VIII : Sama lihaynya

1.3K 15 0
                                    

Di dalam dunia Rimba Persilatan adalah umum yang seorang menukar partai untuk mempelajari ilmu silat partai lainnya. Tapi ini mengenai hanya orang-orang dari tingkat derajat yang lebih muda, ialah kaum sebawahan. Untuk menerima murid yang merupakan ahli waris dari suatu partai, itulah belum pernah terjadi. Maka itu kata-katanya In Boe Yang terhadap Boetong Ngoloo tak lebih tak kurang daripada penghinaan belaka. Meski begitu, tetap Tie Wan berlima tak dapat membuka mulut mereka, tinggal mata mereka saja yang bersinar menyala, menandakan kemurkaan mereka yang melewati batas.
So So berpaling ke lain arah, ia tunduk, tidak dapat ia mengawasi Boetong Ngoloo.
"Ayah!.... ia memanggil.
Boe Yang tidak menanti terhentinya suara puterinya itu. Ia merogo sakunya, untuk mengeluarkan sebuah botol kecil. Dari dalam itu ia menuang keluar tiga butir obat pel yang warnanya hijau. Itulah dia pel Siauwyang Siauwhoan tan, yang katanya ia telah minta dari Kwie Tjhong Taysoe sesudah ia bercapai lelah memintanya, pel mana, yang berjumlah enam butir, yang tiga sudah diambil So So untuk dipakai mengobati Tan Hian Kie, maka sekarang sisanya tinggal tiga butir itu.
Dengan menggunai kuku tangannya, Boe Yang membelah setiap butir pel itu, satu menjadi dua, dengan begitu, semuanya sekarang menjadi enam potong. Yang sepotong ia lantas kasih masuk ke dalam mulutnya, untuk dimamah dan ditelan. Yang lima lainnya ia serahkan pada anaknya.
"Kau berikan ini sepotong kepada setiap tua bangka itu," katanya, tawar. "Seranganku barusan tidak hebat, berselang tiga hari, kesehatan mereka akan pulih kembali, ilmu silat mereka pun tidak termusnah."
So So menyambuti obat itu, ia bertindak kepada Boetong Ngoloo.
Dadanya Tie Wan Tiangloo bergerak naik turun tenggorokannya berbunyi nyaring, sedang kedua matanya mendelik. Itulah tanda yang dia ada sangat gusar, karena mana, tak sudi ia menerima obat itu. Bukankah mereka ada orang-orang dengan kedudukan sangat tinggi? Mana dapat mereka menerima budinya In Boe Yang? Kalau kejadian itu sampai tersiar dalam dunia kangouw, di kalangan Sungai Telaga, kemana mereka mesti menaruh muka mereka? Tentu sekali, karena itu, tidak dapat mereka memusuhkan pula pada Boe Yang.
So So adalah seorang nona yang polos, belum tahu ia pantangan kaum Rimba Persilatan seperti itu, ia cuma ketahui, tanpa obat itu, Boetong Ngoloo bakal jadi orang bercacat. Ia pikir di dalam hatinya: "Mereka sudah tua, dengan tidak memakan obat ini, kecuali bercacat, ada kemungkinan mereka nanti mati karenanya. Tidakkah itu akan menambah hebatnya kedosaan ayah?" Karena ini ia tidak memperdulikan penolakan kelima jago itu.
Lihay nona ini dengan tangan kirinya, ia menekan, maka di luar keinginannya, Tie Wan membuka mulutnya, maka dengan dibarengi, masuklah obat ke dalam mulutnya itu, di mana, dalam sekejab, obat itu lumer, tertelan masuk ke dalam perut. Tapi si nona kuatir obat belum termakan, ia menarik kepala orang hingga melenggak dan ia menggoyang-goyangnya juga. Secara begini, umpama kata Tie Wan hendak memuntahkannya, pun tidak dapat. Kemudian dengan bergantian ia cekok juga empat jago lainnya. Hingga semua jago-jago itu terpaksa memakan obat itu, hingga terpaksa juga mereka menerima budinya In Boe Yang!
In Boe Yang tertawa riang gembira.
"Bagus! Bagus!" ia memuji gadisnya. Ia puas sekali.
Cuma sebentar Boetong Ngoloo sudah lantas dapat menarik napas, setelah mana mereka mengawasi satu pada lain, mata mereka sayup-sayup, roman mereka sangat lesuh. Sangat menyedihkan sikap mereka itu.
So So memandangi orang. Ia merasa heran.
"Tentulah mereka malu karena mereka dikalahkan ayah," pikirnya. Kemudian ia berkata pada ayahnya: "Ayah, mereka sudah makan obat, biarkan mereka beristirahat sebentar. Mari kita pulang, supaya mereka dapat bersamedhi dengan tenang."
Boe Yang tertawa.
"So So, kau sangat menahui orang, katanya.
Boe Yang hendak meluluskan ajakan gadisnya itu untuk pergi pulang, ketika kupingnya mendengar suara beradunya tongkat besi kepada tanah. Ia memasang kupingnya, lantas ia tertawa.
"Mungkinkah ada lain orang lagi yang tak takut mampus datang juga ke mari untuk meminta kitab ilmu pedang!" bilangnya.
Boleh dibilang belum berhenti suaranya jago ini, di sana nampak orang yang berjalan dengan tongkat besi, dengan tongkatnya itu terus mengasi dengar suaranya, sebab setiap tindak, tongkat itu dipakai menotok tanah.
Melihat orang muncul dari tikungan, So So lantas saja kaget.
Semakin dekat orang itu datang, semakin nyata terlihatnya ia.
Dialah seorang dengan kumis atau berewok kusut bagaikan rumput, mukanya ditutup topeng hitam hingga di samping kupingnya. Berewoknya itu muncul dari bawah topeng. Di sebelah itu, dia mempunyai hanya sebelah tangan yang utuh, sebab tangan kirinya buntung sebatas sikut dan ujung sikutnya itu nonjol tajam. Rupanya tangannya itu bekas orang tabas kutung separuhnya. Tulang sikut yang tajam itu diikati pita merah. Sudah tangan kiri orang buntung, juga kaki kirinya pincang, kaki itu tak dapat menginjak tanah, terpisah kaki itu dari tanah ada sekira tiga dim. Karena itu, untuk dapat berjalan ia mengandali kaki kanannya dengan ketiaknya ditunjang tongkat besinya itu yang terus memperdengarkan suara, sebab tongkat itu adalah ganti kaki pincangnya itu. Sudah romannya luar biasa, juga pakaian orang itu beda daripada dandanan kebanyakan orang. Dia memakai baju makwa, baju pendek seperti rompi, yang melapiskan baju panjangnya. Makwa itu berwarna biru, dan jubahnya tersulam, bahannya bahan mahal, bukan saja bersih tetapi juga masih baru sekali. Hanya aneh, pada itu ditambahkan tujuh atau delapan tambalan, sedang bahan tambalannya itu ada kain-kain tua dan robek dari pelbagai warna. Maka dialah seorang tidak keruan, yang agaknya mendatangkan rasa jemu...
In Boe Yang melengak setelah ia mengawasi orang itu, agaknya ia heran dan kaget.
"Sahabat, adakah kau Tokpie Koayto yang menyebut dirimu Poantian Sinkay?" ia lantas menegur suaranya membentak.
Boe Yang benar menyekap diri di dalam gunung, akan tetapi ia bukannya sama sekali tak pernah bepergian. Setiap beberapa tahun sekali suka juga ia turun gunung, dari itu pendengarannya tidak budek sama sekali. Demikian kira lima atau enam tahun yang lalu, ia mendengar kabar bahwa di dalam Hek Too, yaitu Kalangan Hitam, di propinsi Siamsay Utara, telah muncul seorang begal tunggal yang luar biasa macam dan tindak-tanduknya. Begal itu biasa menyaterukan kaum piauwsoe, tukang mengantar dan melindungi barang atau uang dan pembesar negeri, bahwa belum pernah dia suka memperlihatkan wajahnya, bahwa dia sangat berkepala besar. Mungkin disebabkan cacatnya itu, sebelah tubuhnya tak utuh lagi, maka dia menamakan dirinya Poan-tian Sinkay, si Pengemis Sisa. Di Kalangan Hitam dan Putih, dia dikenal sebagai Tokpie Koayto, begal aneh yang bertangan satu. Sebenarnya pernah Boe Yang menghendaki mencari dia, untuk belajar kenal, akan tetapi sebab orang menyembunyikan diri, ia tidak peroleh kesempatannya. Maka aneh, sekarang si begal aneh itu muncul sendirinya.
Mendengar suaranya Boe Yang itu, Boetong Ngoloo pun terkejut, hingga mereka turut
mengawasi.
"Hm! Hm!" orang bercacat itu mengasi dengar suaranya yang dingin. Lantas dia tertawa hingga dua rintasan. Itu artinya dia menyangkal tegurannya Boe Yang.
"Kau datang ke mari, tuan, apakah maksudmu?" Boe Yang menanya pula. Ia tidak memperdulikan sikap jumawa dari orang itu.
"Akulah leluhurnya bangsat!" orang itu menyahuti. "Aku datang kepada kau, maling kecil, untuk minta kau menunjuki hormatmu padaku, untuk kau menghadiahkan sesuatu!"
Dengan lantas Boe Yang menjadi gusar.
"Kau menghendaki hadiah apa?" dia menanya.
Orang itu tertawa dingin, seram suaranya.
"Kau sudah mencuri kitab ilmu pedang dari Bouw Tok It," sahutnya, "kau telah pakai itu selama delapan belas tahun, apakah tempo itu belum cukup lama? Maka sekarang lekas kau serahkan kitab itu padaku!"
Boe Yang kaget. Tentang kitab itu adalah semacam rahasia, maka aneh, mengapa pengemis aneh itu mendapat tahu itu? Tapi karena ia seorang berani dan sudah berpengalaman, ia tidak mengentarakan sesuatu, cuma tercengang sebentar, lalu ia bersikap biasa lagi. Ia tertawa terbahak.
"Tuan, dengan tubuhmu semacam ini, apa perlunya kau dengan kitab itu?" ia menanya. "Tuan menamakan dirimu Setengah Sisa, sudah selayaknya saja apabila kau tahu diri sendiri! Apakah kau hendak menggunai senjata pedang? Itulah tidak dapat kecuali kau menitis pula menjadi satu orang lain!"
Ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat ada ilmu pedang luar biasa, cara bagaimana itu dapat dipelajari oleh seorang yang tangannya buntung dan kakinya pincang? Boe Yang mengatakan benar, hanya dia terlalu menghina orang.
So So pun jemu terhadap si cacat itu, tetapi ia juga merasa ayahnya terlalu menghina. Maka pikirnya. "Meskipun dia agaknya jumawa, tetapi dia bercacat, dia harus dikasihan juga. Kenapa ayah menghina dia?"
Biasanya, kalau seorang bercacat disebut-sebut cacatnya, dia suka menjadi tidak senang bahkan gusar, akan tetapi aneh adalah si buntung dan pincang ini, dia sama sekaii tidak gusar. Cuma kedua matanya, yang sinarnya molos dari topengnya, kelihatan bercahaya tajam.
"Aku sendiri tidak dapat memakai pedang karena cacatku tetapi muridku dapat," ia berkata, memberi keterangan. "Sebenarnya dia sendiri yang hendak datang padamu untuk merampas kitab itu, hanya karena dia sabar, dia dapat menunggu waktu. Adalah aku sendiri yang tidak dapat menunda hingga sepuluh tahun lagi, maka sekarang aku datang memintanya barang curian itu. Aku anggap inilah cuma perbuatan memindahkan tangan saja untuk menghadiahkan murid!"
Baik kelakuannya, maupun cara bicaranya, manusia bercacat ini bertambah luar biasa, benar suaranya itu dibikin tajam, tetapi Boe Yang rasa-rasanya mengenali suara orang itu, melainkan tak ingat, siapa orang ini dan di mana ia pernah bertemu denganya. Ia jadi berpikir keras untuk mengingat-ingatnya. Dengan mata tajam ia mengawasi mata orang, ia maju setindak lebih dekat.
"Siapakah itu muridmu?" ia tanya, keras. "Siangkoan Thian Ya!"
Jawaban pun keras, bahkan membuat Boe Yang melengak bahna heran.
So So tidak kurang herannya, hingga ia berpikir. Berhubung dengan perkenalannya dengan Tan Hian Kie, si nona pun jadi berkesan baik terhadap pemuda she Siangkoan itu. Pikirnya: "Thian Ya orang macam apa, mustahil dia kesudian menjadi muridmu!" Tetapi dia halus budi-pekertinya, biarpun ia mendongkol, tidak mau ia mencaci atau menegur pengemis aneh itu. Ia berdiam saja.
Sebaliknya adalah Tie Wan Tiang-loo. Bukankah orang menyebut-nyebut ahli waris dari Boetong Pay itu? Kenapa pengemis ini mengaku ahli waris itu sebagai muridnya? Biar ia menjadi imam, setelah sekarang pulih kesehatannya, ia menjadi gusar dan tak dapat mengendalikan diri.
"Ngaco belo!" ia membentak. "Siangkoan Thian Ya adalah ahli waris Boetong Pay, dia menjadi Tjiangboendjin, berdasarkan apa kau, si jelek ini, berani mengambil dia sebagai muridmu?"
Orang tanpa daksa itu tertawa, dingin tertawanya.
"Meskipun aku jelek akan tetapi dibanding dengan kamu beberapa orang tua pendusta, aku masih jauh lebih baik!" katanya. "Siangkoan Thian Ya demikian lunak, dia sendiri ingin mengangkat aku menjadi guru, apakah dengan begitu kamu mau menganggap aku tidak mempunyai murid dan hanya hendak merampas Tjiangboendjin-mu? Hm!"
Mata Tie Wan membelalak, hampir-hampir dia pingsan. Tak terkira kemurkaan dan kemendongkolannya itu.
Ketika itu, In Boe Yang menyelak. Tiba-tiba saja ia ingat akan sesuatu.
"Kau telah datang kemari, apakah kau masih tidak hendak memperlihatkan wajahmu kepada sahabat lama?" demikian tanyanya dengan lantang. Kata-kata ini disusul lompatannya yang gesit serta sambaran tangannya yang sebat, guna menjambret topeng si pincang yang buntung itu.
In Boe Yang lihay sekali, jarak di antara mereka juga cuma beberapa kaki, menurut pantas, tidak nanti ia gagal dengan serangannya itu akan tetapi kenyataannya lain sekali. Adalah di luar dugaan, bahwa meski juga kakinya buntung, si pengemis aneh itu gesit luar biasa. Dengan tongkat besinya diketukkan pada tanah hingga bersuara nyaring tahu-tahu tubuhnya telah melesat setombak lebih, loloslah ia dari cengkeraman si orang she In.
Saking heran, So So sampai menjerit.
"In Boe Yang, kau ingin melihat wajahku yang asli?" tanya si orang aneh, suaranya dingin. "Hm, mana aku masih mempunyai wajahku yang asli untuk diperlihatkan kepadamu? Tapi biarlah kau ingin melihatnya, terserah padamu, hanya aku kuatir kau nanti merasa tidak enak hati!..."
In Boe Yang menatap wajah orang itu. Begitu juga So So dan Boetong Ngoloo, mereka turut mengawasi. Mereka pun ingin sekali mengetahui siapa dia itu.
Si orang aneh mengangkat tangannya ke mukanya, dengan perlahan ia merabah topengnya, begitu lekas topeng itu disingkirkan, begitu juga hati Boe Yang bergoncang, sedang si nona lantas menutupi mukanya. Boetong Ngoloo, yang tak kurang herannya, mengawasi dengan bengong, hati mereka giris.
Pengemis dengan kaki dan tangan kutung itu benar-benar istimewa wajahnya, jelek bukan main. Sungguh di luar dugaan siapa juga. Muka itu penuh tanda luka, yang malang melintang, umpama kata bagaikan jalan perapatan. Dimata So So dan Boetong Ngoloo, wajah itu jelek dan menakutkan, di mata In Boe Yang, lebih daripada itu.
Boe Yang adalah ahli pedang nomor satu pada jamannya itu, matanya tajam melebihi orang lain, maka ia dapat melihat dengan tegas bahwa tapak itu adalah bekas guratan ujung pedang yang lancip tajam. Guratan itu mirip dengan tjodjie, tulisan cepat dan singkat oleh seorang ahli, meski guratannya tampak kacau, toh ada jalannya. Demikian tapak itu, tidak terlihat hingga ditulang-tulang pipi, tidak juga merusak mata dan hidung. Boe Yang berpikir, kalau ia yang membuatnya, tidak nanti ia dapat menggurat seperti itu. Maka, siapakah si ahli pedang yang mencacah muka si pengemis aneh ini?
"Bagaimana?" tanya si pengemis, dengan dinginnya. "Kau tidak mengenali aku? Ia pun tertawa mengejek."
Boe Yang segera memperdengarkan suaranya, yang seperti gerutuan.
"Kaulah Giokbin Hiapkay Pit Leng Hong!" dia menjawab agak ragu-ragu.
So So telah menutup mukanya, akan tetapi mendengar suara ayahnya, ia mengasi turun kedua tangannya, ia membuka matanya sedikit, untuk mengintai. Ia masih tidak berani memandangi orang dengan kedua matanya dipentang lebar-lebar. Dalam herannya, kata dalam hatinya: "Manusia begini aneh tetapi demikian indah julukannya....
"Giokbin Hiapkay" itu berarti Pengemis Pendekar Muka Kumala.
Memang juga, pada duapuluh tahun dulu, Pit Leng Hong adalah seorang priya yang tampan sekali, karenanya, ia memperoleh julukannya itu. Hanya karena hidup sebagai pengemis yang gagah dan murah hati, ia dapat tambahan Hiap Kay itu, Pengemis Pendekar. Kakaknya ialah Pit Leng Hie, ialah satu di antara tiga orang gagah luar biasa di bawahan Thio Soe Seng. Mereka itu bertiga ialah, Tjeng Too Kay," artinya pendeta, si imam, dan si pengemis. Dua yang lain si pendeta dan si imam ialah Peng Eng Giok dan Tjit Sioe Toodjin. Sedang Pheng Eng Giok itu, bersama-sama Tjio Thian Tok dan In Boe Yang adalah yang dikenal sebagai Houw Hong Samkiat," ialah si Naga, si Harimau, dan burung Hong.
Enam jago itu sama tersohornya, hanya di dalam hal kedudukan, Pheng Eng Giok melebihkan lima yang lainnya inilah disebabkan Pheng hweeshio ini berbareng menjadi gurunya Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng. Pit Leng Hie berada bersama dalam pasukan tentara, ia mengagumi Pheng Hweeshio, ia pun minta diangkat menjadi murid, maka ia terhitung murid yang ke tiga. Kepandaiannya Pit Leng Hong ini didapat dari Pit Leng Hie, kakaknya, dengan begitu, meskipun secara tidak langsung, ia pun mewariskan kepandaiannya Pheng Eng Giok, hingga untuk menjunjung paderi itu, ia mengaku ialah murid Eng Giok. Leng Hong ada seorang bebas, tidak kerasan ia berdiam dalam pasukan tentara, ia ceburkan diri dalam dunia pengemis. Ia tidak bergaul rapat dengan In Boe Yang, tetapi mengingat persahabatan Boe Yang dengan kakaknya, dulu hari itu mereka toh mengaku saudara satu dengan lain. Satu tahun di muka keruntuhannya Thio Soe Seng, mereka berdua telah berpisahan, maka itu, dengan pertemuannya hari ini, sebenarnya mereka sudah berpisah sembilan belas tahun.
Sekarang, melihat romannya orang itu, Boe Yang heran sekali. Ada dua hal yang ia tak dapat memikirnya. Tak seberapa orang yang bisa melawan Leng Hong, maka siapakah itu orang kosen yang dapat menaklukannya dan mencacah mukanya sedemikian rupa? Kenapa dia tidak dibunuh saja? Dan ke dua yaitu, dulu-dulu Pit Leng Hong menghormati ia, kenapa sekarang si pengemis aneh ini datang dengan tingkah polanya yang sangat memandang enteng terhadapnya, bahkan menyebut diri "si bangsat kecil" dan berani meminta kitab ilmu pedang padanya? Mungkinkah, karena wajahnya sudah berubah tabiatnya turut berubah juga?
Mungkinkah, karena dia mengetahui rahasianya, dia jadi berani datang untuk memeras?
Mengingat itu semua, Boe Yang menjadi mendongkol.
"Sudah sembilan belas tahun kita tidak bertemu satu pada lain," katanya, sengit, "sekarang kau datang kepadaku, apakah maksudmu cuma menghendaki kitab ilmu pedang?"
Pit Leng Hong menjawab tawar: "Aku telah menerima seorang murid baru, sudah seharusnya jikalau aku menghadiahkan sesuatu kepadanya. Oleh karena kitab itu asalnya ialah miliknya, maka jikalau aku tidak mencari kau, aku mesti cari siapa lagi?"
Boe Yang menepuk tangan.
"Ha, sayang kau telah datang terlambat satu tindak!" katanya tawar. "Kitab itu baru saja aku robek hancur! Jikalau Siangkoan Thian Ya berniat mempelajari ilmu silat pedang, suruhlah dia menghadap aku."
Pit Leng Hong tetap tertawa dingin.
"Justeru karena Siangkoan Thian Ya tidak sudi belajar padamu, ia jadi sudah mengangkat aku menjadi guru!" ia bilang. "Baiklah karena kitab sudah dibikin rusak, aku sekarang hendak meminta serupa barang darimu untuk aku tetap dapat menghadiahkan dia!"
Kata-kata ini ditutup sama tekanan tongkat besinya ke tanah dan jejakan kakinya yang utuh, dengan begitu tubuhnya jadi mencelat ke arah So So, berbareng dengan mana, tangannya diulur untuk merampas pedang di tangan si nona.
So So kaget hingga ia tak sempat menjerit.
Pit Leng Hong demikian gesit, gesit juga In Boe Yang. Begitu si pengemis mencelat ia mencelat juga, di saat tangan si pengemis diulur, tangannya di pakai untuk menyerang tangan orang itu seraya ia membentak: "Pit Leng Hong, kau berani berlaku begini kurang ajar?"
Hebat serangannya Boe Yang tetapi serangan itu tidak mengenai sasarannya. Dengan kesebatannya, Pit Leng Hong dapat menghindarkan diri, meskipun betul dengan begitu menjadi batal merampas pedang si nona.
"Kau juga mendapati pedang Koengo kiam ini dengan jalan mencuri!" berkata si pengemis, suaranya terus-menerus dingin. "Kau mencurinya dengan terang-terangan, aku dengan jalan merampas. Karena perbuatan kita sama sifatnya, cara bagaimana kau berani membilang aku kurang ajar?"
Hatinya So So baru tenang atau sekarang ia menjadi heran, sampai ia tercengang. Aneh kata-katanya pengemis ini. Kenapa dia ketahui namanya pedangnya itu dan ketahui juga ayahnya mendapatnya dari mencuri? Ia lantas ingat halnya pertama kali ia bertemu sama Tan Hian Kie, pemuda itu telah tanya ia, apa pedang itu pusakanya atau bukan... Mungkinkah... mungkinkah benar pedang ini asal curian? Hanya, semenjak ia kecil, ia ketahui pedang itu sudah ada di rumahnya dan ayahnya pernah membilang, pedang itu untuk selama-lamanya adalah pusaka Keluarga In.
Tidak berhenti sampai di situ pikirannya nona ini. Kalau benar pedang asal curian, setelah berselang begitu banyak tahun, kenapa pemiliknya tidak pernah datang untuk mencari atau memintanya pulang? Mungkinkah pemilik itu telah dibinasakan ayahnya?
"Ah, mungkinkah ini ialah itu kedosaan besar yang disebutkan ayah kedosaan tak berampun?" ia berpikir lebih jauh.
Tapi lekas juga berubah lagi pikirannya itu. Si pemilik pedang mesti bukan sembarang orang, andaikata benar ayahnya mencuri pedangnya itu dan membunuh si pemiliknya, mustahil dalam dunia Rimba Persilatan tidak timbul gelombang dahsyat sebagai akibatnya? Seharusnya sahabat-sahabat si pemilik pedang bergerak untuk menghukum atau memintanya pulang, tidak nanti mereka berdiam saja. Adalah aneh hari ini si pengemis datang memintanya.
Bingung So So, hingga ingin ia lekas-lekas mendapatkan pemecahannya. Lupa kepada si pengemis yang romannya menakuti itu, ia lantas berpaling kepada ayahnya dan mengawasinya. Ia ingin ketahui bagaimana ayahnya akan bertindak terhadap pengemis itu. Memandang ayahnya, kembali ia dibuatnya heran.
In Boe Yang memperlihatkan roman dan sikap yang tak biasanya. Dia berdiri diam seperti orang yang kena tertotok jalan darahnya. Sudah sebelah kakinya menindak atau tindakannya itu batal. Kulit mukanya menjadi tegang dan matanya bersinar tajam. Agaknya ia terbenam dalam keragu-raguan.
Tiba-tiba saja Boe Yang berseru: "Pit Leng Hong, lekas kau menyingkir! Kalau kau berlambat satu detik saja, aku bakal tak dapat menguasai diriku lagi!"
Suara itu bergemetar, sepuluh jari dari kedua tangannya bergerak-gerak, dilempangkan dan ditekuk bergantian, hingga terdengar suaranya meretak. Kelihatannya jago ini seperti hendak melakukan pembunuhan.
So So kaget dan takut, hatinya menjadi dingin. Melihat sikap ayah itu, mungkin pedang itu mempunyai asal-usul aneh. Kalau tidak, mengapa si ayah jadi berkelakuan sebagai seekor binatang liar yang kena terluka? Bukankah kata-katanya si pengemis aneh mirip dengan tusukan anak panah?
Si pengemis tidak takut, dia bahkan tertawa tergelak.
"In Boe Yang, kau hendak membunuh aku?" tanyanya. "Jikalau aku takut, tidak nanti aku datang ke mari? Benarkah kau menganggap, setelah mendapatkan kitab pedang dan membinasakan Tjio Thian Tok, kau pandang dirimu sebagai ahli pedang nomor satu di kolong langit ini? Selagi masih ada muridnya Pheng Hweeshio di sini, aku kuatir tidak dapat kau bertingkah pola!"
"Kalau Pheng Weedio berada di sini, mungkin aku takuti dia tiga bagian," berkata Boe Yang. "Sekarang ini, walaupun kakakmu hidup pula aku tidak takut! Kau sendiri, kau makhluk apakah?"
Meluap hawa amarahnya orang she In ini hingga ia mengibas dengan tangannya, jari tangannya bergerak bagaikan orang mementil piepee. Itulah sikap penyerangan dengan Ittjie sian, Jari Tunggal.
Pit Leng Hong tetap tidak jeri.
"Jikalau kau tidak menggunai pedang, juga aku tidak akan memakai senjata!" katanya sama dinginnya. Dia lantas menancap tongkatnya di tanah, tangannya itu terus diputar, untuk memapaki serangan.
Boetong Ngoloo telah menyaksikan jari tangan lihay dari In Boe Yang, mereka telah merasainya, maka heran mereka untuk keberaniannya si pengemis pincang dan buntung ini.
"Mustahilkah pengemis ini mengerti ilmu sesat hingga ia tak takuti Ittjie sian?" tanya mereka di dalam hati.
Atas tangkisan lawan, In Boe Yang berubah paras mukanya, tangannya segera ditarik pulang, batal ia menyerang dengan jari tangannya, tetapi ia membuka telapakan tangannya, untuk menyambuti tangan orang.
Tidak ampun lagi, kedua tangan bentrok satu pada lain. Nampaknya kedua pihak mengerahkan habis tenaga mereka, tetapi ketika kedua tangan bentrok, tidak terdengar suara apa juga, tangan si pengemis lembek bagaikan getah.
Boetong Ngoloo heran, hingga mereka mengawasi dengan mendelong.
Nyatanya Pit Leng Hong mempunyai kepandaian melemaskan tangan seperti kapas maka juga tangannya In Boe Yang mengenai suatu barang seperti lumpur, bukan saja tenaganya jadi tidak berdaya bahkan sebaliknya, tangan itu seperti kena tersedot. Ittjie sian bisa menutup jalan darah, tetapi kali ini, punahlah khasiatnya itu. Karena itu, ia mengubah tangannya menjadi terbuka.
"Gunailah kedua tanganmu berbareng!" Pit Leng Hong berseru, menantang.
"Hm!" In Boe Yang mengasi dengar ejekannya. Ia tidak memperdulikan tangan itu, ketika ia menyerang kembali ia menggunai sebelah tangannya.
Hanya sebentar saja, Boe Yang lantas mengeluarkan keringat dingin pada jidatnya.
Mendadak dia berseru: "Ha, kiranya kaulah yang merusak pintu guha dari kamar samedhiku ini!"
Pit Leng Hong tertawa.
"Telah aku membilangnya!" jawabnya. "Kau tidak mau percaya, habis apa aku bisa bilang? Jikalau aku tidak menghajar pintu guhamu, cara bagaimana aku dapat membawa pergi Siangkoan Thian Ya?"
So So heran bukan main. Walaupun ia tidak percaya, ia toh mesti percaya keterangan pengemis ini. Memang aneh menghilangnya Thian Ya.
Boetong Ngoloo juga heran bukan kepalang. Melihat begini, mestinya In Boe Yang bakal menemui batunya. Mereka heran berbareng girang. Betapa tidak girang melihat lawannya yang tangguh itu bakal roboh? Mereka tidak meminjamnya toh mereka seperti meminjam juga tangannya manusia aneh ini. Hanya dingin hati mereka kapan mereka ingat si manusia aneh memaksai Thian Ya, tjiangboendjin mereka menjadi muridnya...
Sebenarnya dalam ilmu dalam, Boe Yang menang daripada Pit Leng Hong, kalau sekarang ia keter, itulah disebabkan ia telah mengeluarkan tenaga terlalu banyak di waktu menempur Boetong Ngoloo, sebab Ngoloei Thiansim tjiang dari kelima jago Boetong hebat sekali. Coba ia tidak telah makan pel Siauwhoan tan, mungkin ia tak dapat bertahan begitu lama.
Lagi beberapa saat, keringat di jidat Boe Yang menjadi titik-titik besar.
"Gunai kedua tanganmur Pit Leng Hong berkata pula seraya ia tertawa dingin.
Memang Boe Yang tidak hendak menggunai dua-dua tangannya. Bukankah ia lagi menghadapi seorang tanpa dakpa, yang kaki dan tangannya tinggal sebelah? Ia percaya ketangguhannya sendiri, ia pun merasa malu. Sekarang? Sekarang ia menjadi bersangsi. Ia tahu bahwa ia sudah mengeluarkan banyak sekali tenaga, maka umpama kata ia menggunai dua-dua tangannya, belum tentu ia berhasil. Tapi ia tidak dapat tidak berdaya. Maka ia tertawa dingin dan berkata: "Inilah kau yang menghendaki sendiri!"
"Kau gunailah kedua tanganmu, mati pun aku tak menyesal!" menyahut Leng Hong.
Tanya ayal lagi, Boe Yang merangkap kedua tangannya. Inilah serangan yang dapat menggempur batu.
Tubuh Pit Leng Hong, yang ditahan cuma oleh sebelah kakinya, lantas bergoyang-goyang tak hentinya, bergerak ke depan dan ke belakang, ke kiri dan kanan, tubuhnya itu mirip sebuah perahu kecil di antara damparan gelombang.
So So menyaksikan itu, biar bagaimana ia merasa jemu, ia toh berkasihan juga. Bukankah orang bercacat, tinggal sebelah kaki dan sebelah tangannya? Karena ini hendak ia menyerukan ayahnya, untuk memberi ampun. Atau mendadak ia melihat paras ayahnya itu berubah. Lenyap keringat dari jidat si ayah, sebaliknya di situ nampak tegas urat-uratnya yang biru.
Meskipun ia merasa heran, si nona masih tidak percaya yang ayahnya lagi terancam bahaya. Karena itu, ia batal meneriaki ayahnya itu.
Hebat tenaga tangannya si pengemis aneh. Begitu dahsyat kedua tangannya Boe Yang, tangan itu seperti batu melebas di dalam air, hilang tanpa bekas-bekasnya. Sudah begitu dari tangan si orang aneh telah keluar hawa dingin yang merembas ke dalam tangan lawannya, menembus ke ulu hati. Boe Yang kaget hingga ia mesti mengempos semangatnya, untuk mempertahankan diri, meski begitu ia masih merasakan tak sanggup...
Pit Leng Hong merasa puas sekali, ia tertawa lebar. Karena tertawanya itu, wajahnya nampak jadi semakin luar biasa. Cuma satu kali ia tertawa, lalu ia berkata dengan suaranya yang dingin: "Jikalau kau menghendaki jiwamu, serahkan pedang itu!"
So So, yang memegangi pedang, maju dua tindak.
"Ayah, kasihlah dia!" ia berkata kepada ayahnya. Ia putus asa. Biar bagaimana, ia menyayangi ayahnya itu.
Matanya Boe Yang bersinar memandangi puterinya. Itulah sinar dari mengasihani dan teguran. Sang anak mengerti. Mau atau tidak, ia terpaksa mundur pula.
Dengan tiba-tiba terdengar Boe Yang membentak, kedua tangannya ditarik pula, lalu dimajukan kembali. Di belakang telapakan tangannya dan di jidatnya juga, terlihat otot-ototnya yang menonjol keluar. Agaknya ia tengah mendorong barang berat ribuan kati.
So So ketahui baik yang ayahnya sudah mengerahkan semua tenaga dalamnya. Itulah hebat.
Tubuh Pit Leng Hong kembali bergoyang, senyuman pada mukanya lenyap seketika, tetapi meskipun demikian, kaki tunggalnya itu tetap bertahan di muka bumi, bagaikan terpaku kokohnya.
Lewat lagi sesaat, Pit Leng Hong pun menjadi seperti Boe Yang, peluhnya keluar mengucur. Hanya berbareng dengan itu, kulit mukanya Boe Yang berubah menjadi matang biru.
Selagi dua jago ini bertempur hebat, mengadu tenaga dalam mereka, Boetong Ngoloo berdiam bersamedhi, mereka bercokol di tanah untuk mempulihkan tenaga mereka. Cuma mata mereka yang terus mengawasi, mata mereka itu mengeluarkan sorot heran dan ngeri.
Memang juga Pit Leng Hong dan In Boe Yang sudah mencapai taraf yang akan memutuskan pertarungan mereka itu. Itu artinya mereka mati atau hidup, atau sedikitnya terluka parah. Tenaga dalam Boe Yang kumpul di ujung jari tangannya, dari situ keluar hawa panas. Itulah hawa panas untuk menahan serangan hawa dingin dari tangannya Pit Leng Hong, hawa untuk membalas menyerang.
Sudah terang Leng Hong kalah tenaga dalam, sebab ia dapat pelajarannya Pheng Hweeshio dengan parantaraan kakaknya, Pit Leng Hie. Bahwa sekarang ia dapat melawan, itulah disebabkan In Boe Yang sudah terlalu letih habis menempur Tjio Thian Tok dan Boetong Ngoloo, semuanya lawan yang tangguh luar biasa.
Kembali sang waktu berjalan lewat. Dari samar-samar, warna matang biru di mukanya Boe Yang menjadi terlihat tegas. Sekarang dia mengeluarkan pula keringat sebesar kedele. Karena ini, bajunya mulai demak. Dari sinar matanya, yang layu, nyata ia sudah letih luar biasa.
Sampai di saat itu, sekonyong-konyong Pit Leng Hong berseru secara aneh tangannya ditolakkan perlahan ke depan.
Boe Yang menggunai dua-dua tangannya tapi agaknya ia tak dapat bertahan. Ini ternyata dari kedua tangannya, yang mulai melengkung.
Di saat sangat genting itu, tiba-tiba saja Kok Tjiong dari Boetong Ngoloo berlompat bangun sambil ia menjerit hebat: "Kiranya kau si makhluk aneh yang membinasakan guruku!"
Seruan itu tidak cuma membikin So So menjadi bingung bahna tidak mengertinya, juga Boe Yang menjadi heran sekali. Maka juga orang she In ini berkata di dalam hatinya: "Kelakuannya Pit Leng Hong hari ini memang sangat aneh. Dulu dia dikenal sebagai Kayhiap, pendekar pengemis, dengan mertuaku, dia tidak ada hubungannya, maka itu, kenapa dia bolehnya membunuh mertuaku itu? Tadi Kok Tjiong menuduh aku, kenapa sekarang ia berbalik menuduh Leng Hong?"
Boe Yang memang gelap untuk semua itu.
Kematiannya Bouw Tok It diliputi suasana terahasia. Ketika itu Kok Tjiong memang seperti mendampingi gurunya itu. Itulah waktu tengah malam yang Kok Tjiong mendengar suara gurunya lagi bertempur sama seorang yang ia tidak kenal. Ia lari memburu tetapi musuh itu sudah mengangkat kaki, tinggal gurunya, yang sudah tidak mampu berbicara, muka guru itu matang biru, warnanya itu sama dengan mukanya In Boe Yang sekarang. Karena inilah maka ia menuduh Leng Hong.
Kok Tjiong tidak cuma berseru, dia pun berlompat maju untuk menyerang. Perbuatannya ini disusul oleh empat saudaranya, yang maju dengan berbareng. Mereka mengambil sikap mengurung, sepuluh jari tangan mereka mengarah satu jurusan. Mereka ini belum pulih seanteronya tetapi Ngoloei Thiansim tjiang dasarnya hebat, tak dapat itu dipandang enteng.
Diserang secara mendadak demikian macam, Pit Leng Hong berseru sambil kaki tunggalnya berputar, membawa badannya, menyusul mana badannya itu lompat mencelat berjumpalitan, selagi tubuhnya itu seperti tergantung di udara, kakinya terus menendang, ujung kakinya mencari jalan darah pethay di iganya Tie Hong, sedang tangan kanannya, yang utuh itu, menyambar tempelengan Tie Kong Tiangloo. Tangan kirinya buntung, tetapi tangan itu masih ada sikutnya, yang tajam pula, tajam sebab dilapis besi, yang terbungkus pita merah, maka dengan sikutnya itu ia menghajar jalan darah siankie di dadanya Tie Wan Tiangloo. Maka itu sungguh hebat si tanpa dakpa ini, berbareng ia dapat menggunai tiga anggauta tubuhnya itu untuk menyerang berbareng kepada tiga musuh yang lihay.
Serangannya Boetong Ngoloo telah berlangsung tatkala mereka menampak sasaran mereka mencelat dan berjumpalitan, kedua tangannya bergerak terpentang, sebelah kakinya bergerak juga. Tie Hong dan Tie Kong kaget, hingga hati mereka terkesiap, belum sempat mereka melihat apa-apa, tubuh mereka sudah mental kira-kira setombak. Hanya syukur untuk mereka, jatuhnya mereka tidak terbanting, bahkan seperti ada orang yang menurunkannya dengan perlahan, hingga mereka tak usah merasakan sakit. Setelah itu tahulah mereka bahwa mereka sudah ditolongi In Boe Yang, yang membebaskan mereka dari serangan berbahaya dari Leng Hong.
Sementara itu sikut kiri Leng Hong telah menyambar ke dadanya Tie Wan, imam ini terancam bahaya sebab untuknya tidak lagi ketika guna menarik pulang kedua tangannya. Di samping ia, In Boe Yang telah menunjuki ketangkasannya, ialah jari tangannya dengan ilmunya Ittjie sian menyambar ke sikut kiri si orang she Pit, tepat di ujungnya sikut hingga pitanya robek dan nampak ujungnya besi, yang ada ukirannya merupakan naga-nagaan. Melihat ukiran itu, Boe Yang kaget sekali, mendadak saja ia merasakan seperti ia menampak sesuatu yang aneh, yang membingungkan hatinya, dari itu, belum lagi jelas untuknya, ia merasakan hawa dingin menyerang uluh hatinya. Demikian, tak tertahankan lagi, ia roboh terguling dengan terbanting. Di lain pihak tubuh Leng Hong yang kurus kering itu, bagaikan layangan putus, terpental tiga tombak lebih melayang ke bawah tanjakan, kemudian terdengar sindirannya dua kali, akan kemudian, tanpa menoleh lagi, ia menghilang di kejauhan, tak nampak lagi bayangannya.
In Boe Yang dan Boetong Ngoloo tidak dapat berbuat apa-apa kepada musuh itu, barulah setelah bekerja sama, mereka dapat menghajar hingga lawan mereka terpental. Lebih dulu Leng Hong kena tertotok Boe Yang, baru ia tergempur serangannya Boetong Ngoloo.
Sekian lama So So menjublak, baru ia sadar ketika ia mendengar suaranya Tie Wan Tiangloo, suara yang dalam sekali: "Dengan ini impas sudah budi pemberian obatmu, maka marilah kita bertemu pula di lain waktu!" Lalu berlima mereka bertindak pergi.
In Boe Yang mengawasi orang mengangkat kaki, mulutnya bungkam, cuma wajahnya guram. Agaknya ia tetap memikirkan sesuatu yang masih gelap sekali untuknya yang sulit pemecahan atas keputusannya.
"Ayah, kau kenapa?" So So menanya.
"Kakek luarmu telah dibinasakan orang aneh ini," menyahut Boe Yang dengan perlahan. Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan: "Pit Leng Hong terkutung tangannya, terbuntung kakinya dan terusak mukanya, semua itu perbuatannya kakek luarmu itu..."
Nona itu menggigil sendirinya. Ia heran. Belum pernah ia melihat kakek luar itu akan tetapi menurut keterangan ibunya, kakek itu benar tabiatnya keras akan tetapi hatinya pemurah, maka ada dendam apa di antara dia dan orang aneh ini maka keduanya jadi bertempur secara demikian hebat?...
"Pit Leng Hong itu dikenal dengan julukannya Giokbin Kayhiap," berkata pula Boe Yang, "dia tadinya tampan tetapi dia dibikin oleh kakekmu jadi begini jelek, sudah selayaknya saja dia jadi sangat gusar dan penasaran, maka juga dia telah gunai tangan jahatnya untuk menuntut balas. Di lengan buntungnya itu ada cacahan naga-nagaan, itulah tanda dari kakek luarmu. Sebenarnya telah aku melihatnya, kecuali kakek luarmu itu, di kolong langit ini tidak ada orang lainnya yang sangat lihay ilmu pedangnya. Hanya sebegitu jauh aku ketahui, di antara mereka tidak ada hubungannya, kenapa mereka jadi bentrok demikian hebat? Inilah yang membuatnya aku sangat tidak mengerti."
So So bergemetar tangannya hingga "Traang!" jatuhlah pedang di tangannya, terlepas dari cekalannya di luar keinginannya. Selama delapan belas tahun ia itu hidup tenteram dan damai dan bergembira atau hari ini ia merasakan pukulan yang dahsyat. Kejadian saling susul dan semuanya hebat-hebat, hingga hatinya berdebaran.
Ketika pertama kali bertemu sama Hian Kie dan Hian Kie menyebut tentang pedang itu, ia heran sekali, siapa tahu kata-katanya Poantian Sinkay ini lebih aneh dan mengejutkan. Bukankah pedang itu, di sebelah urusannya kitab ilmu pedang, ada terlebih mujijat pula?
"So So," berkata si ayah, perlahan, tangannya menunjuk kepada pedang, "apakah kau masih ingat pembilanganku bahwa pernah aku melakukan suatu kedosaan yang tak dapat aku melupakannya?"
"Aku ingat, ayah," menyahut si anak dara, tunduk, suaranya perlahan.
"Kedosaan itu timbul karena pedang ini," In Boe Yang berkata pula. "Ah, sebenarnya masih terlalu enteng Pit Leng Hong menyebut kesalahanku itu. Dia bilang pedang ini telah aku curi. Hal yang benar ada lebih menakuti daripada itu. Aku... telah membunuh pemilik pedang itu, dan dia... dialah orang seumurku berlaku paling baik terhadapku...
So So menjerit bahna kagetnya. Ia melihat kening ayahnya mengeluarkan keringat, romannya penuh dengan kemenyesalan dan kedukaan. Melihat itu, ia merasa sangat berkasihan.
"Ayah kau tuturkanlah peristiwa itu," ia minta. "Jangan kau simpan saja, supaya kau dapat melegakan hatimu. Jangan kau bikin dirimu sengsara dan menderita karenanya."
"Tidak salah, So So. Memang... memang aku hendak memberitahukanmu..."
Suaranya orang tua ini menjadi serak dan perlahan.
So So mengeluarkan sapu tangannya, dengan itu ia menyusuti peluh ayahnya itu. Ia merasakan peluh itu dingin, menyeresap di tangannya. Ia terkejut.
"Peristiwa itu sangat panjang untuk dituturkan, aku kuatir tak dapat aku menuturkan habis," berkata pula si ayah.
"Baiklah ayah beristirahat dulu," meminta sang anak dara. "Pergi ayah bersamedhi, nanti aku menanti dan menjagaimu."
"Tidak, tidak usah," berkata ayah itu. "Kau tolongi saja aku mengambil arak Kenghoa Hweeyang tjioe. Sudah duapuluh tahun aku pendam peristiwa ini di dalam hatiku, memang sudah lama aku hendak menuturkannya, maka sekarang tidak mau aku menanti kendatipun buat hanya tiga hari tiga malam..."
Mendengar ini baru So So ketahui bahwa ayahnya telah mendapat luka hebat di dalam tubuh, bahwa Siauwhoan tan masih tidak dapat menolong, maka dia memerlukan arak obatnya. Rupanya luka itu tak dapat sembuh sebelumnya lewat tiga hari dan tiga malam.
"Kalau aku pergi, ayah," berkata anak ini, "kau jadi berada sendirian di sini, hatiku tidak tenang..."
"Tidak apa, asal kau lekas pergi dan lekas kembali. Kau bawa itu ke rumah batu di mana aku menantikan kau. Tidak nanti datang pula Pit Leng Hong yang kedua."
Terpaksa So So menurut, maka ia pulang dengan berlari-lari. Di sepanjang jalan, ia dipengaruhkan kekuatirannya. Pula ia merasakan bahwa di sekitarnya ia dikurung dengan segala rahasia. Bukankah sekalipun ayahnya, karena itu pedang, membuatnya ia berpikir keras?
Tiba di rumahnya, sedih hati si nona. Gundul pohon bweenya, cabang dan daunnya berserakan di tanah. Di situ pun ada segundukan tanah munjul yang teruruk dedaunan. Sunyi segala apa. Mendadak ia ingat akan kedatangannya Hian Kie, yang disusul pelbagai peristiwa hebat itu. Sudah datang Boetong Ngoloo, datang pula si pengemis aneh yang lihay itu, yang membawa teka-teki baru. Semuanya kejadian yang tidak diduga-duga. Sirap itu semua, sekarang ayahnya terluka, ayah itu hendak membuka rahasia. Kembali ia memikirkan Hian Kie orang kepada siapa ia hendak menumpangkan diri. Hanya, ke mana perginya anak muda itu?
Nona ini memanggil, hingga beberapa kali, ia tidak memperoleh jawaban. Ia telah terbenam dalam kesunyian. Cuma datang jawaban dari kumandang suaranya sendiri. Ia benar-benar tidak ketahui ke mana perginya si anak muda...
Kemana Hian Kie pergi? Mau atau tidak, So So menenangkan diri. Ia ingat, ayahnya hendak bicara berduaan saja dengannya, Hian Kie disuruh menyingkir, ia pun memberi tanda akan pemuda pujaannya itu mengundurkan diri. Mungkinkah, karena itu Hian Kie menjadi tidak puas dan menyesalkan ia? Ia ingat, memang belum lama ia kenal pemuda itu tetapi hati mereka sudah lantas terikat satu dengan lain. Tidak mungkin pemuda itu jengkel hati terhadapnya, tidak nanti dia bergusar meski benar di antara dia dan ayahnya ada ganjalan. Maka itu, kenapa dia tidak menantikan padanya? Umpama kata pemuda itu mengikuti dan mengintai pertempuran, sekarang dia sudah seharusnya kembali...
Tiba-tiba So So ingat sorot mata luar biasa dari Hian Kie ketika si anak muda mengundurkan diri. Ketika ia memasuki kamar tulis, hatinya pun seperti kosong. Delapan belas tahun lamanya ia hidup di rumahnya ini, baru sekarang ia merasakan rumah itu bagaikan kota iblis. Ibunya sudah pergi, ayahnya berdiam di rumah batu. Kalau nanti ayah itu sembuh, belum tentu dia akan lantas pulang ke rumah. Karena Hian Kie tidak ada, ia merasa sepi sekali.
Dalam keadaannya seperti itu, So So tidak melupakan kewajibannya. Ia lantas mengambil cupu-cupu merah yang besar yang ayahnya perantikan menaruh araknya, buat dibawa ke mana-mana. Ia isikan cupu-cupu itu. Selagi berbuat begitu, ia ingat halnya ia memberikan arak itu kepada Hian Kie hingga si anak muda tak sadarkan diri. Tapi tak lama ia berpikir, lantas ia lari pula keluar, untuk pergi ke rumah batu.
Matahari sudah silam di barat, kamar batu guram.
"Ayah," si anak memanggil.
Tidak ada jawaban.
Bercekat hati si nona, ia terkejut.
"Ayah!" ia memanggil pula, kali ini terus ia bertindak masuk. Ia seperti merabah-rabah untuk sampai di kamar ayahnya. Akhirnya ia menampak juga ayah itu, yang lagi duduk bersamedhi menghadap ke tembok. Baru sekarang hatinya lega.
Dengan terus memegangi cupu-cupunya, So So menempatkan diri di sisi ayahnya itu. Ia tidak mau mengganggu pemusatan pikiran ayahnya, ia berdiam saja.
Selang sekian lama, baru Boe Yang dengan perlahan mengangkat kepalanya. Ia pun mengangkat tangannya dan mengulurnya kepada anaknya.
So So sudah lantas mengangsurkan cupu-cupu di tangannya itu.
Sang ayah menyambuti, ia terus mencegluk-nya. Di tenggorokannya terdengar suara gelogokan.
Lagi sekian lama, baru ayah itu membuka mulutnya.
"Anak, kau duduk," suaranya bergemetar. "Kau dengari penyesalan ayahmu....
Tanpa serangan hawa dingin, si nona menggigil. Ia berdahaga untuk keterangan ayahnya itu tetapi sekarang ia takut untuk mendengarnya. Bukankah itu rahasia ayahnya? Kedosaan apakah ayah itu pernah perbuat? Maka itu, tak tenang pikirannya. Dengan menguatkan hati, ia mencoba menetapkan diri.
Selagi ayah dan anak itu berdiam dan si ayah hendak bercerita, dan si anak bersedia akan mendengarinya, tiba-tiba terdengar suara menyanyi mengalun jauh dari dalam rimba. Samar-samar tetapi ketahuan itulah suaranya seorang wanita.
"Rembulan di langit mengejar sang Surya,
Nona di bumi mengejar kekasihnya.
Sang Surya naik di timur,
Sang Rembulan silam di barat.
Bidadari di istana rembulan sia-sia berduka."
Demikian nyanyian itu, nyanyian yang sebentar berhenti dan sebentar diulangi. Selama terhentinya, samar-samar terdengar suara si nona memanggil, "Hian Kie! Hian Kie!..."
"Siapakah nona itu?" So So menduga-duga. "Ada hubungan apakah di antara ia dan Hian Kie? Adakah dia si nona yang disebut-sebut Siangkoan Thian Ya? Jadinya Hian Kie dipanggil nona itu ?"
Tengah ia tersengsam, So So dibikin terkejut suara ayahnya.
"So So, kau pikirkan apa?" begitu ayah itu. "Mari datang lebih dekat, kau dengari aku. Adakah kau takut? Oh, aku sendiri takut juga..."
Boe Yang lantas mulai menutur perbuatannya itu, yang membuatnya menyesal sekali, yang ia katakan kesalahan atau kedosaan besar.
Tatkala itu matahari sudah turun seanteronya, maka kamar batu itu menjadi gelap petang.
-xxXXXxx-  

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang