keras.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa geli, lalu tertampak seorang nona menyingkap layar bertindak masuk. Dialah seorang nona dengan alis lengkung bagaikan bulan sisir, mulutnya kecil mungil seperti buah engtho, dan di sorot matahari pagi itu, mukanya yang potongan telur bersemu dadu cemerlang, hingga jelaslah kecantikan dan kesegarannya. Hanya pada wajah itu nampak roman kekanak-kanakkan.
Heran Hian Kie hingga ia berdiri tercengang.
"Bagus!" terdengar si nona membuka mulutnya, memperdengarkan suara yang halus. "Kau telah dapat turun dari pembaringan! Bagaimana? Apakah kau kangen akan rumahmu?"
Kembali Hian Kie tercengang.
"Ah, jadinya ini bukan rumahku?" pikirnya heran.
Nona itu menghampirkan dengan tindakan perlahan sekali hingga terasa hawa mulutnya yang harum wangi. Ia tertawa pula ketika ia berkata lagi: "Aku lihat kau membawa-bawa pedang, kau menunggang seekor kuda jempolan, tetapi kiranya kaulah seorang bocah gedeh, sebab begitu kau sadar kau memanggil ibu!"
Hian Kie heran, ia tak mengambil mumat kata-kata itu.
"Aku mohon bertanya, nona apakah shemu yang mulia ?" tanyanya. "Kenapa aku dapat datang kemari?"
Si nona kembali tertawa.
"Aku justeru hendak menanyakannya kepadamu!" sahutnya. "Kenapa orang telah melukai kau begini hebat? Coba aku tidak menyimpan pel mustajab Siauwyang Siauwhoan tan, aku kuatir kau bakal mesti merawat sedikitnya setengah tahun."
"Terima kasih, nona, terima kasih! Aku mohon bertanya, tempat ini tempat apakah?"
"Inilah rumahku. Adakah kau mencelanya buruk?"
Hian Kie mementang lebar kedua matanya. Ia mengawasi ke sekitarnya.
Di tembok ada tergantung sebuah pigura yang melukiskan panorama di waktu malam di musim rontok di sungai Tiangkang, di sana nampak si Puteri Malam tergantung di atasan sungai, di sungai sendiri terlihat empat atau lima buah kapal perang. Kota pun seperti berlatarkan belakang sungai itu, kotanya besar dan angker. Di atasan itu ada seruas syair yang memuji keindahan sungai Tiangkang itu.
Di samping pigura itu pula ada tergantung sebatang pedang, mungkin pedang mustika, sebab romannya luar biasa.
Itulah dua rupa benda yang tak ada di dalam kamarnya sendiri.
Maka lagi sekali ia memandang kelilingan.
Perlengkapan kamar ini ada bagiannya yang tak sama dengan kamarnya, hanya itu jendela kaca, pula luarnya jendela di mana ada pohon bwee.
Bagaimana mirip!
Nona itu tertawa mengawasi orang yang berdiam bingung seperti si tolol.
"Kenapa?" tanyanya.
"Kamar ini indah, mengapa dibuatnya jendela itu?" si anak muda bertanya.
Biasanya dulu-dulu, sebuah rumah besar berjendela kecil dan dipakaikan kaca keluaran Pakkhia dan itu jarang tertampak kecuali di Kanglam. Nona itu heran orang menanyakan jendela. Tapi ia bersenyum manis.
"Itulah perlengkapan yang dibuat ayahku," sahutnya.
Sambil berpegangan pada tembok, Hian Kie menghampirkan jendela itu, perlahan tindakannya.
Ketika itu di luar jendela, bunga bwee tengah mekar, baunya harum.
Tanpa merasa, Hian Kie berkata perlahan:
"Membuka jendela menyambut matahari pagi, menggulung layar mencium bau harum, di mana telah berada pekarangan penuh dengan bunga bwee, sudah seharusnya diadakannya jendela ini..."
Mendengar itu, si nona melengak.
"Ah," serunya perlahan, "nyatalah kegemaranmu sama dengan kegemaran ayahku. Ayah pun membilangnya, lebih banyak jendela dibuka, supaya sinar matahari nembus ke dalam, hingga harum bunga memenuhi kamar, itu membuatnya pikiran orang nyaman dan terbuka."
Hian Kie pun heran.
"Tapi itulah bukan kegemaranku belaka, itulah..." katanya.
"Bagaimana?" si nona memotong.
"Kamarmu ini tak beda banyak dengan kamarku," menerangkan si anak muda. "Hanya kamarku itu adalah ibuku yang mengaturnya."
Kelihatan nona itu sangat ketarik hati dan kagum.
"Kau mempunyai ibu seperti ibumu itu, sungguh kau beruntung!"
Hian Kie dan ibunya memang sangat saling menyayangi, maka itu senang ia mendengar pujian si nona.
"Juga ilmu silatku ada ajarannya ibuku itu," katanya bersenyum.
"Hanya sayang ibuku sendiri, selama sepuluh tahun, ia selalu menyekap diri di dalam kamar," berkata si nona tanpa diminta. "Dalam satu tahun, cuma beberapa hari saja ia mendapat lihat matahari..."
"Oh, kiranya peebo berada di rumah," kata Hian Kie, agak terperanjat. "Aku masih belum menemuinya..."
"Kesehatan ibuku buruk, seluruh tahun ia berdiam saja merawat dirinya di dalam kamar," berkata pula si nona, "sekalipun pintu depan, tak suka ia pergi melintasinya, maka itu jangan dikata pula untuk menemui tetamu."
Hian Kie melihat kening orang dikerutkan, ia menyesal dengan kata-katanya itu. Maka syukurlah untuknya, sejenak kemudian kembali si nona dapat bersenyum.
"Kiranya ilmu silatmu ada ajarannya ibumu," katanya. "Bagaimana dengan ayahmu?"
Wajahnya Hian Kie menjadi guram.
"Ayahku telah menutup mata sebelumnya aku dilahirkan," sahutnya berduka.
"Ah!" berseru si nona tertahan, terus ia berdiam.
Hian Kie tak dapat melenyapkan keheranannya.
"Aku Tan Hian Kie," katanya memperkenalkan diri. "Boleh aku menanya she yang mulia dari nona? Adakah ayah nona di rumah?"
Ditanya begitu, sebaliknya, si nona tertawa.
"Aku tidak mengharap balasan budimu, mengapakah kau menanya tak habis-habisnya?" tanyanya, manis.
Parasnya Hian Kie menjadi merah, ia likat. Memang aneh akan menanyakan she atau namanya seorang nona yang baharu dikenal. Ia menanya saking hatinya tertarik sangat oleh gerak-gerik nona itu. Tidak disangka, ia ketemu batunya...
Nona itu mengangkat kepalanya melihat matahari.
"Kau telah tidur nyenyak satu malam, sekarang tentulah kau lapar," katanya kemudian. "Kau tunggu sebentar."
Ia tertawa, terus ia menyingkap layar untuk bertindak pergi. Hanya tiba di ambang pintu, ia berpaling.
"Baiklah aku beritahu padamu, aku she In," katanya perlahan.
Hati Hian Kie bercekat.
"She In," katanya di dalam hatinya itu, "mustahilkah?..."
Tapi segera ia mengubah pikirannya. Ia berpikir pula: "Di kolong langit ini tidak sedikit orang she In, tidak nanti terjadi peristiwa sangat kebetulan seperti ini..."
Sendirinya ia menghibur diri tetapi tetap ia masgul, tak tenang pikirannya. Ia lalu mencoba menggerak-geraki tangan dan kakinya. Senang hatinya. Ia dapat bergerak dengan merdeka.
"Pukulannya Siangkoan Thian Ya berat tetapi obatnya si nona begini mujarab," pikirnya pula. "Mungkin dia dari keluarga ilmu persilatan."
Ia mengangkat kepalanya, memandang tembok. Menampak itu pedang yang luar biasa, tak kuat ia menahan kehendak hatinya, ia mengulur tangannya untuk mengasi turun senjata itu. Ia pun menghunusnya. Maka tampaklah sinar pedang dalam mana samar-samar terbenam cahaya kehijau-hijauan. Itulah benar suatu pedang yang istimewa.
Muda ia ada, Hian Kie adalah suatu ahli untuk alat-alat senjata. Maka tercenganglah ia.
"Nona ini sangat mempercayai aku," pikirnya pula. "Enak saja ia menggantung pedangnya di sini, tidak kuatir ia nanti aku mencurinya."
Ia menunduk, akan mengawasi saksama pedang itu. Di gagang pedang ada ukiran dua huruf kuno yang luar biasa, menampak mana, anak muda ini lantas merasa ia bagaikan terbenam di dalam kabut...
Huruf kuno itu adalah yang dinamakan huruf model Tjiongteng, huruf semacam itu ia pernah melihatnya dalam kumpulan kitab syair kakek luarnya. Adalah ibunya yang membacakan, mengajari ia. Maka tahulah ia sekarang, pedang ini ialah pedang Koengo kiam, benar-benar sebuah benda kuno.
Kakek luar dari Hian Kie tidak mempunyai anak laki-laki, maka juga semenjak dilahirkannya, Hian Kie dipandang sebagai anaknya, untuk menurunkan she keluarga, dari itu ia memakai she ibunya yaitu she Tan. Kakek luarnya itu bernama Teng Hong, seorang penyair kenamaan di akhir kerajaan Goan (Mongolia), tetapi berbareng pun pandai silat, hingga karenanya dia dijulukan Boelim Siangtjoat, artinya seorang Rimba Persilatan yang sempurna, boenboe tjoantjay, pandai surat dan silat. Di dalam sebuah syairnya pun pernah ia melukiskan tentang pedang ini. Karena syair itu, pedang ini seperti juga ada milik kakeknya itu, hal mana pernah ia menanyakan ibunya, apakah ibu itu pernah melihat Koengo kiam, pedang itu, hanya jawaban dari sang ibu adalah menyimpang, seperti disengaja, sedang waktu itu, wajah ibu itu agaknya berduka. Soal itu membuatnya Hian Kie sangat tidak mengerti, sia-sia belaka ia memikirkannya, siapa sangka di sini justeru ia menemukan Koengo kiam.
Adakah pedang ini pedang kakeknya itu atau keluarga In mendapatnya dari lain orang? Keras Hian Kie memikirkannya. Ia tidak memperoleh jawaban sampai ia mendengar tindakan kaki mendatangi. Lekas sekali ia menggantungkannya kembali pedang itu di tempatnya.
Segera terlihat si nona muncul dengan penampan di kedua tangan, di atas itu ada bubur yang asapnya masih mengepul-ngepul serta dua rupa sayurnya.
"Kau baharu saja sembuh, mari makan bubur!" berkata si nona, manis. "Eh, kau tengah memikirkan apakah?" Ia heran melihat orang seperti tercengang, maka ia mengikuti pandangan mata si anak muda. Maka tahulah ia apa sebabnya itu.
Tiba-tiba saja ia tertawa irang. "Ah, kiranya kau penuju pedangku!" katanya.
Merah muka dan kupingnya Hian Kie.
"Aku lihat pedang itu luar biasa," ia mengaku, perlahan.
"Bagaimana?"
"Agaknya itulah sebilah pedang kuno..."
"Benar. Menurut ayahku, inilah pedang pembuatannya Auw Ya Tjoe di jaman Tjian Kok, jaman Perang Antar Negara. Sungguh matamu tajam!"
"Adakah pedang ini pedang turunan keluargamu, nona?"
Si nona tertawa pula dengan manis.
"Itulah seharusnya!" sahutnya. "Kalau tidak, masakah pedang ini digantung di sini? Itulah mustikanya ayahku, biasanya tidak pernah ia mengijinkannya lain orang untuk merabahnya saja. Baharulah pada suatu hari dari bulan yang baru silam, hari ulang tahunku yang ke delapan belas, ia mewariskannya padaku."
Habis mengucap, paras si nona merah sendirinya. Ia menyesal sendirinya, hingga ia menjadi jengah karenanya sebab ia telah terlepasan memberitahukan usianya tanpa diminta!
"Jikalau begitu, nona pastilah seorang ahli silat," kata Hian Kie tanpa memperdulikan si nona.
"Apakah artinya ahli?" menyahut si nona. Kembali ia dapat tertawa sekarang. "Ayahku membilangnya aku belum dapat mewariskan tiga bagian saja."
Mendapatkan orang demikian polos, hatinya Hian Kie menjadi besar.
"Nona terlalu sungkan," katanya. "Sudikah nona membuka kedua mataku?"
"Kau melebihkan aku sepuluh lipat, cara bagaimana aku berani membuat diri malu di depanmu?" katanya tertawa.
Hian Kie memperlihatkan roman heran. "Kapannya kau pernah melihat aku bersilat?"tanyanya.
"Kau terluka parah, bukankah? Tapi kau dapat sembuh hanya dalam sehari semalam. Memang harus dibilang pel Siauwyang Siauwhoan tan mujarab sekali, akan tetapi apabila itu tak dibantuoleh tenaga dalam yang mahir, yang telah ada dasarnya, tak nanti kesembuhannya begini cepat.Menurut pandanganku, kepandaian kau sudah takbeda jauh daripada kepandaian ayahku. Sayangayah tengah melancong, jikalau tidak, pastilah kaudapat berunding dengannya."
"Walaupun benar aku tidak berjodoh bertemudengan ayahmu, nona, dengan mendengar katamu saja tahulah aku bahwa ayahmu itu seorang ahlisilat. Karena itu aku minta sukalah kau memberi petunjuk padaku."
Nona itu tertawa.
"Aku belum berpengalaman," ia mengaku, "aku cuma tahu ayahku sendiri yang mengerti ilmu silat dan jadi memujinya. Sungguh aku membuatnya kau mentertawainya. Aku tidak dapat menyuguhkan masakan yang sedap untukmu, baiklah aku memainkan sejurus ilmu pedang padamu, hanya aku harap sudilah kau nanti memberi petunjuk padaku..."
Hian Kie girang sekali.
"Nona, sangat girang aku akan mendapat menyaksikan kepandaian kau!" ujarnya.
"Ah, kau pandai sekali bicara!" kata si nona, yang terus tertawa. Setelah itu ia menurunkan pedangnya, ia menghunusnya, atau di lain saat ia sudah mulai bersilat. Tidak saja sinar pedang berkilau-kilau, tubuh si nona pun bergerak-gerak dengan lincah menuruti gerak tangannya. Kelihatannya ia menikam atau membabat secara wajar, tetapi sebenarnya tikaman dan babatan yang dahsyat. Bahkan sejenak kemudian, tubuh nona itu bergerak pesat dan cepat sekali, bukan lagi lincah hanya sangat gesit, cahaya pedangnya pun berkelebatan ke segala penjuru.
Diam-diam Hian Kie menyedot hawa dingin. Orang membilangnya ilmu pedangnya sudah mahir, tetapi kalau ia diadu dengan nona ini, mungkin ia belum dapat menandinginya.
Meski juga usianya masih sangat muda, Hian Kie mengenal baik ilmu silatnya pelbagai partai persilatan, hanya kepandaiannya nona cantik dan manis ini, tak tahu ia bersumbar dari partai mana. Nampaknya itu mirip dengan ilmu silat Boetong Pay akan tetapi kelincahannya melebihkan dari apa yang pernah ia saksikan. Sekonyong-konyong, sambil bersilat itu, si nona bemyanyi:
"Udara kosong penuh dengan asap. Jauh di empat penjuru, tahun apakah itu? Di sana, dari langit yang biru, jatuhlah bintang yang panjang! Di langit itu terlihat pohon-pohon dari mega. Nona-nona manis di dalam Istana Emas, di sana pula sisa-sisa istana raja jago. Panah yang ampuh menembus angin, memanah mata, cipratan airnya pedang membasahkan bunga. Sang suasana membuatnya sepasang burung wanyoh memperdengarkan suaranya. Di lorong maka daun-daun pohon membuatnya suara dari musim rontok. Di dalam keraton, raja Gouw tenggelam dalam mabuk araknya, dan telaga Thay Ouw menyebabkan tetamu yang berpesiar menjadi kantuk. Seorang diri memancing ikan di lembah Seng Seng, menegur gelombang tak dijawab. Rambut indah bagaikan gunung hijau, air dalam, ranggon tinggi menjulang udara. Mengantar sang gagak terbang pulang di waktu matahari turun. Berulang-ulang meminta arak, mendaki panggung musik di mana musim rontok dan sang mega ada berserta."
Hian Kie berdiam mendengar nyanyian itu di antara bayangan pedang. Ia teringat kepada Raja Gouw di jaman Tjian Kok, yang mabuk arak hingga lupa daratan. Atau adakah itu dimaksudkan Tjoe Goan Tjiang yang memperebutkan negara terhadap Thio Soe Seng yang mengangkat diri menjadi raja di Souwtjioe? Tapi, kapan ia memandang pigura yang tergantung di tembok yang melukiskan rembulan di musim rontok di sungai Tiangkang, maka mulutnya yang telah dibuka dirapatkan pula, batal ia berbicara.
Sampai di situ, berhentilah si nona bersilat. Ia tertawa dan menanya, bagaimana dengan nyanyiannya itu, yang menjadi syairnya Gouw Boen Eng dari ahala Song Selatan.
Ditanya begitu, mukanya Hian Kie bersemu merah. Sedikit sekali ia membaca kitab syair, ia sampai tak ingat akan penyair yang kenamaan itu.
"Nona ini menyebut-nyebut syair tua tetapi suasana dari itu mirip dengan suasana jaman sekarang, adakah karena ia sengaja atau bukan menyebutkannya itu? Kalau ia sengaja menanya aku, benar-benar ia cerdas sekali..." demikian pikirnya. Maka ia mencoba mengendalikan diri untuk tidak mengentarakan sesuatu.
Si nona lagi-lagi tertawa.
"Aku telah membawakan bubur untukmu, aku pun sudah bersilat, tetapi kau, sumpit pun kau tidak menyentuhnya satu kali jua!" katanya.
Ditegur begitu, Hian Kie tertawa.
"Hebat ilmu silatmu nona, hingga aku lupa segala apa!" ia memuji. Ia lantas menunduki kepala, untuk memegang sumpitnya. Ia mulai bersantap, ia merasakan santapan cara propinsi Soetjoan, sederhana tetapi lezat. Maka heranlah ia. Gunung Holan San ini jauh di Lenghee, terpisahnya dari Soetjoan beberapa ribu lie, mengapa sekarang di sini ia dapat makan masakan Soetjoan itu? Dan yang terlebih aneh lagi, itulah dua rupa sayur yang ia menggemarinya semenjak ia masih kecil. Mau atau tidak, ia menjadi menjublak pula.
"Bagaimana, eh?" si nona tanya, tertawa. "Apakah masakannya tidak enak?"
Hian Kie menyumpit pula, ia menggayam.
"Enak sekali!" serunya. "Inilah masakan seperti masakan ibuku!"
Wajah si nona menjadi merah.
"Inilah masakanku sendiri," berkata ia. "Mengapa kau menjadi ingat ibumu? Hayolah dahar, buburnya nanti keburu dingin!"
Bubur itu wangi, masakannya daging campur sayur yang lezat, maka terbangunlah napsu daharnya, maka ia menghajar habislah tiga mangkok bubur,
Si nona memandangi orang bersantap.
"Telah lama kau rebah di solokan gunung, sekarang kau baharu sembuh, baiklah kau minum secawan arak untuk menghidupkan darahmu," katanya pula. Dan dari poci arak yang berukiran, ia menuangi araknya, ia menyodorkan itu pada si anak muda di depannya.
Hian Kie tidak pandai minum arak tetapi ia cegluk itu hingga habis.
"Arak begini sedap, kalau karenanya orang mati karena mabuk, dia mati rela!" katanya tertawa.
Nona itu menutup mulutnya sendiri untuk mencegah tertawanya.
Hian Kie menjadi heran sekali, ia pun lalu merasakan apa-apa yang luar biasa.
"Kau... kau... eh, apakah artinya ini?" katanya tak lancar, sebab ia segera merasakan lemas seluruh tubuhnya, ia menjadi ingin tidur saja. Beberapa kali ia menguap, ia merasakan lidahnya pun rada kaku...
Nona itu mengulur tangannya, ia mendorong dengan perlahan, tetapi si anak muda...
"Bruk!" dan robohlah dia ke atas pembaringannya, ia agaknya kaget tetapi kedua matanya terus meram tertutup. Lapat-lapat ia mendengar tindakan kaki berlalu meninggalkan kamarnya itu, samar-samar ia mendengar si nona tertawa dan berkata, "Kau berpikir terlalu banyak, maka itu kau tidurlah biar nyenyak..."
Hian Kie benar-benar tidur pulas dan baharu sadar sesudah magrib. Ia masih dalam keadaan samar-samar. Ia melihat sang rembulan di atas pohon bunga bwee, ia mendapatkan asap dupa melayang-layang di dalam kamarnya itu. Di meja kecil di kepala pembaringan ada tersedia sebuah teekoan teh yang tehnya masih panas. Ia heran, karena ia masih tetap di kamarnya yang luar biasa itu. Ia mencoba bernapas, ia tidak merasa sesuatu yang menghalanginya, ia bahkan merasa lebih segar daripada siang tadi. Tiba-tiba saja ia dapat mengerti. Maka bersyukurlah ia terhadap si nona.
"Siapa nyana nona ini pun mengerti ilmu ketabiban," katanya di dalam hati. "Ia melihat aku berpikir banyak, ia kuatir kesehatanku tak pulih seperti sediakala, ia memberikan aku arak obat, obat yang mujarab sekali... Ah, akulah yang keliru, tadinya aku menyangka ia meracuni aku...
Tengah pemuda ini berpikir itu, ia dapat mendengar tindakan kaki di luar kamar. Lantas saja ia menduga kepada si nona, maka hendak ia lekas berbangkit untuk menyambut. Atau mendadak ia merandak. Ia mendapat kenyataan tindakan itu bukannya dari seorang-orang. Dengan cepat ia mengintai dari jendela. Di sana ia menampak bayangan dari dua tubuh yang besar. Segera juga ia mendengar suara tertawa dari satu orang, yang terus berkata-kata: "Saudara Boe Yang, tempatmu ini benar-benar mirip dengan tempat dewa, pantas kau kerasan tinggal disini belasan tahun, tak pernah kau turun gunung. Sebaliknya aku, masih muncang-mancing saja di antara angin dan debu, dibandingkan dengan kau, aku seperti ketinggalan jauh beberapa lie!"
Orang itu bicara dengan perlahan tetapi di kupingnya Hian Kie terdengarnya bagaikan guntur menggelegar, karena satu di antara mereka itu adalah In Boe Yang, orang yang ia sateroni untuk dibunuhnya. Tidakkah dia dipanggil "saudara Boe Yang"? Maka teranglah sudah, rumah ini rumah In Boe Yang si musuh!
Lalu ia mendengar suara jawaban, suara seperti dari seorang tua: "Selama belasan tahun ini aku tidak memperoleh kemajuan satu dim jua, maka itu cara bagaimana aku dapat dibandingkan dengan kau, saudara, yang telah membantu menunjang seorang raja yang bijaksana hingga kau berulangkali mendirikan jasa besar?"
Hian Kie berpikir keras. Tahulah ia sekarang, In Boe Yang ini benar telah mendurhaka kepada junjungannya yang lama. Bukankah dia bersahabat erat dengan orangnya pemerintah? Hanya belum tahu ia, siapa itu yang seorang lagi.
Sementara itu terlihat sinarnya api di luar jendela, sebab itulah si nona yang muncul dengan sebuah lentera di tangannya.
"Ayah baru pulang!" sambutnya.
"Ya, aku pulang lambat sekali," menyahut sang ayah.
"Inilah paman Lo, Taydjin Lo Kim Hong yang sekarang menjadi Kimie wie Tjongtjiehoei, komandan utama dari pasukan pengawal Sri Baginda Raja,
Si nona agaknya tak mengerti apa itu Kimie wie pasukan pengawal raja, ia cuma memberi hormat secara wajar saja. Sebaliknya Hian Kie, kembali ia berpikir keras. Ia kenal Lo Kim Hong ini, sebab dialah jago kelas satu di bawahan Tjoe Goan Tjiang. Selama peperangan di sungai Tiangkang, Lo Kim Hong inilah yang mendapat membekuk Thio Soe Seng. Karena jasanya ini yang besar, sekarang ia menanjak kedudukan komandan utama dari Kimie wie, sebuah pasukan yang tugasnya teristimewa membekuk segala musuh negara. Maka sesaat itu bergolaklah darahnya, ia bergusar berbareng cemas hati. Bukankah ia berada di antara musuhnya dan musuh yang tangguh pula?
Ketika pertama kali Hian Kie menerima tugas untuk membinasakan In Boe Yang, ia sudah ketahui Boe Yang sangat lihay, maka itu tidak pernah ia memikir untuk pulang hidup, setelah menyaksikan ilmu pedangnya anak darah orang, ia semakin menginsafi malapetaka yang mengancam dirinya. Bukankah telah ternyata, ilmu kepandaiannya Boe Yang ada berlipat ganda melebihkan ia? Bahkan sekarang In Boe Yang berada bersama seorang jago kelas satu dari istana kaisar.
Di samping segala itu, yang membuatnya Hian Kie sangat bergelisah ialah itu kenyataan Boe Yang adalah ayah si gadis cantik manis, yang lemah lembut itu, yang telah menolong jiwanya. Dapatkah ia turun tangan terhadap ayahnya gadis itu?
"Siapa itu di kamar tulis?" tiba-tiba Hian Kie mendengar pertanyaannya Boe Yang selagi ia bagaikan ngelamun. Ia berjingkrak, tangannya diulur ke bantal kepalanya di bawah mana ia menyimpan pedangnya.
"Dialah seorang muda yang mendapat luka parah," demikian ia mendengar jawaban si nona. "Dia terjatuh ke dalam solokan, tidak ada orang yang menolonginya, maka itu anakmu telah membawanya pulang."
"Orang muda macam apakah dia itu!" terdengar pula Boe Yang. "Kenapa dia terluka?"
"Dia telah tidur pulas satu hari satu malam, baru saja dia mendusin, maka itu anakmu belum sempat menanyakan keterangannya," si nona menjawab pula.
"Ah, So So, kau membikin berabeh dirimu!" menyesali si ayah.
Baru sekarang Hian Kie ketahui bahwa nama si nona adalah So So.
"Satu nama yang bagus sekali!" pujinya dalam hati.
"Ayah," ia mendengar pula si nona, agaknya ia penasaran, sebagaimana itu terbukti dari nada suaranya, "bukankah kau setiap hari telah mengatakan kepadaku tentang perbuatan-perbuatan mulia menolongi orang? Di depan mata kita ada seorang asing, pula dia terluka parah, apakah kita harus membiarkannya saja?"
"Tetapi tak usahlah sampai dia ditempatkan di kamar tulis," berkata sang ayah.
"Mama takut suara berisik, apakah dia mesti ditempatkan di orang dalamr sang anak menanya.
"Sebenarnya dia terluka apa?" tanya Boe Yang, menyampingi puterinya itu.
"Kelihatannya dia terkena pukulan tenaga dalam."
"Kalau begitu, mengapa dia dapat sembuh hanya dalam sehari semalam?"
"Anak telah memberikan dia tiga butir pel Siauwyang Siauwhoan tan," menerangkan si nona. "Dari tadi, sesadarnya dia, anak pun memberikan ia minum secawan arak Kenghoa Thianhio Hweeyang tioe buatan ayah. Mungkin hingga sekarang ia masih belum mendusin dari tidurnya..."
"Apa? Kau memberikannya itu pel yang aku dapat minta dari Siang Kwie Taysoe!" tanya si ayah, terperanjat. "Aku dapat minta hanya enam butir, sekarang kau memberikannya separuhnya! Dan itu arak Hweeyang tjioe, aku membuatnya setelah membuang tempo lima tahun, tahukah kau?"
"Aku tahu itu, ayah," sang anak menyahuti. "Apakah ayah menyesali aku?"
Nona ini nampaknya manja sekali.
Hian Kie tidak melihat gerak-gerik orang tetapi ia dapat membayangi itu. Ia menjadi cemas hati.
"Si nona tidak kenal aku tetapi dia ada begitu mulia dan telah menolongi secara sungguh-sungguh padaku," katanya dalam hatinya.
Memang aneh jalannya urusan di dalam dunia ini. Oen Lan sangat menyinta dia, menyinta seperti panasnya api, hatinya tidak tergerak, tetapi sekarang, baru pertama kali ini ia bertemu dengan So So, segera ia kena terpengaruh...
Hian Kie lantas juga mendengar tertawanya Boe Yang.
"Baiklah," berkata ayah itu, "kalau besok dia sudah bangun, hendak aku berbicara dengannya, hendak aku mencari tahu tentang ilmu silatnya, ingin aku melihat apa benar-benar dia berharga diberikan itu tiga butir pel mustajab."
In Boe Yang menyebutnya "besok," karena ia ketahui baik sekali, siapa minum arak Kenghoa Thianhio Hweeyang tjioe, dia mesti tidur selama sehari semalam. Ia tidak menyangka, sempurna sekali tenaga dalam dari Hian Kie, sejak makan obat, dia telah sembuh, dari itu, dia cuma tidur seharian sudah ia mendusin.
Hian Kie terbenam dalam kebimbangan. Baikkah malam itu ia bokong In Boe Yang, untuk membinasakan padanya, atau ia harus mengangkat kaki, menyingkir secara diam-diam? Ia berpikir tanpa ada keputusannya, ia terus beragu-ragu.
"Bagaimana dengan ibumu selama beberapa hari ini?" kemudian terdengar In Boe Yang menanya pula.
"Ibu bilang makan obat pun sama saja," menyahut sang anak. "Pada dua hari yang pertama ia telah minum setengah mangkok, habis itu melarang aku memasaknya pula. Ayah, mengapa penyakit, ibu tak sembuh-sembuh?"
"Apakah enso kurang sehat?" Lo Kim Hong menyelak.
"Ia sakit tetapi bukannya sakit berat, ia melainkan sering merasakan kepalanya pusing hingga ia tidak suka berjalan-jalan. Eh, So So, pergi kau membilangi ibumu, besok aku akan menjenguk dia."
Hian Kie ada seorang anak berbakti kepada ibunya, mendengar perkataannya Boe Yang itu, ia merasa tertusuk sendirinya.
"Aneh sekali!" pikirnya. "Isteri sakit, suaminya pulang, tetapi kenapa suami ini tidak lantas melihat isterinya itu? Bukankah tidak pantas? Menurut kabar isterinya In Boe Yang ini ada puterinya Bouw Tok It ahli waris dari Boetong Pay dan pada belasan tahun yang sudah, sebelum orang ketahui Boe Yang berkhianat kepada tuannya yang lama, merekalah suami isteri yang setimpal yang mendapat pujian umum, kenapa sekarang ia ada begini tawar terhadap isterinya itu? Dan aneh pula Nyonya In itu. Benar ia sakit dan tak suka berjalan-jalan, tetapi sakitnya itu tidak menyebabkan ia tak dapat bangun dari pembaringannya, kenapa sekarang suaminya pulang ia tidak keluar menyambut?"
Terdengar suara menyahut perlahan dari So So, yang lantas bertindak pergi dengan perlahan-lahan, di lain pihak, di kaca jendela terlihat lewatnya satu bayangan orang. Sebat sekali, Hian Kie berpura-pura tidur pulas, matanya dirapatkan hanya untuk mengintai terus.

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang