IX : Ayah, ibu, anak... berpisah semua

1.6K 20 0
                                    

Kemanakah perginya Hian Kie?
Dia pun, seperti So So, dalam saat yang singkat itu, telah menghadapi pelbagai kejadian yang di luar dugaannya.
Tadi malam dia datang ke rumah Boe Yang dengan menempuh bahaya, itu melulu untuk menemui So So. Ia telah berhasil. Bukan saja ia dapat menemui si nona, hati mereka pun cocok dan si nona suka menyerahkan dirinya kepadanya. Maka itu bukan main bunga hatinya. Sayang, tiba-tiba saja Boe Yang pulang, lantas ayah dan anak itu berbicara, bahkan si ayah hendak omong urusan yang penting, hingga ia disuruh menyingkir dan So So pun minta ia suka mengundurkan diri dulu. Ia merasa tidak enak hati tetapi toh ia pergi juga keluar. Ia berpikir keras.
Bersediakah Boe Yang menyerahkan puterinya kepadanya? Ia berpikir.
Ia sudah menerima tugas untuk membunuh Boe Yang itu! Dengan adanya tugas itu, dapatkah mertua dan mantunya kecocokan, untuk hidup bersama? Bukankah erat sekali hubungan di antara ayah dan anak? So So anak satu-satunya, kalau ia membawanya minggat, tidakkah karenanya putus hubungan di antara ayah dan anak itu? Kalau itu sampai tetjadi, siapa berani menjamin yang So So nanti tak bersikap tawar seperti ibunya terhadap Boe Yang, ialah penasaran dan menyesali suaminya?
Sifatnya Hian Kie justeru sebaliknya daripada sifatnya Siangkoan Thian Ya. Pemuda she Siangkoan ini sangat menyinta, ia dapat tak memperdulikan apa juga. Hian Kie tenang, dia dapat berpikir jauh, maka meskipun dia sangat menyintai So So, dia masih dapat menguasai hatinya. Dia sangsi, kalau So So berpisah dari ayahnya, ia dapat hidup senang dan berbahagia. Ya, dia sangat bersangsi. Dan kapan dia ingat akan kedukaannya Nyonya In, tanpa merasa dia menggigil sendirinya, hatinya menjadi kecil.
"Umpama kata So So menyatakan menyesal, sepatah kata saja, pastilah sudah, seumur hidupku aku bakal menyesal?" demikian pikirnya pula. Tapi, dia pun tidak dapat melupakan si nona, jangan kata untuk meninggalkannya.
Maka itu Hian Kie mengharap-harap So So lekas-lekas keluar, untuk mereka bertemu pula. Ia menanti dengan sia-sia, hingga ia seperti habis sabar. Lama rasanya ia menunggu. Rupanya pembicaraan So So dengan ayahnya itu tak ada habis-habisnya... Sebenarnya ia tidak menantikan terlalu lama, hanya seperti merasakan sedetik atau semenit bagaikan sebulan atau setahun...
Oleh karena ini, perlahan-lahan Hian Kie membuka pintu pojok akan bertindak keluar. Di dalam hatinya, ia berkata: "Baiklah, aku akan jadi si terdakwa, aku menantikan hukuman yang dijatuhkan So So!..."
Pemuda ini menduga, mestinya Boe Yang bicara dengan gadisnya itu perihal perjodohan, jodohnya si anak dara. Ia tidak menyangka sama sekali, Boe Yang justeru membeber perbuatannya yang keliru dan berdosa.
Tengah hatinya tidak tenteram itu, Hian Kie mendapat dengar satu suara nyaring.
"Itulah suaranya Thian Ya," ia berkata di dalam hati. Ia kenal baik suaranya sahabat itu. "Apakah telah terjadi dengannya?"
Tanpa bersangsi lagi, anak muda ini lari ke arah dari mana suara itu datang. Thian Ya telah berani berkurban untuk menolongi ia, maka ia pun harus bersedia akan membantu sahabat itu.
Ia lari masuk ke dalam rimba yang lebat. Di sana ia mendengar suara seperti tongkat besi membentur-bentur tanah. Suara itu berada di sebelah depannya. Maka ia lantas lari keras. Hanya aneh, ia telah berlari-lari dengan ilmu ringan tubuh Patpouw Kansian, masih ia belum dapat menyandak.
Kembali terdengar suara tajam tadi. Benar-benar suaranya Siangkoan Thian Ya. Agaknya suara itu mengandung rasa kaget atau takut. Apakah sudah teijadi pada pemuda yang nyalinya besar, umpama kata "tak takut langit, tak takut bumi?"
Hian Kie berlambat sedikit karena berpikirnya itu, lalu suara tongkat besi terdengar semakin jauh. Bahkan arahnya suara itu pun membuatnya ragu-ragu.
Adalah di itu waktu, kupingnya mendapat dengar nyanyian seorang wanita:
"Rembulan di langit mengejar sang Surya,
Nona di bumi mengejar kekasihnya..."
Terang sekali itu suaranya Oen Lan. Maka sekarang Hian Kie berlari-lari ke arah nyanyian itu. Ia sudah lari serintasan atau suara itu tak terdengar pula.
Letih Hian Kie, satu malam ia telah tidak tidur, pengalamannya pun hebat. Dengan hati bersangsi, ia berhenti lari malah ia lantas menyendertan diri pada sebuah pohon. Hendak ia menghilangi lelahnya.
Belum lama ia berdiri menyender, tiba-tiba ia mendengar suara apa-apa di dekatnya. Ia heran, semangatnya pun jadi terbangun pula. Kembali ia mendengar suara itu.
Itulah tertawa yang hebat, yang menggetarkan telinga. Tertawa itu bagaikan mengaung. Begitu tertawa berhenti, ia mendengar suara orang berkata: "Siangkoan Thian Ya, kau kena dibikin kaget olehku si makhluk aneh, bukan?"
Dalam herannya, Hian Kie bertindak dengan perlahan. Hendak ia melihat, siapa orang itu. Benarkah dia ada bersama Thian Ya, sahabatnya itu? Ia tidak berani lantas muncul, ia mengintai.
Apa yang pemuda ini tampak membuatnya terkejut, hatinya giris.
Di sana ada seorang dengan roman luar biasa, mukanya penuh dengan tapak luka-luka, sudah tangannya buntung sebelah, kakinya pun pincang. Dia menunjang diri dengan menancap tongkat besinya di tanah. Dialah yang bicara sama Siangkoan Thian Ya, yang berada di hadapannya.
Sebisanya Hian Kie menenangkan diri, ia mengawasi terus. Tapi hatinya berpikir.
"Pantas Thian Ya menjerit, kiranya ia terjatuh di dalam tangannya hantu?..."
Hampir Hian Kie mengeluarkan senjata rahasianya, untuk menyerang, atau ia dengar suara sahabatnya.
"Lootjianpwee, aku menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu membawa aku keluar dari kurungan," demikian sahabat itu. "Cuma... cuma...."
Hian Kie melengak. Tentu sekali batal ia menyerang.
"Kiranya dialah yang menolongi Thian Ya," pikirnya. Ia tarik pulang tangannya yang sudah dimasuki ke dalam kantung senjata rahasianya itu.
Manusia aneh itu memang benar Pit Leng Hong adanya, si Pengemis Pendekar. Ketika baru ditolongi, Thian Ya tidak dapat melihat muka orang. Guha gelap. Setibanya di luar, di sinar sang pagi, baru ia mendapat lihat jelas. Tentu sekali ia menjadi kaget. Hanya, setelah mengawasi pula sekian lama, ia mendapatkan pada wajah sangat jelek dan menakuti itu sinar dari kehalusan budi. Ia telah kematian ayah dan ibunya semenjak masih kecil, sebagai anak yatim piatu ia menjadi besar, maka itu, ia kehilangan cinta kasihnya orang tuanya. Sesudah itu, ia dirundung malang karena cintanya tak dibalas Siauw Oen Lan, si nona yang berlaku tawar terhadapnya, sebab nona itu sebaliknya tergila-gila pada Hian Kie. Ia laki laki sejati, ia tidak benci Hian Kie, bahkan ia memaksakan Hian Kie menerima cintanya si nona, karena mana mereka jadi bentrok. Sekarang, di saat ia terkurung dan hatinya tidak keruan rasa, ia ditolongi ini makhluk aneh, bahkan orang ini agaknya menaruh belas kasihan terhadapnya.
Maka itu, walaupun heran, ia menghaturkan terima kasihnya.
Pit Leng Hong tersenyum, hingga kulit mukanya yang rusak itu bergerak-gerak, memperlihatkan wajahnya yang jelek dan menakuti itu. Hian Kie pun melihatnya hingga hatinya seperti ciut. Tapi Thian Ya sekarang ia tak takut lagi, ia malah mengawasi dengan tajam.
Kembali Leng Hong tertawa.
"Cuma apa? Cuma apa?" dia menanya.
"Di dalam hatiku aku telah bersumpah, kecuali dengan kepandaian sendiri, tidak sudi aku keluar dari guha itu!" sahut Thian Ya.
"Jikalau begitu, kau jadi menyesalkan aku sudah menolongi kau?"
"Untuk menyesali, itulah aku tidak berani. Yang benar adalah aku hendak menanti sampai telah sempurna peryakinan ilmu silatku, itu waktu barulah aku ingin membuat perhitungan dengan si orang she In, untuk membalas penghinaannya yang sudah merampas kitab ilmu pedang."
"Satu laki laki biasa tak sudi berhasilnya dibantu lain orang, sifat dan tabiatmu ini cocok dengan sifat dan tabiatku si makhluk aneh tua bangkotan. Cumalah kau tidak pernah memikirkan suatu hal lainnya. Umpama kata kau berhasil dengan peryakinanmu di dalam guha itu, bukankah karena itu kau telah menerima budinya In Boe Yang?"
Thian Ya mementang kedua matanya.
"Bagaimana itu?" ia menanya.
"Aku ketahui baik hatimu! Jikalau In Boe Yang ambil kau sebagai murid, kau tidak sudi menerimanya. Inilah In Boe Yang tahu, maka ia kurung kau di dalam guhanya itu. Bukankah di tembok-tembok guha itu ada peta-peta dan gambar dari ilmu silat pedang? Di dalam hatimu, kau percaya semua peta itu adalah sarinya ilmu silat pedang, yang kau anggap ada kepunyaan partaimu, maka itu, asal bukan In Boe Yang sendiri yang mengajarinya, bolehlah kau mempelajarinya. Pelajaran ini jadinya tidak bertentangan sama hatimu. Benar bukan?"
Siangkoan Thian Ya mengangguk. Tepat orang menduga hatinya. Sebagai orang jujur, ia tidak mau menyangkal.
"Kenapa In Boe Yang mengurung kau di dalam guhanya?" Pit Leng Hong tanya. "Bukankah itu disebabkan keinginannya supaya kau dapat mencapai minatmu mempelajari ilmu pedang itu?"
Soal memang sederhana sekali, tetapi Thian Ya dipengaruhkan sangat keinginannya belajar hingga sempurna, untuk ia dapat menuntut balas, maka itu, ia tidak memusingkan otak untuk berpikir sampai di situ. Sekarang, setelah diberikan keterangan, ia menjadi lesuh.
"Kau ingin menyempurnakan ilmu silatmu," berkata pula Leng Hong. "Gampangkah itu? Bukankah sedikitnya kau harus mengambil tempo sepuluh tahun? Syukur kalau In Boe Yang masih hidup, kalau apa celaka ia mati, siapa nanti membawakan kau barang makanan? Apakah kau dapat tinggal tetap di dalam guha? Bukankah kau toh bakal keluar juga? Kau mirip satu bocah kepala batu, kau turuti saja hatimu di satu saat, lantas kau tidak memikirkan lainnya lagi. Meskipun begitu, aku suka dengan kepala batumu ini! Untuk kau sendiri dapat menuntut balas, itulah tidak susah. Aku tanggung, di dalam tempo tiga tahun, kau bakal dapat merampungkan pelajaranmu!"
Walaupun apa yang ia telah dengar semua, Thian Ya tetap sama putusannya.
"Tidak!" sahutnya. "Aku tidak dapat mengangkat kau sebagai guru!"
Pit Leng Hong tertawa.
"Apakah kau menyangka aku hendak memaksa kau mengangkat aku jadi gurumu?" ia tanya.
Thian Ya tidak menjawab, hanya ia kata: "Aku mesti pulang dulu ke gunungku guna memberitahukan kepada ketua dari partaiku, habis itu, apabila di lain hari kita masih berjodoh untuk bertemu pula, itu waktu barulah aku akan minta kau loodjinkee, memberi petunjuk padaku."
Thian Ya menghormati aturan Rimba Persilatan. Soal menukar guru ialah soal besar sekali. Beda kalau orang dengan suka sendiri mengajari beberapa jurus ilmu silat, pada itu tidak ada soal guru dengan murid, itu tidak termasuk dalam larangan. Tapi Thian Ya adalah murid ahli waris, maka juga, sekalipun dalam urusan pribadi, ia mesti memberitahukan dulu ketuanya.
Pit Leng Hong tertawa mendengar keberatan orang itu.
"Untuk memberitahukan ketuamu itu, perlu apa kau sampai mesti pulang ke gunungmu?" ia berkata. "Sekarang ini ke lima-limanya tua bangka dari partaimu senantiasa membuntut di belakangmu! Tak tahukah kau hal itu?"
Siangkoan Thian Ya melengak.
"Apa kau bilang, loodjinkee? Kelima paman guruku itu semua berada di sini?"
Dengan "paman-guru" itu, Thian Ya maksudkan paman gurunya yang tua dan yang muda, yaitu soepee dan soesiok.
Pit Leng Hong bersenyum.
"Sebenarnya, begitu kaki depanmu turun gunung, kaki belakang mereka sudah lantas ikut bertindak keluar dari pintu kuilnya!" sahutnya. "Sekarang ini, aku kuatir, mereka sudah berada di gunung depan dan tengah berhadapan dengan In Boe Yang untuk meminta orang, ialah meminta kau dipulangkan kepada mereka? Apakah kau ingin bertemu sama mereka itu?"
Perkataannya Pit Leng Hong benar. Dugaannya itu tepat. Memang ketika itu Boetong Ngoloo tengah menempur In Boe Yang, mereka sampai mesti menggunai pukulan Ngoloei Thiansim Tjiang.
Siangkoan Thian Ya memasang kupingnya, lapat-lapat ia dapat mendengar suara angin keras seperti menggelegarnya guntur.
Siangkoan Thian Ya berdiam. Sunguh-sungguh ia tidak mengerti. Ia bagaikan terbenam di dalam kabut.
"Ah, mengapa mereka dapat mengetahui aku pergi ke Holan San ini untuk mencari In Boe Yang?" ia mengoceh seorang diri. "Karena dengan diam-diam mereka menguntit aku? Seharusnya mereka memberitahukan dahulu kepadaku..."
Siangkoan Thian Ya telah menerima pesan terakhir dari gurunya yaitu Bouw It Siok, untuk dia pergi kepada In Boe Yang guna meminta pulang kitab ilmu pedang kepunyaan Bouw Tok It. Pesan itu ada pesan yang seperti dirahasiakan dan Thian Ya juga belum pernah memberitahukan itu kepada siapa juga, cuma sebelumnya ia turun gunung, untuk pergi ke Holan San, ia telah meninggalkan sepucuk surat wasiat untuk Tie Wan Tiangloo dalam mana ia memesan surat itu baru boleh dibuka dan dibaca selewatnya satu tahun. Pesan ini pun ada hubungan sama pikirannya Bouw It Siok. Telah dipikir It Siok, umpama kata In Boe Yang suka membayar pulang kitab itu, di dalam tempo satu tahun Thian Ya tentu telah dapat kembali ke Boetong San, dengan begitu suratnya Thian Ya tersebut bisa diambil pulang tanpa sampai dibaca Tie Wan Tiangloo, surat itu boleh dibakar habis dengan tidak usah dibuka lagi. Secara demikian, Boetong Ngoloo jadi tak usah mengetahui tentang urusan kitab itu, dan dengan begitu juga, In Boe Yang jadi tidak usah hilang muka atau menjadi jengah. Tapi, andaikata di dalam satu tahun Thian Ya tidak pulang, itu artinya ia berada dalam bahaya atau lainnya kejadian yang tidak disangka-sangka, maka dengan membaca surat Thian Ya itu, bolehlah Boetong Ngoloo pergi menuntut balas. Siapa tahu, Boetong Ngoloo sudah lantas menyusul dalam tempo yang cepat sekali.
Thian Ya menjadi sangat heran.
Pit Leng Hong mengawasi tajam pemuda itu. "Bagaimana sikapnya Tie Wan Tiangloo terhadap kau?" ia tanya.
"Dia menyintai aku sebagai keponakannya sendiri."
Atas jawaban ini, Leng Hong tertawa dingin.
"Aku kuatir dia justeru menyayangi kitab ilmu pedang itu!" katanya. Ia mengeluarkan sepucuk surat. "Kau lihat ini!" ia menambahkan. "Tie Wan Tiangloo justeru tengah mencari delapan muridnya yang paling disayang yang lagi merantau untuk mereka itu dipanggil berkumpul di gunungnya!"
Surat itu ada untuk salah satu murid Tie Wan Tiangloo, bunyinya membilangi muridnya untuk murid itu mencari dua saudaranya yang lain, guna diberitahukan yang Siangkoan Thian Ya sudah pergi ke Holan San untuk meminta pulang kitab pedang, karena mana murid-murid itu dititahkan segera pulang ke Boetong San.
Thian Ya kenal baik tulisannya Tie Wan Tiangloo. Ia menduga, ini tentulah bukan surat satu-satunya, pasti sekali ada lain-lain surat serupa untuk lain-lainnya murid tiangloo itu. Dari sini dapatlah diduga, surat wasiatnya itu pastilah telah dibuka Tie Wan tanpa tiangloo itu menanti tempo satu tahun.
Kembali Thian Ya menjublak.
"Sebenarnya apakah artinya perbuatan Tie Wan Soepee?" ia bertanya sesaat kemudian.
Pemuda ini heran. Ia memang lebih rendah tingkatnya akan tetapi ialah Tjiangboendjin, ahli waris partai yang menjadi ketua, maka dengan perbuatannya itu Tie Wan, yang lancang membuka surat wasiat, menjadi sudah menghina ketuanya sendiri.
Pit Leng Hong menghela napas.
"Ini dia yang dinamakan mementingkan diri sendiri," ia berkata. Ia maksudkan egoisme. "Seorang demikian terhormat sebagai Boetong Ngoloo, mereka masih tak dapat menguasai diri sendiri. Tidakkah itu harus disesalkan?"
"Apa katamu ini, lootjianpwee?" Thian Ya heran.
"Apakah kau menyangka aku menghina soepee dan soesiok-mu itu?" balik tanya Leng Hong.
"Mari aku tanya kau. Kau tahu atau tidak kenapa gurumu, Bouw It Siok, menutup mata? Tahukah kau bagaimana matinya itu?"
Thian Ya tercengang.
"Guruku itu menutup mata dengan baik karena takdirnya telah sampai," ia menyahut.
Leng Hong menatap.
"Tidak salah, gurumu mati disebabkan sakit," ia bilang. "Tapi dia berumur belum lewat limapuluh tahun. Apakah dia bukan mati terlalu siang? Tidakkah itu harus sangat disayangkan?"
Mesti ada sebab apa-apa mengenai kata-katanya manusia aneh ini. Oleh karena orang bicara demikian samar-samar, Thian Ya habis sabar, hingga ia menjadi mendongkol.
"Lootjianpwee, aku minta kau suka omong dengan cara terus-terang," ia kata nyaring. "Apakah kematiannya guruku itu kematian tidak wajar?"
"Tidak wajar? Itulah tidak," jawab Poantian Sinkay. "Tetapi benar kedukaan dapat menyebabkan orang meninggal dunia. Semenjak soetjouw-mu menutup mata, ia menjadi sangat berduka. Di luar dia mempunyai musuh-musuh yang tangguh dan di dalam dia didesak saudara-saudara seperguruannya. Demikian taklah heran kalau dia mati siang-siang!"
Thian Ya tidak mengerti.
"Lootjianpwee, apakah artinya musuh tangguh di luar dan desakan dari dalam itu?" dia tanya. "Aku minta lootjianpwee suka menjelaskannya."
"Sebenarnya musuh tangguh gurumu itu sudah mati, yang ada tinggal cucu luarnya yang seharusnya tak perlu ia kuatirkan lagi," Pit Leng Hong memberikan keterangannya. "Tentang ini baiklah belakangan saja dibicarakan pula. Tentang kematiannya gurumu itu, yang mati sakit karena kedukaan, sebagian adalah disebabkan desakannya kelima soepee dan soesiok-mu itu."
Thian Ya menjadi semakin heran.
"Kenapa soepee dan soesiok mendesak guruku itu?" ia bertanya pula.
"Ketika soetjouw-mu mendapatkan kitab ilmu pedang itu, ia mendapatkannya secara rahasia," Pit Leng Hong menerangkan pula. "Setahu bagaimana caranya, Tie Wan Tiangloo telah mendapat dengar hal itu. Menurut jalan pikirannya Tie Wan, ilmu itu tentulah bakal diturunkan kepadanya. Kejadiannya lain sekali. Kitab itu telah dicuri In Boe Yang dan pencurian ini tidak diketahui Tie Wan. Setelah Tjouwsoe-mu meninggal dunia Tie Wan menyangka kitab itu berada di tangan gurumu. Ia menjadi jelus, ia menyangka gurumu mengangkangi sendiri ilmu pedang itu. Karena itu sering sekali Tie Wan datang pada gurumu, untuk meminta kitab tersebut. Hal ini sangat menyulitkan gurumu itu. Kitab tak dapat ia menyerahkannya, penjelasan juga tak bisa ia berikan. Sebabnya? Ke satu ia malang pada mukanya adik seperguruannya, ialah soemoay-nya, yang menjadi isterinya In Boe Yang, dan ke dua, ia jeri terhadap In Boe Yang sendiri. Demikian maka ia bersusah hati. Semua paman gurumu itu datang dengan desakan, bukan saja mereka meminta kitab, mereka juga ingin menguji gurumu itu. Bagus gurumu itu, ia ada sabar luar biasa. Coba kejadian atas dirimu, pasti kau tidak dapat menerima itu."
Thian Ya ingat, memang, semenjak ia berguru, setiap tahun ada saja paman gurunya yang datang pada gurunya itu, datang secara bergiliran dan setiap kali mereka pergi pulang, gurunya tampak sangat berduka, kadang-kadang sampai sepuluh hari atau setengah bulan, kedukaan itu masih belum lenyap. Karena ini, maulah ia percaya Leng Hong, tak seluruhnya, sedikitnya beberapa bagian.
"Tie Wan mendesak gurumu itu, pada itu masih ada soalnya yang lain," berkata pula Leng Hong. "Inilah soal yang mengenai dirinya perseorangan. Di dalam Boetong Pay terdapat dua macam murid, yang satu ialah yang menjadi imam, yang lain ialah orang biasa, yang tidak turut mensucikan diri. Kelihatannya pada ini tidak ada perbedaannya tapi sebenarnya keadaan tidak demikian. Sebelumnya soetjouw-mu itu, orang yang menjadi tjiangboendjin biasanya murid imam, tapi sekarang soetjouw-mu menyimpang dari jalan yang biasa itu. Soetjouw-mu pandai ilmu surat dan ilmu silat, jauh pandangannya, maka itu, ia telah mengangkat seorang murid bukan imam sebagai ahli warisnya, yang bakal mengetuai partainya. Di lahir, kawanan hidung kerbau itu tidak membilang suatu apa. Kalau mereka menyatakan tidak puas dan hal itu dapat didengar soetjouw-mu, tak baik untuk diri mereka sendiri. Sekarang halnya lain. Sekarang gurumulah yang memegang kendali. Mereka menjadi sangat tidak puas. Demikianlah Tie Wan Tiangloo berani membuka dan membaca surat wasiatmu itu, setelah mana dengan cara kilat ia memanggil pulang delapan muridnya yang terpandai. Maksudnya ialah mengumpulkan murid-muridnya itu supaya mereka bersama-sama kau sama meyakinkan ilmu pedang itu. Bukankah Boetong Pay paling mengutamakan ilmu pedang? Tie Wan mau tunggu, setelah rampungnya murid-muridnya meyakinkan ilmu pedang itu, mesti ada satu di antaranya yang dapat mengalahkan kau. Sampai itu waktu, dengan menggunai kekuasaannya sebagai tiangloo tertua dapat ia menukar Tjiangboendjin. Dalam hal itu ia dapat memakai alasan kebijaksanaan. Maka dengan begitu, akan runtuhlah kedudukanmu sebagai Tjiangboendjin. Maka kemudian, kekuasaan atas Boetong Pay kembali ke tangannya kaum imam itu."
Panas hatinya Thian Ya, meski ia masih ragu-ragu, separuh percaya, separuh tidak. Ia terus mengawasi si manusia aneh.
Pit Leng Hong tertawa terbahak.
"Apakah kau mau menyangka aku berkata-kata karena kedengkian?" ia tanya. "Apakah kau sangka aku sebagai si manusia hina dina hendak memfitnah seorang budiman? Haha haha! Buat omong terus terang, juga aku sendiri, ada hubungannya di antara aku dan kitab pedang itu! Aku percaya, setelah gurumu menutup mata, dia mesti meninggalkan pesan, karena itu secara diam-diam aku menguntit kau sampai di sini.
Sebenarnya aku hendak mencuri surat wasiatmu itu yang dititipkan kepada Tie Wan, kesudahannya maksudku tidak kesampaian, sebaliknya, aku dapat curi ini sepucuk suratnya Tie Wan untuk murid-muridnya itu. Bahkan aku dapat mencuri dengar juga pembicaraannya dengan keempat saudara seperguruannya itu. Sekarang aku telah menjelaskannya semua, maka terserahlah kepadamu, kau percaya atau tidak!"
Siangkoan Thian Ya paling membenci orang yang tidak berlaku terus terang, ia sekarang mempercayai habis orang aneh ini, maka dengan keras sekali ia berteriak: "Aku tidak mengharapkan lagi kedudukan Tjiangboen dari Boetong Pay!" Dan dalam murkanya itu, ia robek hancur suratnya Tie Wan.
"Bagus, kau bersemangat!" memuji Leng Hong. "Nah, bagaimana sekarang dengan itu kitab ilmu pedang?"
"Kitab itu milik Tjouwsoe, tetapi juga layak menjadi kepunyaan Boetong Pay," menjawab Thian Ya, "maka itu, setelah aku tidak menghendaki lagi kedudukan Tjiangboendjin, aku pun tidak mengharapi itu lagi!"
Tapi Pit Leng Hong tertawa dingin.
"Yang benar kitab itu bukan kepunyaan soetjouw-mu!" katanya dengan dingin pula.
Thian Ya temeranjat.
"Apa?" teriaknya. "Sesaat guruku hendak melepaskan napasnya yang penghabisan dia telah memberitahukan aku jelas dan terang, katanya kitab pedang itu soetjouw mendapatkannya dari dalam sebuah guha batu. Mustahilkah keterangannya soetjouw pun dusta?"
"Separuh benar, separuh dusta!" jawab Leng Hong singkat.
Lagi-lagi Thian Ya melengak.
Di masa pemuda ini mengangkat guru, kakek gurunya itu sudah meninggal dunia, tetapi ia telah mendapat dengar dari orang-orang yang terhitung tertuanya bahwa kakek gurunya itu ialah tayhiap atau pendekar di jamannya itu, karenanya ia sangat menghargainya, maka heran sekarang ia mendengarnya begini dari Pit Leng Hong. Coba yang mengatakan itu bukan ini manusia aneh, pasti ia tidak mau mengerti. Sekarang ia hanya dapat menatap wajah orang.
Pit Leng Hong melirik anak muda itu.
"Aku tidak heran yang kau tidak mau mempercayai aku," katanya, tenang. "Jikalau bukannya aku melihat dengan mataku sendiri, aku juga tidak nanti percaya Bouw Tok It, melulu guna kitab ilmu pedang itu, sudah bertempur dengan satu tayhiap lain, bahkan mereka bertempur mati-matian selama satu hari satu malam."
Thian Ya tetap mengawasi.
"Lootjianpwee, tolong kau memberikan penjelasanmu," ia mohon.
Leng Hong berdiam sejenak sebelum ia menyahuti.
"Duduknya hal luar biasa sekali. Aku si tua bangka mempunyai semacam tabiat. Ialah tanpa bukti, aku lebih suka tidak membuka mulut. Hanya untuk mencari bukti, itulah bukan pekerjaan sukar. Kitab ilmu pedang itu memang benar tersimpan di dalam sebuah guha atau rumah batu. Karena itu aku bilang, keterangan kakek gurumu itu separuh benar. Sekarang aku menyebut tentang seorang lain, yang gagah luar biasa. Di saat dia ini hendak menutup mata, dia sudah meninggalkan pesan poma-poma. Pesan itu diberikan kepada itu tayhiap yang namanya sama kesohornya dengan kakek gurumu itu. Hari itu kebetulan sekali mereka berdua ada bersama di dalam rumah batu itu. Kakek gurumu itu bertarung sama tayhiap itu, setelah satu hari satu malam, dia berhasil merampas itu kitab ilmu pedang. Walaupun begitu, kakek gurumu kena terluka pedang lawannya. Ia menjadi gusar, maka sekalian ia hendak merampas juga pedang itu. Sudah aku bilang, orang itu sama tersohornya dengan kakekmu, benar dia kena dikalahkan tapi pedang itu tidak kena dirampas kecuali dua potong gelangnya, yang terbikin dari kumala, yang kena kakekmu putuskan. Sekarang kedua gelang kumala itu berada di tanganku, sedang pedangnya berada ditangannya In Boe Yang. Nanti aku cari In Boe Yang, untuk merampas pedang itu, supaya kau bisa lihat tapak kuku di atasnya, setelah kau pasang pula gelang kumalanya, baharu kau mengetahui jelas. Nih, kau dengarlah suara pertempuran di gunung depan itu, kelihatannya Boetong Ngoloo bakal kalah. Sebetulnya aku juga bukan tandingan dari In Boe Yang, akan tetapi menggunai ini ketika yang baik, hendak aku mencobanya. Kau tunggui aku di sini, sebelum matahari silam, akan aku sudah kembali, itu waktu aku nanti memberikan penjelasan lengkap kepadamu."
Siangkoan Thian Ya kena dibikin bimbang. Jadi sungguh sukar untuk mencari seorang laki-laki sejati, yang dapat mengurbankan diri.
Juga Tan Hian Kie tidak kurang bimbangnya. Bahkan Hian Kie merasa sangat menyesal. Pemuda ini dapat ingat suatu apa. Maka berpikirlah ia: "Siapa itu tayhiap, si orang gagah, yang disebutkan orang aneh ini? Siapa lagi dia kecuali Tan Teng Hong yang menjadi kakek luarku? Pedang di tangannya So So itu memang benar ada tapak kukunya, sedang menurut catatan yang ditinggalkan kakek luarku itu, ada disebut juga halnya kedua gelang kumala itu yang menjadi perhiasan pedang. Pedang itu... pedang itu... Mungkin itu pedangnya kakek luarku itu? Kenapa sekarang pedang berada di tangannya In Boe Yang?"
Selagi Hian Kie berpikir demikian, ia mendengar Siangkoan Thian Ya menghela napas panjang dan berkata: "Lootjianpwee, aku mengerti maksudmu. Kau hendak menempuh bahaya untuk merampas pedang itu dari tangannya In Boe Yang dan itulah untukku. Lootjianpwee, sekarang rela aku mengangkat kau menjadi guruku!"
Hian Kie menjadi heran sekali hingga ia tercengang. Seorang ahli waris Boetong Pay mengangkat si orang aneh ini menjadi guru! Tidakkah itu pun aneh sekali? Tentu sekali, ia tidak dapat mencegah, karena ia kenal baik tabiatnya sang sahabat.
Thian Ya sudah lantas paykoei tiga kali kepada si orang aneh, maka jadilah dia gurunya!
Pit Leng Hong tertawa lebar.
"Tahukah kau siapa aku sebenarnya?" ia menanya. Baru sekarang ia mengajukan pertanyaannya itu. "Kau telah mengangkat aku menjadi gurumu, apakah kau tidak takut di belakang hari kau nanti jadi menyesal?"
"Tidak perduli siapa adanya lootjianpwee, teetjoe akan tetap mengikuti lootjianpwee sebagai guruku!" menjawab Thian Ya, singkat dan pasti.
Pit Leng Hong tertawa pula.
"Sekalipun she dan nama serta asal usulku kau masih belum ketahui!" katanya pula, "Kau telah menaruh kepercayaan besar atas diriku, kau rela menjadi muridku haha! kau bukan saja muridku yang baik, bahkan kaulah orang satunya yang mengenal diriku!"
"Kata-katanya orang aneh ini sama anehnya dengan romannya yang luar biasa," Hian Kie berpikir pula.
Habis Leng Hong tertawa lalu terdengar suaranya yang keren. Tedas sekali setiap kata-katanya.
"Aku bernama Pit Leng Hong! Pada duapuluh tahun yang lampau, orang menyebutnya aku Kayhiap si Pengemis Pendekar! Sekarang ini, jaman angin tinggi dan rembulan gelap, aku ialah satu penjahat besar tukang mengobarkan api dan membunuh orang! Maka siapa menjadi muridku, dia mesti turut aku menjadi penjahat juga! Apakah kau tidak bakal menyesal?"
Mendengar ini, Siangkoan Thian Ya melengak. Sedang begitu, dari luar rimba terdengarlah samar-samar nyanyiannya Siauw Oen Lan:
"Rembulan di langit mengejar sang Surya.
Nona di bumi mengejar kekasihnya..."
Menyelang nyanyian itu, terdengar panggilan: "Hian Kie! Hian Kie..."
Thian Ya masih berdiri menjublak. Sekarang ini tawarlah hatinya. Tawar untuk gurunya yang lama, untuk hari kemudiannya, terhadap Oen Lan juga. Ia mirip dengan pelembungan air yang pecah musnah.
Leng Hong mengawasi, pada wajahnya tak nampak sesuatu perasaan.
"Benar-benarkah kau tidak bakal menyesal?" tanyanya tawar.
Baru sekarang Siangkoan Thian Ya menjawab, tetap suaranya: "Daripada menjadi orang gagah yang palsu, memang lebih baik menjadi penjahat tukang bunuh orang dan melepas api! Dunia begini rusuh, hitam dan putih bercampur aduk menjadi satu, maka untuk hidup sudah cukup asal kita tidak melakukan yang memalukan hati sendiri! Apakah halangannya menjadi penjahat asal penjahat yang membuatnya gentar hati si manusia licin dan busuk?"
"Akur! Akur!" terdengar timpalannya Pit Leng Hong. "Kepuasannya menjadi satu penjahat pastilah lebih menang daripada satu tjiangboendjin yang namanya saja! Baiklah, mulai hari ini kaulah ahli warisku. Sekarang hendak aku pergi mengambil kitab dan pedangnya In Boe Yang untuk dihadiahkan kepadamu sebagai tanda mata pertemuan kita ini!"
Lantas Hian Kie mendengar suara beradunya tongkat dengan tanah, nyaring dan cepat. Sebentar kemudian, bayangannya Leng Hong lenyap, lenyap juga suara tongkat besinya itu.
Sampai disitu, Hian Kie berlompat keluar dari tempatnya sembunyi.
"Saudara Siangkoan!" ia memanggil, keras. "Kau membikin aku sengsara memikirkanmu!"
Sebenarnya pemuda ini hendak terus menanyakan pengalaman orang. ketika Siangkoan Thian Ya, dengan mata mendelik, dengan membentak, menjawab padanya: "Siapakah yang menghendaki kau memikirkannya? Ada lain orang yang bersengsara karena memikirkan kau, kau tahu?"
Hian Kie melengak disenggapi secara demikian.
Thian Ya menuding, ia membentak pula dengan pertanyaannya: "Entjie Oen Lan memanggil-manggil kau, kau dengar atau tidak?"
"Saudara Siangkoan," berkata Hian Kie membandel, "kau... kau dengar aku..."
Thian Ya tetap tidak memperdulikan.
"Jikalau kau masih ingat aku sebagai sahabatmu, lekas kau cari Oen Lan, untuk mengajak dia bertemu sama aku!" katanya pula. "Aku ingin kamu mengikat perjodohan di depanku, kamu mesti saling berjanji, sesudah itu baru hatiku lega!"
"Di dalam urusan lain, meski juga tubuhku hancur, lebur, tidak nanti aku menampik," berkata Hian Kie, "melainkan di dalam hal ini, aku tidak sanggup menerimanya."
Sepasang alisnya Thian Ya terbangun, kedua tangannya pun mencabut sepasang gaetannya itu hoktjioe siangkauw.
"Aku sudah mengambil putusan untuk menjadi penjahat!" dia berteriak. "Kau begini tidak berbudi terhadap entjie Oen Lan, apakah kau ingin aku membunuhmu supaya habislah pengharapannya entjie itu, supaya dia tidak usah menderita lebih lama karena selalu memikirkan kau? Apakah kau ingin aku membunuhmu supaya aku pun tak usah berduka lagi?"
Sembari berkata begitu, pemuda ini menggeraki gaetannya.
Hian Kie tidak mundur, sebaliknya, ia majukan diri.
"Kenapa kau tidak mau mencabut pedangmu?" Thian Ya tanya.
"Aku menghendaki kau dan entjie Oen Lan tidak bersusah hati!" menjawab Hian Kie. "Untuk itu aku rela terbinasa di ujung gaetanmu!"
Thian Ya menjadi sangat gusar.
"Kau... kau!" serunya, "biarnya mati kau tetap tidak menghendaki entjie Oen Lan? Kenapa kau begini sangat tak mempunyai hati?"
"Sebab hatiku telah aku serahkan kepada lain orang," menyahut Hian Kie, tetap. "Kau hendak menitahkan aku menyerahkan apa kepada entjie Oen Lan?"
Thian Ya melengak.
"Ha, kiranya benar kau telah tergila-gila puterinya In Boe Yang!" katanya kemudian. "Hm! Hm! Kau kena dipincuk gadisnya musuhmu!"
Sekarang Hian Kie yang menjadi gusar. "Kau pandang aku punya So So orang macam apa?" dia membentak, "Siangkoan Thian Ya, oh, Siangkoan Thian Ya, nyatalah aku melihat keliru dalam dirimu!"
Thian Ya heran.
"Apa?"
"Aku lihat kau menyintai entjie Oen Lan, kau bersengsara," jawab Hian Kie, "aku percaya kaulah seorang laki-laki yang menyinta, tetapi sekarang terbukti, kau tidak kenal apa cinta itu!"
Matanya si anak muda bersinar.
"Apakah cinta itu?" ia menyambungi. "Cinta itu melebihkan jiwa sendiri! Cinta tak menghiraukan berhasil atau runtuh, terhormat atau terhina! Cinta ialah hati di tukar, dua hati menjadi satu, orangnya dua, sebenarnya satu! Biarnya bunyi gempa dan langit ambruk, biar angin dan mega berubah warna, cinta itu tetap dan kekal, tak nanti tergeser oleh apa juga!"
Thian Ya berdiam, tetapi otaknya bekerja.
"Ya, apakah terhadap Oen Lan aku tidak memikir demikian?" katanya dalam hati.
Hian Kie berkata pula: "Semenjak aku melihat So So pertama kali, hatiku telah aku peserahkan kepadanya. Seumurku belum pernah aku melihat seorang nona yang putih bersih, yang polos sebagai dia! Dialah yang untuk lain orang rela melupakan diri adalah seorang anak dara, maka itu aku junjung dia seperti aku menjunjung ibuku! Satu hari aku hidup di dalam dunia, satu hari aku melarang orang berkata busuk tentang dirinya! Mengapa kau hendak memaksa aku meninggalkan dia untuk menyintai lain orang?"
"Mungkinkah dia lebih menang daripada Oen Lan?" kata Thian Ya seperti pada dirinya sendiri.
"Bagus!" Hian Kie berseru dan tertawa. "Akhirnya kau mengerti juga sedikit! Kau tahu, di matanya setiap orang, kekasihnyalah orang yang paling cantik manis bagaikan bidadari! Aku menyintai So So seperti kau menyintai entjie Oen Lan! Mengertikah kau sekarang?"
Thian Ya tercengang, lalu dia melemparkan gaetannya, untuk menubruk Hian Kie, untuk dirangkul erat-erat. Dia menangis terseduh-seduh.
Hian Kie tidak menyangka orang demikian nyali besar bisa menangis seperti itu. Tapi ia pun mengerti. Maka, ia menyekal erat-erat kedua tangannya Thian Ya.
"Thian Ya," katanya, perlahan, "jikalau So So menyintai orang yang ke dua, aku pun bisa jadi seperti kau sekarang ini, tetapi So So sangat menyintai aku, maka, taklah ada tenaga yang sanggup memisahkan kami. Thian Ya, jangan kau berduka untuk entjie Oen Lan. Di dalam dunia ini tidak ada lain orang yang menyintai dia seperti kau menyintainya. Ada satu waktu yang entjie Oen Lan bakal membuatnya hatimu tergerak. Jikalau kamu berdua menikah, kamulah orang-orang yang paling berbahagia! Saudaraku, kau jangan memikir apa-apa yang tolol, kau dengar aku. Nah, pergilah kau cari dia!"
Thian Ya menyusuti airmatanya. Tapi ia masih berdiam saja.
"Kau tidak tahu hatinya Oen Lan," katanya kemudian. "Sebenarnya dia cuma memikirkan kau seorang. Habis bagaimana aku harus berbuat? Aku tidak suka memisahkan kamu, aku pun tidak man membikin entjie Oen Lan bersusah hati..."
Ketika itu mendadak ada terdengar suara orang tertawa dingin sambil terus mengatakan: "Eh, anak-anak tolol, kamu menangiskan apa?"
Kedua pemuda itu kaget sekali, hingga keduanya berjingkrak memisahkan diri.
Thian Ya menjadi sangat gusar.
"Aku menangis sendiri, ada sangkutan apakah denganmu?" ia menegur. Ia pun mengangkat kepala, untuk mengawasi orang itu. Ia melihat seorang berusia lebih kurang limapuluh tahun, tubuhnya besar dan kekar, hidungnya bengkung, matanya celong, kedua matanya bersinar tajam. Ia terus mengawasi karena ia merasa pernah bertemu orang ini, entah di mana.
Selagi orang berdiam, orang itu tertawa lebar dan berkata pula: "Kiranya kaulah Siangkoan Thian Ya tjiangboendjin yang baru dari Boetong Pay! Dalam usia begini muda kau sudah menjadi ketua partai, apakah itu masih tidak mempuaskanmu?"
"Kau siapa?" Thian Ya menegur. "Aku tidak suka jadi tjiangboendjin, kau tidak dapat mencampurinya tahu!"
Kembali orang itu tertawa.
"Oh, kiranya demikian sikapmu!" katanya. "Apakah mungkin Tie Wan Tiangloo hendak merampas kedudukan Tjiangboendjin-mu itu untuk diserahkan kepada muridnya sendiri? Kalau benar, kau jangan bersusah hati! Aku dengan gurumu bersahabat rapat, nanti aku tunjang padamu, asal kau suka membantui aku melakukan sesuatu..."
Thian Ya menjadi sangat tidak sabaran, ia hendak mengumbar itu tatkala kembali orang itu tertawa dan terus dia menunjuk Hian Kie seraya berkata: "Kau beritahu aku, siapa ini bocah! Benarkah dia Tan Hian Kie yang dititahkan Tjioe Kong Bie untuk mencari In Boe Yang? Tahukah apa yang dia omongkan dengan Boe Yang? Masih ada lagi seorang lain yang bernama Tjio Thian Tok, apakah benar dia pun telah datang ke mari mencari Boe Yang itu? Aku tahu kau telah datang ke rumahnya In Boe Yang, untuk meminta pulang kitab ilmu pedang, maka di dalam selama dua hari, kau mesti berada di rumahnya si orang she In. Apakah yang kau lihat? Apakah yang kau telah dengar? Lekas kau tuturkan padaku!"
Hian Kie sendiri berdiam saja, matanya mengawasi orang itu, maka lekas sekali ia mengenalinya. Ia terperanjat. Orang ini bukan lain orang hanya itu orang yang malam-malam pulang bersama Boe Yang, yang minta Boe Yang menyingkirkan semua orang bekas sebawahannya Thio Soe Seng. Dialah komandan kepala dari Kimie wie, itu pasukan pengawal kaisar Beng, ialah Lo Kim Hong. Maka berpikirlah ia: "Ketika itu malam dia turun gunung, kebetulan Tjio Thian Tok dan Tjit Sioe Toodjin pun turun gunung bersama, saling susul, maka mungkin sekali dia dapat melihat Thian Tok. Rupanya dia takut menemui Thian Tok, atau belakangan mungkin dia berbalik pikir, mungkin dia menyangka Thian Tok mempunyai hubungan sama Boe Yang, maka dia batal pergi terus hanya balik kembali, untuk membuat penyelidikan. Aku sendiri seorang muda, yang baru pertama kali ini muncul di dunia kangouw, namaku tidak terkenal, kenapa dia tahu aku?"
Hian Kie menduga benar separuhnya, separuhnya lagi tidak. Sebetulnya secara diam-diam ia telah dikuntit oleh seorang gagah lain dari istana kaisar. Sebabnya ialah:
Tjoe Goan Tjiang sangat malui orang-orang sebawahannya Thio Soe Seng, maka itu di samping menugaskan Lo Kim Hong, ia mengirim orangnya yang lainnya lagi. Tugasnya sama, ialah membikin penyelidikan. Tjioe Kong Bie itu adalah kepala pasukannya Thio Soe Seng di bagian Selatan. Di luar tahunya Kong Bie sendiri, di rumahnya ada mengeram mata-matanya pemerintah, maka itu, ketika Tan Hian Kie diberi tugas menyatroni In Boe Yang, rahasia mereka lantas saja bocor. Syukur untuk Hian Kie, ia menunggang kuda jempolan, malah ia berangkat dua hari terlebih dulu, ia menjadi tidak kena disusul. Untuk menyusul ia, Tjoe Goan Tjiang menugaskan tiga jago lainnya dari istana.
Kebetulan sekali, Lo Kim Hong bertemu sama tiga rekannya itu setibanya ia di mulut gunung. Karena ini Kim Hong jadi mendapat tahu halnya Hian Kie. Maka juga ia naik pula ke gunung, ke satu untuk mencari tahu halnya Tjio Thian Tok, kedua guna mencoba membekuk ini pemuda she Tan guna mengorek keterangan dari mulutnya.
"Hak apa kau mempunyai maka kau memaksa aku bicara tentang dia!" tanya Thian Ya gusar.
"Bagus benar, ya!" Kim Hong membentak. "Apakah kau tidak ingat siapa aku ini?"
Tapi sekarang Thian Ya pun sudah ingat dan mengenalinya.
"Kaulah Lo Kim Hong yongtjiehoei dari Kimie wie!" Ia menyahuti. "Guruku mau memandang muka tetapi aku tidak!"
Lo Kim Hong tertawa.
"Kedudukan sebagai tjiangboendjin belum tetap, apakah kau tidak ingin aku menunjangnya?" ia tanya. "Kau telah ketahui aku siapa, maka mustahil kau tidak tahu siapa ini sahabatmu? Dialah turunan sisa orang-orangnya Thio Soe Seng! Dia telah bertemu denganku, mana dapat aku melepaskannya? Jikalau kau menuturkan segala apa padaku, bukan saja kau akan berjasa terhadap pemerintah agung, juga kedudukanmu sebagai tjiangboendjin dari Boetong Pay tidak bakal ada orang yang berani ganggu! Ini namanya satu kali bergerak mendapatkan dua hasil berbareng! Bukankah ini bagus sekali untukmu?"
Thian Ya menjadi bertambah-tambah gusar, hingga tak dapat ia mengendalikan diri lagi.
"Jahanam, tutup rapat mulutmu!" ia mendamprat. "Aku Siangkoan Thian Ya, apa kau sangka aku si penjual sahabat untuk pangkat besar?"
Lo Kim Hong tidak menjadi gusar, ia bahkan tertawa lebar.
"Kau benar-benar seorang yang masih hijau!" katanya, mengejek. "Sekali saja aku memancingnya, kau kena makan umpan! Benar saja bocah ini Tan Hian Kie adanya!"
"Memang aku Tan Hian Kie, habis kau mau apa?" Hian Kie menantang, "Jikalau kau hendak bicara sama aku, bicaralah! Saudara Siangkoan, urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau, kau pergilah!"
Sengaja Hian Kie membilang demikian, sebab maksudnya ialah untuk membikin Thian Ya dapat membebaskan diri. Mengenai dirinya sendiri, ia hendak melihat gelagat. Ia tahu Lo Kim Hong lihay. Bukankah dia salah seorang djago nomor satu dari Tjoe Goan Tjiang? Bukankah In Boe Yang pun menghormati dia? Pasti dia tak kalah kosen daripada Boe Yang. Tapi ia tidak takut.
Ditantang secara begitu, Lo Kim Hong tertawa mengejek.
"Aku tidak percaya kau dapat bicara dengan jujur, bocah!" katanya. "Siangkoan Thian Ya, kau pikirlah masak-masak! Untuk hari depanmu yang penuh dengan pengharapan besar, aku percaya kau bakal tidak mendustai aku!"
Selagi orang membuka mulutnya, Siangkoan Thian Ya telah menjumput gaetannya.
"Satu laki-laki tidak dapat diperhina!" ia berseru. "Binatang, kau anggap aku sebagai satu penjual sahabat? Sungguh kau sangat menghina aku! Aku mesti mengadu jiwa denganmu! Saudara Hian Kie, kau mempunyai tugasmu, kau pergilah!"
Sebaliknya daripada mengangkat kaki, pemuda ini justeru membela!"
Lo Kim Hong tertawa pula.
"Sungguh satu sahabat sejati!" ia mengejek. "Bocah-bocah, kamu berebut mengantarkan jiwa, bagus sekali! Sekarang kamu tidak usah saling berebut, kamu berdua tak dapat pergi lagi!"
Perkataan jago dari istana ini diikuti gerakan tubuhnya dengan kedua tangannya menyambar, tangan kiri kepada Hian Kie, tangan kanan kepada Thian Ya. Ia mau membekuk dua anak muda ini, untuk dikompes, guna mengorek keterangannya.
Siangkoan Thian Ya menyerang dengan gaetannya, tetapi terbentur tangan Kim Hong, sepasang gaetan itu temental balik, tangan Kim Hong itu menyambar terus ke dada. Thian Ya kaget tetapi ia tidak mundur, bahkan dia maju terus, sepasang gaetannya digeraki bersilang.
Inilah Lo Kim Hong tidak sangka, ia menjadi bersangsi. Biar bagaimana, Thian Ya ada tjiangboendjin dari Boetong Pay, kalau ia membinasakannya, ia akan menanam bibit permusuhan hebat dengan partai yang kenamaan itu. Maksudnya pun cuma hendak membekuk pemuda ini, guna mengorek keterangannya perihal Tan Hian Kie.
Selagi Kim Hong beragu-ragu itu, Hian Kie yang telah berkelit dari sambaran, sudah menghunus pedangnya, dengan itu ia membalas menyerang.
Tentu sekali, jago istana itu mesti melindungi dirinya. Di luar tahunya, selagi ia berkelit dari ujung pedang, gaetan sudah menyambar pula, maka kali ini, tidak ampun lagi, tangan bajunya yang kiri kena dirobek pecah. Ia menjadi panas hatinya, hingga wajahnya menjadi muram.
"Baiklah, kedua binatang, kamu mencari mampusmu!" ia berseru. "Tuan besarmu akan membikin kamu, hidup tidak, mampus pun tidak!"
Liehay jago dari istana ini. Ia menangkis pedang Hian Kie, tiga jarinya diluncurkan terus, untuk mencengkeram nadi orang.
Siangkoan Thian Ya hendak menolongi sahabatnya, sebab tidak ada jalan lain, ia menimpuk dengan gaetannya yang kiri, hingga bagaikan bianglala, gaetan itu melayang ke punggung Kim Hong.
Bukan main gusarnya pahlawan kaisar itu. Ia memutar tangannya dan menanggapi gaetan, untuk dicekal.
"Oh bocah tidak tahu mampus!" ia membentak. Ia mengerahkan tenaganya, membikin gaetan di tangannya itu menjadi patah dua.
Sementara itu Tan Hian Kie telah lolos dari bahaya.
Kim Hong tidak berhenti hanya dengan bentakannya itu, dalam panas hati, ia menyerang Thian Ya, ia menimpuk dengan sepotong gaetan orang. Maka suatu sinar kuning emas terbang ke arah anak muda she Siangkoan itu!
Hian Kie menolongi sahabatnya, sambil berlompat, ia sampok gaetan itu.
Kedua senjata bentrok satu sama lain, diantara suara nyaring, lelatu api pun muncrat berhamburan. Gaetan itu jatuh ke tanah, tetapi pun pedang Hian Kie gompal! Bahkan Hian Kie merasakan telapakan tangannya nyeri sekali.
Thian Ya kaget.
"Coba Hian Kie tidak menolongi, pastilah punggungku ditembusi gaetanku itu," pikirnya. Tapi walaupun demikian, ia tidak jadi mundur, serentak bersama kawannya, ia maju pula. Ia menggunai gaetan kanan dibantu dengan tangan kirinya. Hian Kie tetap menggunai pedangnya.
Mereka ini muda tetapi mereka telah punyakan masing-masing kepandaiannya. Dalam gebrakan pertama mereka tidak berdaya, selanjutnya mereka berlaku waspada.
Thian Ya mengeluarkan ilmu Keluarga Bouw, ia menggunai jurus-jurusnya Tok It yang tak pernah diajari kepada lain orang, maka itu selama itu selama kira duapuluh jurus ia dapat bertahan. Hian Kie pun mengeluarkan kebisaannya.
Lo Kim Hong mendongkol sebagai jago nomor satu dari istana ia dipermainkan kedua bocah, karena itu, ia berkelahi tidak dengan setengah hati lagi. Ia bertangan kosong tetapi tangannya dapat digunai sebagai senjata tajam. Di antara pedang dan gaetan, ia mencoba merangsak. Menghadapi Thian Ya, ia masih menimbang-nimbang, terhadap Hian Kie, ia menurunkan tangan dari kematian.
Lagi beberapa jurus, Lo Kim Hong dapat mengerjakan kedua tangannya. Dengan tangan kiri ia menahan lajunya Thian Ya, dengan tangan kanan ia menyengkeram pundak Hian Kie di mana ia mencari tulang piepee yang berbahaya.
Celaka kalau pundak si anak muda berhasil menjadi sasaran, selainnya tertawan, ilmu silatnya juga bakal termusnah.
Thian Ya melihat itu, ia menjadi kalap. Ia mainkan gaetannya untuk mendesak, guna menolong sahabatnya, Tapi ia tidak berdaya, ia terus terhalang. Akhirnya ia putus asa, ia menjadi nekat. Untuk kedua kalinya, ia menyerang dengan menimpukan gaetannya itu yang tinggal satu-satunya!
Jeriji tangannya Kim Hong baru merabah bajunya Hian Kie ketika ia mendengar desiran angin hebat, terpaksa ia menggeser tubuhnya, untuk berkelit, berbareng dengan mana, Hian Kie pun mendak, hingga dia lolos dari cengkeraman, sedang di lain pihak, dari bawah dia menyontek keatas dengan pedangnya. Dia tidak berhenti meski bahaya baru lewat, dia tak mengambil mumat musuh sangat lihay.
Kim Hong benar-benar lihay, sambil berkelit ia menanggapi gaetan, setelah ia dapat menangkap, mengerahkan pula tenaganya, untuk mematahkan gaetan itu, setelah mana, tangan kirinya terus dipakai menyampok.
Siangkoan Thian Ya menjerit, tubuhnya roboh, bahkan ia lantas pingsan.
Hian Kie terkejut, apapula ketika Kim Hong dengan jari tangannya menekan pedangnya, untuk dicegah sontekannya, sedang dengan sisa gaetan, dia menghajar ke dada orang di mana ada jalan darah kieboen.
Berbareng dengan saat sangat berbahaya untuk Hian Kie itu, di antara mereka terdengar suara tertawa mengejek yang dingin, suaranya seorang wanita, yang disusul teguran: "Siapa yang sudah berani main gila di depan rumah Keluarga In?" Kata-kata itu juga diikuti terbangnya sebutir batu, yang tepat mengenai gaetan yang digunakan Kim Hong sebagai senjatanya. Karena itu, nyimpanglah itu serangan yang mengancam jiwa.
Kim Hong menjadi terkejut, ia lantas menoleh. "Oh enso In!" ia berseru. "Enso, bocah ini ialah yang hendak membunuh In Toako!"
Hian Kie, yang lolos dari bahaya, juga berpaling kepada penolongnya. Ia mengenali Nyonya In Boe Yang, karena mana ia merasa bahwa ia seperti tengah bermimpi.
Sepasang alisnya Nyonya In bangun berdiri, kedua matanya bersinar, benar ia nampak berduka, akan tetapi sikapnya keren. Itulah disebabkan kemurkaannya.
"Aku tidak perduli dia siapa!" ia kata dengan dingin. "Aku larang kau turun tangan di hadapanku!"
Kim Hong melengak. Akhirnya ia dongak dan tertawa lebar.
"Aku menyangkanya dia musuh dari In Toako, aku tidak duga bahwa enso begini melindungi dia!" ia berkata. "Dengan begini nyatalah aku si orang she Lo terlalu usilan..."
Belum berhenti suaranya pahlawan kaisar ini, tubuhnya sudah mencelat menghilang di dalam rimba yang lebat...
Hanya sekejab, air matanya Nyonya In berubah pula. Tak lagi ia sekeren tadi. Kedukaannya pun berkurang. Bahkan sekarang ia bisa bersenyum. Dengan mata tajam ia menatap Hian Kie, sinar matanya menunjuki hati yang bunga.

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang