PENUTUP : Semua terbawa hanyut... (Tamat)

1.6K 22 0
                                    

"Sudahlah, jangan sebut-sebut lagi kitab pedang itu!" berkata Siangkoan Thian Ya. "Siapa yang memain dengan itu, dia tidak ada akhirnya yang beruntung! Soehoe, paling benar kita lekas meninggalkan ini tempat hantu!"
Pit Leng Hong membuka mulutnya tetapi suaranya sangat perlahan, dengan susah payah barulah Thian Ya mendapat dengar juga. Ia, menjadi kaget sekali.
"Soehoe!" katanya, suaranya gemetar. "Apa soehoe bilang? Apakah soehoe pun terluka It Tjie Sian dari In Boe Yang itu? Apakah soehoe pun mau pergi?"
Pit Leng Hong mengangguk, lalu ia mengasih lihat senyuman sedih, tangannya diangkat, dipakai menunjuk ke rumah keluarga In. Tidak lama, atau parasnya seperti membeku, ketika Thian Ya mengulur tangannya, untuk meraba, tubuh guru itu sudah tidak ada napasnya lagi...
Mendadak saja anak muda ini merasai dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia, mau menangis tetapi suaranya tak mau keluar. Tidak ada jalan lain, ia menyingkapi tumpukan rumput, ia menggali tanah, lalu di dalam situ ia letaki tubuh gurunya, untuk diuruk, untuk ditutupi...
"'Tan Teng Hong! Tan Teng Hong!" mendadak Thian Ya berseru-seru sendirinya.
Itulah nama yang ia rasanya kenal baik. Siapakah pernah menyebutnya?
Sekonyong-konyong terdengar suara tajam di dalam rimba, lalu sebuah tubuh orang terlihat mencelat, lari ke arah rumah keluarga In.
"So So!" berteriak Thian Ya, yang dapat melihat tubuh orang itu.
In So So tidak berpaling, dia lari terus. Rupanya dia telah mendapat dengar perkataannya Pit Leng Hong.
Heran Thian Ya.
"Kalau dia telah bersembunyi di sini dan mencuri dengar pembicaraan kita, kenapa dia tidak mau menemui aku?" Thian Ya tanya dirinya sendiri.
Hati anak muda ini menjadi goncang, tubuhnya menggigil. Lantas saja ia lari, untuk menyusul In So So...
***
In Boe Yang menanti sekian lama, puterinya masih belum kembali. Ia mementang jendela dan pintunya, untuk membuatnya sinar rembulan memancar masuk, masuk bersama bayangannya pohon bwee, ke dalam kamar tulisnya itu.
Itu waktu si Puteri Malam sudah berada ditengah-tengah langit, menandakan hari sudah jauh malam. Angin bersiur-siur, membawa harumnya bunga bwee.
Boe Yang berdiam, di otaknya terkilas segala peristiwa yang telah lalu. Ya, segala macam perbuatannya, yang baik, yang buruk. Bagikan kilat, semua itu datang dan pergi. Dalam keadaannya itu tidak keruan rasa, ia mendengar tindakan kaki yang enteng, hingga ia terperanjat.
"So So!..." serunya. Atau: "Ah!... Kau..."
Itulah bukannya So So, puterinya, hanya seorang laki-laki yang tubuhnya kasar, yang usianya sudah limapuluh tahun kira-kira. Mukanya orang ini ada tapak luka goresan, kumisnya pendek dan kaku.
In Boe Yang telah mengawasi, segera ia mengenalinya.
"Kaulah Siauw Koan Eng, pang-tjoe dari Hoeiliong Pang!" katanya.
Orang itu mengangguk.
"Ingatanmu masih bagus!" sahutnya. "Ketika kau menikah sama Siotjia kami, aku pernah gajak-gijik membantui kamu, aku telah bantu mengatur pesta! Hanya, kau sekarang telah menjadi menantunya keluarga Bouw, kau bukan lagi menantu keluarga Tan! Ha, sungguh sukar yang kau masih ingat kami!"
Itulah kata-kata yang bernada sindiran.
"Habis kau mau apa?" menanya Boe Yang, suaranya dingin.
Siauw Koan Eng, pangtjoe atau kepala dari Hoeiliong Pang, Kawanan Naga Terbang, menyahuti dengan sabar.
"Maksud kedatanganku katanya ke satu untuk meminta kitab ilmu pedang, dan ke dua guna meminta orang."
Boe Yang dongak dan tertawa lebar.
"Kembali datang seorang yang mau minta kitab ilmu pedang!" katanya nyaring. "Ha, apakah kau pun tepat memiliki kitab ilmu pedang itu?"
Koan Eng tetap berlaku tenang.
Jikalau Siotjia kami masih belum meninggal dunia, kitab ilmu pedang itu memang mesti kembali padanya," ia menjawab, "tapi karena kau sekarang ada menantunya keluarga Bouw, sedang kitab ilmu pedang keluarga Bouw itu dapatnya boleh mencuri dari keluarga Tan, mana dapat kitab itu tetap berada di tangannya menantu dari musuhnya Tan Teng Hong? Tan Teng Hong itu mempunyai hanya aku murid satu-satunya!"
In Boe Yang tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya.
"Kitab ilmu pedang itu pun tidak dapat aku membawanya ke liang kubur, meski begitu, tidak dapat itu dipulangi kepada kau! Sekarang tentang orang! Siapakah itu yang kau hendak minta dari aku?"
"Pit Leng Hong!" sahut Koan Eng singkat.
Boe Yang bergidik dengan tiba-tiba. Cuma sejenak, lantas ia tertawa pula berkakakan.
Siauw Koan Eng menjadi gusar.
"In Boe Yang, kau tertawakan apa?" dia membentak.
"Aku tidak menyangka," menjawab Boe Yang, "Pit Leng Hong si siluman begini aneh tetapi masih mempunyai sahabat akrab sebagai kau yang kesudian mengurus jenazahnya!"
"Apa?" tanya Koan Eng heran. "Apakah Pit Leng Hong telah mati?"
In Boe Yang menyahuti dengan tawar: "Pit Leng Hong telah kena aku hajar dengan Ittjie Siankang, telah tertutup tujuh jalan darahnya, maka aku percaya dia tidak bakal sanggup keluar lagi dari gunung ini, jikalau kau mencari dia, tak usah sampai satu harian, asal kau mengitari tempat ini seputarnya sepuluh lie, pasti kau bakal menemui mayatnya!"
Matanya Koan Eng menjadi gelap secara mendadakan. Berkumpul menjadi satulah kedukaan dan kemurkaannya. Sekonyong-konyong ia tertawa bagaikan kalap.
"In Boe Yang, kau... kau bagus sekali sudah menurunkan tangan jahatmu itu!" ia berseru, "Pit Toako, ah Pit Toako! Ingatkah kau dulu hari telah menerima pesan dari guru kita yang baik hatinya dan bagaimana kita telah bersumpah, biar tubuh kita hancur lebur, kita akan cari dapat kitab Tat Mo Kiampouw ini? Kau benarlah seorang ksatria, kau menetapi sumpahmu! Hanya tidaklah aku sangka, bukannya kau mati di tangannya itu bangsa tua she Bouw, kau justeru terbinasa di tangan mantu yang jempolan dari Tan Teng Hong, di tangannya In Boe Yang! Oh, guruku yang baik dan kau Pit Toako, mana dapat kamu di dunia baka memeramkan matamu? Pit Toako, kau orang luar tetapi kau mendahului aku mati, apakah dengan begitu tidak kecewa aku yang menjadi murid partaiku?"
Hebat suaranya Koan Eng ini, untuk kupingnya Boe Yang, itu ada terlebih hebat daripada cacian. Tapi Boe Yang pun baru sekarang mengerti duduknya hal. Katanya dalam hatinya: "Aku menyangka Pit Leng Hong dan mertuaku tidak sangkut pautnya satu sama lain, aku heran kenapa di antara mereka ada sakit hati yang begini hebat, tidak tahu semua itu kiranya disebabkan ini kitab ilmu pedang..."
Dalam murkanya itu, Siauw Koan Eng menatap dengan mata tajam.
In Boe Yang pun mengawasi, hanya dengan dingin dia terus menanya: "Siauw Koan Eng, apakah benar-benar kau hendak menempur aku?"
Koan Eng tidak takut, dia menyambut tantangan itu.
Sebenarnya Koan Eng muncul untuk mencari puterinya. Setelah dia mengutus Tie Eng berempat, dia mendapat kabar bahwa Singkoan Thian Ya ada bersama seorang bernama Tan Hian Kie, orang yang katanya dicari pemerintah sebab ia dipandang sebagai pemberontak. Dia menerima kabar ini dengan hati berkuatir. Dua-dua Thian Ya dan Hian Kie itu sahabat-sahabat puterinya. Sekarang Hian Kie lagi dikepung-kepung pahlawan-pahlawan kaisar. Inilah berbahaya. Dia kuatir puterinya kena dipincuk Thian Ya. Kalau itu sampai terjadi, ada kemungkinan puterinya nanti dapat celaka di tangan pahlawan-pahlawan kaisar itu. Dia merasa pasti, Tie Eng berempat tidak bakal sanggup melindungi puterinya. Maka dia melakukan perjalanan dengan cepat-cepat. Sebenarnya ia tidak tahu yang In Boe Yang tengah bersembunyi di gunung itu. Hanya, setelah memasuki gunung, secara kebetulan saja ia mendapatkan tanda-tanda bekas tongkatnya Pit Leng Hong. Dengan Pit Leng Hong itu sudah lebih dari sepuluh tahun ia tak bertemu, dari itu melihat tanda tongkat itu, ia mau percaya sahabat itu berada di dalam ini gunung. Pula ia mau percaya, mesti ada sebabnya kenapa sahabat itu berada di gunung ini. Oleh karena itu, ia lantas mengikuti tanda-tanda tongkat itu, untuk mencari sahabatnya itu. Di luar dugaannya, ia menyusul sampai di rumah keluarga In. Maka bertemulah ia dengan In Boe Yang. Tapi, yang terlebih tidak disangka, di sini ia mendengar kabar buruk tentang Pit Leng Hong, dari hal kematiannya itu sahabat karib. Ia adalah muridnya Tan Teng Hong, walaupun murid tidak resmi, dan Tan Teng Hong telah membantu ia hingga ia menjadi pemimpin utama kaum Rimba Hijau di lima propinsi Utara, dari itu, tentu sekali ingat kebaikan dan kecintaan gurunya itu. Ia pun, karenanya, menjadi ingat pesan gurunya itu mengenai kitab ilmu pedang. Pula ia ingat Pit Leng Hong sebagai orang luar tetapi Leng Hong telah mengurbankan dirinya. Di lain pihak lagi, ia muak terhadap Boe Yang. Orang she In ini ada mantu keluarga Tan, kenapa dia melupakan ikatan famili itu? Kenapa, selain sudah menikah dengan puterinya Bouw Tok It, dia juga membinasakan Pit Leng Hong? Maka itu naiklah darahnya, ia lupa pada mati-hidupnya! Demikian: "Sekalipun Bouw Tok It tak aku takut, kenapa aku mesti jeri terhadapmu?" dia berteriak, "Baiklah! Jikalau kau benar ada mempunyai kepandaian, nah kau binasakanlah aku sekalian!"
Dia menatap muka orang hingga dia dapat melihat bekas luka di muka Boe Yang, luka bekas goresan pedang.
Boe Yang mengawasi dengan sikapnya yang dingin, yang memandang enteng.
"Kau hendak menuntut balas untuk Pit Leng Hong?" katanya. "Nah, inilah ketikanya yang paling baik! Eh, mengapa kau masih tidak hendak turun tangan?"
Siauw Koan Eng berseru keras, berbareng dengan itu sebelah tangannya di angkat dan dikasih melayang turun dengan jurusnya "Menggempur gunung Hoa San," mengarah batok kepala sebagai sasaran. Ia tahu benar ia bukanlah tandingan In Boe Yang, maka juga ia telah mengerahkan semua tenaganya, untuk menyerang hidup atau mati, atau sedikitnya terluka bersama.
Atas ancaman bahaya itu, In Boe Yang tidak bergerak, ia terus duduk diam, tanpa menangkis, tanpa berkelit, wajahnya tak wajar.
Menampak itu, Koan Eng menjadi heran, hingga ia batal menyerang terus, ia mengawasi. Maka segeralah terlihat olehnya perubahan air mukanya Boe Yang itu, yang sekarang parasnya menjadi matang biru tipis dan sinar matanya menjadi guram, mirip matanya bangkai ikan.
"Ah!" ia berseru akhirnya. "Kau pun terhajar Hanim Tjitsat tjiang dari Pit Leng Hong?"
"Maka juga inilah yang aku bilang ketikanya yang paling baik untukmu!" menjawab Boe Yang sambil tertawa menyeringai. "Kenapa kau masih tidak hendak turun tangan? Jikalau kau berhasil membunuh aku, aku tanggung namamu bakal menggemparkan dunia Rimba Persilatan, dan semenjak hari ini hingga seterusnya, kaulah orang gagah satu-satunya di kolong langit ini!"
Koan Eng bersangsi bukan main, tangannya itu berhenti di atasan kepalanya jago tua ini. Ia sendiri ada seorang kangouw asli, ia menganggapnya dirinya gagah, karena itu mana dapat ia menurunkan tangan kepada seorang yang tak bersedia untuk melawannya, apapula lawan itu adalah seorang kosen yang tengah menderita luka parah? Cuma, jikalau ia benar-benar mengasih lewat ini ketika yang baik, di belakang hari, ia pasti akan mengalami kesulitan. Bagaimana kapan nanti In Boe Yang sudah sembuh dari lukanya ini? Siapa nanti dapat mengalahkan padanya?
Tidak dapat Koan Eng bersangsi lama-lama.
Akhirnya ia berseru: "In Boe Yang, jangan kau memancing kemarahanku! Biarlah dunia mentertawakanku, hari ini mesti aku membinasakan kau?satu manusia tak berbudi!" Sambil berseru begitu, ia geraki pula tangannya.
Tepat di saat yang memutuskan itu, mendadak terdengar suara seruling, yang mendatang dari tempat yang jauh...
Mulanya, halus suara itu, lalu nadanya berubah menjadi tinggi, lalu iramanya berubah, seperti girang tercampur duka, bagaikan orang menangis tersedu-sedu, mirip tangisan janda yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya. Atau di lain saat lagi, suara itu bagaikan es membeku...
Selagi suara seruling itu merayu-rayu, Koan Eng pun menjadi bermuka pucat sekali, karena di hadapannya, ia menampak tubuh In Boe Yang bergemetar keras, menggigil seluruhnya. Mana dapat ia menghajar lawan dalam keadaan seperti itu?
Sekonyong-konyong Siauw Koan Eng menjerit tajam, tubuhnya berlompat ke luar, sedang In Boe Yang tetap duduk berdiam bagaikan patung batu yang tak bernyawa.
Tiba di luar, Koan Eng memanggil nyaring dengan suara menggetar: "Toa... toasiotjia, inikah impian belaka?...."
"Ya, adakah ini impian?" demikian terkilas di otaknya In Boe Yang.
Itulah suara seruling yang dikenal baik, yang mengingatkan Boe Yang pada saat-saat dari tigapuluh tahun yang telah lampau. Ketika itu ia bersama Tan Soat Bwee main-main dengan gembira dan asyik, Soat Bwee tengah gemarnya meniup seruling...
Akan tetapi ini bukanlah impian, ini adalah kenyataan.
Tidak lama maka terdengarlah satu suara, suara yang menggoncangkan hati.
"Bukan, inilah bukannya impian... Yang benar ialah aku telah kembali... Kau datang ke mari, apakah kau mau!" demikian suara itu, jawaban yang merupakan pertanyaan juga.
"Aku... aku..." sahut Siauw Koan Eng. "Kitab ilmu pedang... Pit... Pit Leng Hong... Dia bersama aku telah menerima pesan terakhir dari ayahmu untuk mendapatkan pula Tat Mo Kiampouw, untuk dikembalikan padamu. Pit... Pit Leng Hong... dia mati karena mencari kitab ilmu pedang itu..."
Tidak tedas kata-katanya Koan Eng, suaranya pun menggetar, suatu tanda tegangnya perasaannya. Kalau ia berkuatir, In Boe Yang sebaliknya ketakutan sangat, dia sampai merasakan telah hilang kesadarannya...
Dalam seumurnya, In Boe Yang telah mengalami entah berapa banyak ancaman bencana, setahu ia sudah menghadapi berapa banyak musuh-musuh yang tangguh, tetapi belum pernah ia merasakan seperti sekarang ini, begini lemah rasanya. Seumurnya belum pernah ada seorang seperti wanita ini yang membuatnya demikian takut. Inilah wanita yang ia pernah menyintainya dengan sangat, tetapi sekarang dia jerikannya melebihkan Boetong Ngoloo, Pit Leng Hong atau lain-lain musuhnya lagi yang tangguh-tangguh. Tidak pernah satu hari lewat yang ia tidak ingat wanita ini tetapi sekarang si wanita muncul, ia menjadi takut terhadapnya!
Di luar terdengar suaranya Siauw Koan Eng, samar-samar dan menggetar: "Siotjia, karena kau sudah datang, tidak usahlah aku mencapaikan diri lagi meminta kitab ilmu pedang itu, cuma sayang kau telah datang terlambat satu tindak, karena kitab itu, Pit Leng Hong sudah menutup mata..."
"Apa, Pit Leng Hong?" bertanya si wanita. "Apakah dia Giokbin Kayhiap si Pengemis Mulia Bermuka Kumala? Ah, kitab ilmu pedang ini entah telah mencelakai berapa banyak orang..."
Wanita itu tidak begitu berduka mendengar kematiannya Pit Leng Hong, sebab dia datang untuk suatu urusan lain.
Siauw Koan Eng menghela napas perlahan. Ia ketahui juga sedikit tentang hatinya Pit Leng Hong, maka ia tidak menyangka si wanita yang Leng Hong cintai itu, sedikit juga tidak mendapat tahu hati orang, bahkan namanya hampir telah dilupakannya...
"Kalau begitu, Siotjia, biarlah aku pergi lebih dulu," kata ia pula. "Aku masih hendak menolong Pit Leng Hong mengurus jenazahnya itu."
"Baiklah, kau boleh pergi," menyahut si wanita, yang dipanggil Siotjia, atau nona, itu. "Anak perempuanmu baru saja bersama-sama Tie Eng dan Tie Pa sekalian pergi turun gunung..."
"Oh, begitu!" kata Koan Eng agak kaget. "Jadi benar Oen Lan ada di sini?"
Habis berkata, dia melompati tembok pekarangan, dia lantas meninggalkan rumah In Boe Yang itu.
Tindakan Koan Eng yang berat dan cepat itu dirasakan Boe Yang seperti menginjak hatinya.
Dengan kepergiannya Koan Eng, maka di situ tinggallah si wanita seorang diri. Suara tindakannya lantas saja terdengar perlahan. Dia tengah berjalan masuk ke dalam kamar. Dia memegang seruling kumala di tangannya, bajunya putih laksana salju. Di matanya Boe Yang, dia sama seperti dahulu hari ketika dia bertindak mundar-mandir di antara pohon-pohon bwee itu. Ialah habis meniup sebuah lagu, lantas dia berjalan-jalan, perlahan-lahan. Sudah duapuluh tahun mereka berpisah hidup seumpama bercerai mati, sekarang wajahnya tetap tidak berubah, melainkan gerak-geriknya beda, tidak seperti dulu lagi itu. Dahulu dialah seorang nona yang lincah, tetapi sekarang alisnya yang kecil berkerut karena kedukaannya. Ia tidak berani mengawasi dia, ia tidak berani membentrok sinar mata dia itu sinar mata yang terlebih tajam daripada pedang Koengo kiam, yang membuatnya orang tak dapat mengawasinya. Wanita itu berjalan terus, bertindak hingga di depannya sekali.
Siapakah wanita ini? Dialah Tan Soat Bwee, isteri yang terdahulu, atau isteri yang pertama dari In Boe Yang. Benarkah itu? Bukankah dulu hari itu In Boe Yang telah menyaksikannya dengan matanya sendiri mayat isterinya itu telah digulung gelombang sungai Tiangkang dan dibawa hanyut pergi? Tetapi sekarang dia muncul di sini dengan tidak kurang suatu apa, dengan sehat walafiat.
"Boe Yang, kau baik," katanya. "Ya, kau baik..."
Boe Yang berseru.
"Soat Bwee! Kau... kau..."
Dia berlompat maju, tetapi dia tercegah mata dingin dari wanita itu.
Keduanya berdiri diam, sinar mata mereka bentrok.
Cinta dan penasaran mengaduk menjadi satu dalam hati Soat Bwee. Hanya lewat beberapa saat, baru dia berkata, perlahan sekali: "Kau tentunya telah menyangka sudah lama aku telah menutup mata, hanya sayang Thian tidak sudi menuruti pengharapanmu itu. Aku masih belum mati. Apakah kau putus asa? Aku tahu sekarang ini kaulah ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, maka itu kau hunuslah Koengo kiam, kau boleh bunuh pula padaku!"
"Soat Bwee! Soat Bwee!" kata Boe Yang, suaranya bergemetar. "Sudahlah, kau jangan mengucapkannya lagi..."
Tapi Tan Soat Bwee tertawa dingin.
"Haha! In Boe Yang yang menganggapnya dirinya orang gagah, ahli pedang yang terbesar, juga tahu takut! Pada duapuluh tahun dulu, kau telah joroki aku tercebur ke dalam sungai Tiangkang, itu waktu kau toh tidak nampaknya jeri, maka kenapa sekarang kau takut?"
Boe Yang bermuka pias bagaikan mayat, tubuhnya menggigil, mulutnya digeraki, seperti ia hendak mengatakan sesuatu, ia telah mencobanya, tetapi gagal. Kata-katanya itu tercegah suaranya Tan Soat Bwee, suara yang mengandung kemarahan.
"Apakah kau takut aku bicara?" demikian isteri itu. "Aku justeru hendak membuka mulutku! Ketika dulu hari itu kau joroki aku ke dalam sungai Tiangkang, tahukah kau apa yang hatiku pikir itu waktu? Itu hari junjungan kita bertempur mati-matian dengan Tjoe Goan Tjiang, kau bersama aku telah merampas sebuah perahu kecil, di antara gelombang dahsyat, di antara hujan anak panah, kita menerjang keluar. Aku telah terkena panah beracun dari musuh, napasku tinggal empas empis. Ketika itu aku berpikir, walaupun kau sering membilangi aku bahwa kau ingin hidup dan mati bersama aku, hatiku tidak tega mengajak kau mati bersama... Aku melihat kau terluka, sedang itu waktu perahu kita hampir kena dicandak musuh... Ketika itu aku merasakan sangat manis, aku berani bersumpah kepada Thian?ketika itu aku menyintai kau lebih daripada aku menyintai diriku sendiri, lebih berlipat seratus kali, seribu kali! Ketika itu aku menguatkan diriku, aku pergi ke luar perahu, niatku untuk terjun ke dalam sungai, supaya kau dapat terluput tak kena dicandak musuh. Dan kau... adalah di itu waktu, kau telah muncul di belakangku... Aku menyangka kau dapat menerka hatiku, kau hendak mencegah aku, tetapi siapa tahu, kau justeru menolak punggungku, kau menolak keras membuatnya aku tercebur ke dalam gelombang sungai Tiangkang itu! Haha, In Boe Yang! Coba kau terlambat sedikit saja menjoroki aku, pasti sudah aku telah berlompat ke air, itu waktu tentulah aku mati rela karena aku mati untuk orang yang aku cintai. Tapi sekarang, aku belum mati, sebaliknya kau, kau telah mati dalam hatiku!"
Muka Boe Yang dari biru menjadi pucat, dari putih menjadi merah, dari merah menjadi putih pula ia bersalin rupa beberapa kali. Beberapa kali ia hendak membuka mulut, saban-saban ia gagal. Akhirnya, dapat juga ia berkata, perlahan: "Kalau aku pikir sekarang, sungguh aku ingin mati waktu itu... Ya, selama duapuluh tahun itu, aku telah membuatnya kau sengsara, tetapi aku sendiri, mana pernah aku hidup senang? Setiap hari, setiap malam, aku menegur diriku sendiri, aku tersiksa liangsim-ku. Kesengsaraanku itu mungkin terlebih hebat daripada siksaan dalam delapan belas tingkat neraka. Tidak, aku tidak berani memohon maaf dari kau! Nah, kau cacilah aku, kau cacilah secara hebat, sesukamu!..."
Soat Bwee terus bersikap dingin, toh pada sinar matanya masih ada sisa dari kesayangan menyapu pada muka suaminya itu. Ia tidak membuka mulutnya meski Boe Yang meminta ia mencacinya.
"Kau tidak suka mencaci aku, aku akan mencaci diriku sendiri," berkata pula Boe Yang. "Soat Bwee, tahukah kau apa yang aku pikir itu waktu? Ya, dalam itu saat sangat berbahaya, kau memikir untuk aku, aku sendiri, aku memikir untuk diriku sendiri. Itu waktu kau terluka parah, aku merasa bahwa aku tidak sanggup menolongi kau, maka aku pikirlah: Daripada kau ditawan musuh, hingga kau bakal menderita siksaan dan kesengsaraan, lebih baik kau terpendam dalam siksaannya gelombang sungai Tiangkang itu. Pikiranku itu sebenarnya ada pikiran untuk menghibur diri sendiri, itulah palsu belaka. Sebenarnya aku mempunyai sebab lain, sebab yang aku tidak dapat membuka mulut untuk menjelaskannya. Aku takut mati, aku temahai kehidupan, di saat sangat berbahaya itu, aku tidak ingin melindungi isteri, aku hanya memikir supaya aku sendiri dapat meloloskan diri. Bahkan aku memikir, setelah kau menutup mata, aku akan jadi ahli pedang nomor satu di kolong langit ini! Memang, ada orang-orang yang menganggapnya aku seorang gagah perkasa, tetapi mana mereka ketahui, hatiku sebenarnya busuk sekali? Di saat seperti itu, aku justeru menjoroki kau ke dalam sungai! Aku telah mencuri pedang pusakamu! Di dalam kepungannya musuh, aku menoblos keluar, belum lagi pakaianku kering, aku telah lari pergi mencari Bouw Tok It. Semua ini aku lakukan untuk kepentingan diriku sendiri, supaya aku menjadi jago pedang yang utama. Ya, Soat Bwee, kau cacilah aku, kau cacilah!
Air matanya Soat Bwee menetes turun, tetes demi tetes. Ia tidak menyangka yang In Boe Yang bakal memberikan pengakuannya itu. Maka hatinya yang mulia hendak lantas memaafkannya. Tapi ia masih menguasai dirinya. Ia tertawa dingin.
"Dengan begitu maka kau jadilah menantunya keluarga Bouw itu!" katanya tajam. "Ha, aku sampai lupa! Sampai sekarang ini, aku masih belum melihat pengantinmu yang baru itu! Mana pengantinmu itu!" Soat Bwee bukannya tidak tahu, tempo telah lewat duapuluh tahun, Boe Yang dan Poo Tjoe telah menikah lama, tetapi kata-kata "pengantin" itu telah keluar dengan sendirinya.
Boe Yang tertawa sedih.
"Dia," katanya. "Dia sudah pergi... Siapa yang mementingkan dirinya sendiri, lambat laun dia pun bakal disia-siakan oleh lain orang... Kau menganggapnya aku telah mati, maka dia... dia tentu telah menganggapnya aku telah mati juga... Seumurku, aku ingat, belum pernah aku memuji di depanmu, memuji wanita yang ke dua, tetapi toh sekarang tidak dapat aku tidak mengatakannya. Sesungguhnya, Poo Tjoe mirip dengan kau, dialah seorang nona yang baik sekali, tetapi aku, dengan segala kepalsuan telah aku menipunya dia, aku telah menipunya supaya dia, untuk kepentinganku, mencuri kitab ilmu pedangnya Bouw Tok It! Demikianlah aku, dari isteriku yang pertama telah aku dapatkan pedang mustika nomor satu di kolong langit ini, dari isteriku yang ke dua, aku memperolehnya kitab ilmu pedang yang tidak ada bandingannya dalam dunia ini! Dengan begitu jadilah aku jago pedang nomor satu di dalam dunia, cuma karenanya, aku kehilangan cintanya kedua isteriku... Ah, kitab ilmu pedang itu masih mempunyai ceritanya sendiri yang berliku-liku. Sebenarnya, Soat Bwee, kitab adalah kitab milik ayahmu, maka sekarang di dalam dunia ini, kau pemilik yang sah dari kitab itu!"
Soat Bwee tertawa dingin.
"Aku telah menderita sangat, duapuluh tahun aku mengandung penasaran," ia berkata, "sekarang aku datang mencari kau, apakah kau anggap aku datang untuk kitab ilmu pedang itu?"
Boe Yang mementang semua pintu dan jendela.
"Aku menginsafi kesengsaraanmu itu tak dapat ditebus," ia kata, perlahan sekali. "Selama duapuluh tahun ini aku memikirkan daya untuk mengurangi penderitaanku, tetapi selamanya belum pernah aku berhasil menebus dosaku. Cuma, aku tahu, tidaklah sukar untuk kau mengetahui hatiku yang sebenar-benarnya. Nah, apakah kau telah melihatnya? Itu bunga bwee di luar jendela! Cara mengaturnya kamar tulis ini! Semua itu aku menuruti caramu sendiri!"
Mau atau tidak, Soat Bwee memandanginya. Di luar ada sisa-sisa pohon bwee daun-daunnya telah pada rontok, tetapi di cabangnya masih ada beberapa kuntum bunga itu. Ia pun memandang ke keliling kamar tulis itu. Ia berdiam memandangi itu.
Boe Yang melanjuti: "Aku telah mengajari anakku yang perempuan memasak sayur yang kau biasa paling sukai, aku menyuruhnya dia membuat pakaian yang kau paling gemari. Sekarang dia telah berusia delapan belas tahun. Tanpa merasa aku telah mengajari dia hingga dia mirip sama kau, begitu baik hatinya, begitu jujur, seumurnya belum pernah dia mengetahui dunia begini kotor. Itulah sebab aku ingin melihatnya dalam tubuhnya bayanganmu sendiri!"
Dengan sangat perlahan Soat Bwee mengucapkan sesuatu. Kata-katanya Boe Yang ini sangat melukai hatinya. Ia bersedih tetapi pun lega dan terhibur, maka tanpa merasa, buyarlah separuh dari penasarannya.
"Benarkah itu?" katanya perlahan. "Kau pun jadinya mempunyai seorang anak perempuan?"
Boe Yang mengangguk.
"Kau tunggu sebentar," katanya, "dia akan lekas pulang."
Tiba-tiba Soat Bwee merasakan sesuatu yang sangat menyakitkan hatinya.
"Boe Yang!" katanya tajam, "tahukah kau kenapa malam ini aku datang mencari kau? Tahukah kau apa yang aku pikirkan? Sebenarnya telah aku bersumpah, selama sisa hidupku ini, tidak sudi aku melihat kau pula, aku juga tidak menghendaki lagi itu kitab ilmu pedang, tetapi aku telah melanggar sumpahku itu! Kau tahu, inilah semua untuk anakku, untuk anakku, anak laki-laki!"
Boe Yang terkejut.
"Apa?" katanya. "Anak laki-lakimu? Oh kita jadi mempunyai satu anak laki-laki?"
Soat Bwee mengangguk perlahan.
"Di saat kau menjoroki aku ke dalam sungai Tiangkang, aku tengah mengandung dua bulan," menerangkan isteri ini.
Boe Yang menjerit, dia berjingkrak, lantas dia menumbuki dadanya. Air matanya pun segera bercucuran deras.
"Aku harus mati, aku harus mati!" ia menjerit-jerit. "Oh, hampir aku pun membinasakan anakku sendiri!..."
Amarahnya Soat Bwee bangkit pula.
"Dia bukanlah anakmu!" katanya sengit, dingin. "Seumurnya dia belum mengetahui bahwa dia mempunyai ayah semacam kau!"
"Ya, memang benar demikian," kata Boe Yang, perlahan. "Memang aku tidak mempunyai muka untuk menjadi ayahnya..."
"Selama duapuluh tahun, aku sendiri yang memelihara dan merawat dia," berkata Soat Bwee, "akulah yang telah mendidik dia menjadi seorang manusia yang hatinya putih bersih. Dia dengan kau sudah tidak ada hubungannya suatu apa! Aku telah membilang dia, ayahnya sudah lama mati!"
Hati Boe Yang sakit bagaikan disayat-sayat. Tidak berani ia memandang sinar mata isterinya itu. Ia pun berdiam sekian lama, baru dapat ia membuka mulut pula.
"Soat Bwee, aku mengerti kau," ia kata. "Kau tidak menghendaki ia mengenali ayah semacamku ini. Memang aku tidak pantas menjadi ayahnya! Sekarang aku cuma mau minta kau menuturkan sesuatu tentang anak itu, kemudian biarlah aku mendapat lihat dia, untuk satu kali saja... Ah, kita sudah berpisah duapuluh tahun iamanya, kalau dihitung-hitung, dia tentu telah berusia duapuluh tahun juga. Selama duapuluh tahun itu bagaimana hidupnya kamu ibu dan anak?..."
Hati Soat Bwee bercekat.
"Ya, mungkin mereka bakal bertemu juga," pikirnya. Ia mengawasi suaminya itu. Boe Yang berada di depan jendela, berdiri diam saja, mukanya basah dengan air mata, tangannya menjambret sebatang cabang bwee, agaknya dia menahan tubuhnya sekuat tenaganya mengandali pohon bwee itu. Karena cabang itu, barulah dia dapat menahan dirinya. Ia menghela napas.
"Jikalau bukan karena dia, tidak nanti aku hidup sampai sekarang ini," ia berkata sesaat kemudian. "Ketika kau joroki aku ke dalam sungai, walaupun aku teriuka parah, aku berdaya melawan arus yang dahsyat. Itulah melulu untuk melindungi dia. Aku bergulat sama gelombang. Aku berhasil menolongi diriku. Demikian, bersama dia aku hidup bersama selama duapuluh tahun. Selama duapuluh tahun itu, aku ajari dia ilmu surat, aku ajari dia ilmu silat, ilmu pedang. Semua pamannya, bekas rekan-rekanmu dulu hari, semua turut mengajari dia ilmu silat. Duapuluh tahun aku hidup menyembunyikan diri, tidak ada seorang juga yang mengetahui aku masih hidup dalam dunia ini..."
Boe Yang terkejut.
"Semua bekas rekanku mengajari dia ilmu silat?" ia menanya.
"Benar! Tapi mereka tidak tahu dialah anakmu," sahut isteri itu. "Aku hendak membikin dia menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, maka dengan membekali warisan bekas junjunganku, aku menitahkan dia pergi mencari Tjioe Kong Bit. Tjioe Kong Bit menganggap dialah anaknya bekas rekannya, melihat dia cerdas dan nyalinya besar, dia sangat menyayanginya, maka sebagai lain-lainnya pamannya, dia pun memberi ajaran dengan sungguh-sungguh hati. Ya, sekarang baru aku mengerti, semua paman itu, bekas rekanmu sekalian, juga ada mengandung sesuatu maksud..."
Tjioe Kong Bit itu adalah kepala dari bekas orang-orangnya Thio Soe Seng, setelah runtuhnya Thio Soe Seng, sang junjungan, dia menyembunyikan diri, tetapi dia tetap bercita-cita bangun pula, guna melanjuti angan-angan besar dari junjungannya itu.
Tubuh Boe Yang bergemetaran.
"Apakah maksud mereka itu?" ia menanya. Soat Bwee tertawa dingin. "Mereka bermaksud menyuruh dia membunuh kau!" sahutnya.
"Apa? Dia hendak membunuh aku?" Boe Yang menegaskan.
"Mereka itu tidak tahu dialah anakmu," kata pula Soat Bwee. "Tetapi mereka tahu Tjoe Goan Tjiang mau mengundang kau turun gunung!"
Boe Yang jadi sangat bernapsu.
"Lekas bilang, lekas!" mendesaknya. Apakah namanya anak kita itu?"
"Aku tidak menghendaki dia she In, aku ingin dia memakai sheku, sahut sang isteri. "Dia bernama Tan Hian Kie! Bukankah dia pernah tiba di rumahmu ini? Jikalau bukan untuk dia, tidak nanti hari ini aku datang ke gunung Holan San ini! Eh, eh, Boe Yang, kau...kau kenapa?"
Tubuh Boe Yang mendadak limbung, tanpa berdaya dia roboh terbanting, mukanya pucat sekali bagaikan mayat.
"Oh, Thian!..." keluhnya tajam.
Sekarang mengertilah Boe Yang segala apa. Tan Hian Kie itu puteranya sendiri. Tapi Tan Hian Kie juga pemuda yang sangat dicintai puterinya! Maka inilah pukulan sangat hebat untuknya.
Soat Bwee heran bukan main, ia kaget tidak kepalang. Kenapa suaminya itu roboh? Kenapa dia pingsan secara demikian mendadak?
Tanya berpikir lagi, ia tubruk suami itu, untuk mengasih bangun padanya. Sesudah duapuluh tahun, inilah yang pertama kali tangannya menyentuh tangan suami itu. Dan itulah tangan yang duapuluh tahun dulu sudah menjoroki dia tercebur di gelombangnya sungai Tiangkang! Kemudian dia sadar, hendak dia menarik pulang tangannya, atau mendadak ia merasakan tangan Boe Yang itu dingin sekali. Ia, mengawasi, Boe Yang pun mengawasi dia.
Kedua pasang mata bentrok satu pada lain.
Soat Bwee melihat wajah orang guram, sinarnya merah tua.
"Apa?" tanyanya. "Apakah kau terluka parah? Mengapa kau tidak membilanginya sejak tadi?"
Soat Bwee pun satu ahli silat, ia mengerti itulah luka yang tak dapat diobati lagi. Sejenak ini, buyarlah segala budi, segala sakit hati. Ia merasakan bagaimana tangan Boe Yang mengusap-usap tangannya, mengusap-usap dengan perlahan seperti duapuluh tahun yang lampau itu...
Hati Boe Yang telah dilimpahkan semua kepada anak gadisnya.
"Kalau So So ketahui ini..." pikirnya. Ia tidak berani memikirnya. "Syukur So So belum pulang..." Ia menguatkan hatinya, ia mencoba berbangkit bangun. Lalu ia berkata keras: "Soat Bwee, lekas, lekas! Lekas kau bawa dia pergi1"
Tapi Soat Bwee bingung, tak dapat ia menyelami hati suaminya itu. Ia tidak menginsafi luka hati sang suami lebih hebat berlipat ganda daripada luka hatinya sendiri.
Hian Kie dan So So anak Boe Yang, ya anak mereka, dan kedua anak itu saling menyintai! Kalau mereka sampai menikah, menjadi suami isteri!...
Soat Bwee menjublak. Ia melihat tubuh suaminya itu bergemetaran. Ia melihat mata suami itu diarahkan ke pembaringan di dalam kamar tulis itu. Dan kelambu pembaringan itu mendadak bergerak sendirinya. Segera satu pikiran berkelebat di otaknya.
"Apa?" serunya. "Hian Kie di sini?"
Hian Kie baru saja sadar, ia membuka matanya dengan perlahan-lahan ketika ia menyingkap kelambu, justeru ia melihat ibunya menghampirkan padanya.
Mengimpikah ia? Ia lantas menggigit jari tangannya! Oh, tidak! Ia sadar!
Soat Bwee girang tercampur sedih.
"Hian Kie! Hian Kie!" serunya. "Kau baik?"
"Baik, ibu!" sahut anak itu lekas. "Aku terlukakan Lo Kim Hong, lantas aku, aku ditolongi dia!... Dan ia menunjuk kepada Boe Yang.
Soat Bwee melirik suaminya, ia kata dengan dingin, "Kiranya kau... kau juga... Hendak isteri ini mengatakan, "...kau juga masih mempunyai kasih-sayangnya seorang ayah..." atau ia menjadi terkejut sekali. Ia melihat mata Boe Yang mendelik, tangannya diulap-ulapkan, dia berseru dengan suara serak: "Lekas kamu pergi, lekas! Pergilah biar jauh, untuk selama-lamanya jangan kamu menginjak pula gunung Holan San ini..."
Tiba-tiba saja, Soat Bwee menjadi gusar.
"Bagus ya!" ia berseru. "Kau mengusir kami! Duapuluh tahun kami ibu dan anak hidup bersama, siapa... siapa..."
Boe Yang menguati hatinya, ia memotong: "Sudah, jangan omong lebih jauh! Lekas pergi, lekas!"
Dalam gusarnya Soat Bwee heran.
"Dia ketakutan! Dia takuti apa?" pikirnya. Hian Kie juga heran bukan kepalang.
"Selama duapuluh tahun ibu tidak pernah keluar dari rumah kenapa sekarang ibu kenal Boe Yang?"
Ia melihatnya sikap luar biasa di antara ibunya itu dan In Boe Yang, ia menjadi heran pula. Inilah sangat mengherankan. Suasana itu sangat tegang. Maka, dari bergirang, Hian Kie menjadi menggigil sendirinya.
"Anak Kie, mari kita pergi!" tiba-tiba Soat Bwee berkata.
Anak itu dicekal tangannya oleh ibunya, tetapi ia berontak. Ia agaknya bingung sangat.
"Tidak," katanya perlahan. "Aku hendak menanti pulangnya So So... Ibu, kau tentu menyukai dia...."
Hati Soat Bwee terkesiap. Hendak ia menanya, "Siapa, itu So So?" Atau puteranya maju dua tindak, mendekati Boe Yang, dengan sinar mata memohon, ia kata perlahan: "Kau telah menjanjikan aku agar So So mengikut aku pergi, maka itu aku hendak menantikan dia kembali, sampai dia kembali!"
Kata-kata itu terdengarnya Soat Bwee sebagai halilintar. Tengah dia bingung, ia melihat Boe Yang pucat bagaikan mayat, tubuh Boe Yang limbung.
Justeru itu waktu, Hian Kie terdengar menjerit tajam, matanya mengawasi ke luar kamar. Di sana, di bawah pohon bwee, satu bayangan orang berkelebat berpeta, di sana terlihat ujung baju memain di antara sampokan angin.
Itulah In So So pulang!
"So So! So So!" Hian Kie memanggil. "Ibuku..."
Mendadak kata-kata ini terhenti. Ia kaget, ia melihat muka So So sangat pucat, seperti orang sangat ketakutan, seperti hatinya sangat terluka. Semua itu tampak nyata di sinar mata si nona.
Hian Kie menjadi sangat bingung.
"So So!..." ia memanggil pula. Tapi ia tidak dapat meneruskannya.
So So menutupi mukanya, dia menjerit hebat, lantas dia lari pergi. Tangisannya yang menggerung-gerung yang kedengaran...
Soat Bwee berdiri menjublak, tenaganya seperti habis. Sekarang mengertilah ia akan segala apa. Cuma Hian Kie yang masih bengong, yang masih gelap. Tapi ia ingat So So, maka ia pun lari tanpa memikir lagi, menyusul. Ia telah melompati tembok pekarangan tanpa ibunya dapat menjambret tangannya, sebab ibu ini tidak dapat menggeraki kedua kakinya...
Adalah di itu waktu, terdengar pula jeritannya Boe Yang, yang tubuhnya terus roboh, dari mulutnya terdengar keluhan, "Inilah dosaku... Inilah dosaku..." Suaranya itu makin lama makin lemah.
Soat Bwee merasakan tubuhnya beku, ia memaksa mementang kedua matanya. Ia pun memaksa bertindak, menghampirkan suami itu. Ia tidak berani memikir, ia tidak berani membuka suara juga...
"Biarkanlah mereka pergi..." kata pula Boe Yang, "biar mereka pergi... Aku minta kau bakar rumah ini lantas kau bawa pulang abuku ke Kanglam... Aku tidak mau dikubur di tempat yang melukakan hati ini..."
Sampai di situ, suaranya tak lagi terdengar nyata. Sebenarnya dia masih dapat hidup lagi tiga hari, tetapi pukulan yang diterimanya hebat sekali dia tak kuat menahannya. Maka ini jago pedang nomor satu di kolong langit ini, sedetik itu juga telah berpulang ke dunia lain, matanya rapat tak melihat lagi...
Itulah berpisah mati, bercerai hidup selama duapuluh tahun, dan sekarang, berpisah untuk selama-lamanya, tak bakal bertemu pula.
Maka Soat Bwee tidak tahu ia menyinta atau ia membenci ia sadar atau ia bermimpi... Suaminya, puteranya... Suaminya, puteranya... Ke mana mereka pergi... Hatinya sangat kusut, sangat pepat, menangis pun ia tak ada airmatanya.
Ia merasa lebih celaka, lebih sakit hati, daripada saat ia dijoroki Boe Yang ke dalam gelombang sungai Tiangkang itu... Hebat sangat pukulan ini, maka ia pun menjerit, tubuhnya roboh di samping tubuh Boe Yang...
Di gunung Holan San itu masih ada dua orang lain, yang sangat sakit hatinya.
Merekalah In So So dan Tan Hian Kie. Hampir So So tidak dapat bertahan, tetapi ia lari terus, ia lari untuk menyingkir dari Hian Kie. Ia tahu segala apa...
Di antara angin yang bertiup-tiup, terdengarlah jeritannya Hian Kie, jeritan dari tersayatnya hati: "So So, So So! Kau tunggui aku! So So, meskipun kau tidak sudi memperdulikan aku lagi, kau haruslah mengucap sepatah kata..."
Tapi So So tidak mau berhenti lari, tak sudi ia berpaling. Di antara mereka cumalah sang angin yang menjadi pesuruh mereka, untuk menyampaikan jeritan Hian Kie itu dan tangisannya So So...
Hati Hian Kie sangat kalut, samar-samar ia merasakan duduknya hal, tapi ia penasaran, ingin ia mengetahui jelas. Ia melihatnya bulan indah, ia seperti mendengar pula nyanyian So So tinggi di atas gunung, tapi malam ini, alam itu sama seperti sediakala, cuma So So yang lenyap...
Hian Kie mengubar terus, sekuat-kuatnya. Makin lama, terpisahnya ia dengan So So semakin dekat.
"So So," ia berkata, "kau membilangnya, di dunia ini cuma akulah orang yang terdekat denganmu, yang paling rapat, bahwa selanjutnya, tak perduli di ujung laut, di pangkal langit, kau hendak mengikuti aku, supaya kita tetap ada bersama... Tapi, So So, sekarang... kau kenapakah?..."
"Tidak, tidak, Hian Kie, tidak dapat!" demikian suara si nona. "Kau tidak tahu, Hian Kie!..."
So So lari terus, ia berlari semakin keras. Ia mendaki, mendaki hingga hampir sampai di puncak...
Sekonyong-konyong ada suara panggilan, nyaring: "Saudara Hian Kie! Saudara Hian Kie!"
Hian Kie segera menoleh, ia tampak Siangkoan Thian Ya. Karena ia berpaling, lari Hian Kie tertahan, maka So So telah terpisah pula daripadanya beberapa puluh tombak.
"Saudara Thian Ya, lain kali saja kita bertemu pula!" menjawab Hian Kie.
Akan tetapi Thian Ya lari mendatangi, napasnya sengal-sengal, dia seperti kehabisan napasnya.
"Saudara Hian Kie..." kaanya. "Tat Mo Kiampouw itu milikmu! Koengo kiam milikmu juga!"
Hian Kie heran.
"Apa?" dia tanya. Tapi toh ia lari terus, bagaikan terbang, tanpa menoleh.
"Eh, eh, perlahan sedikit!" Thian Ya menjerit-jerit. "Kau dengar aku!..."
Hian Kie tidak meladeninya, dia berlompat ke tempat yang tinggi.
Di sana di puncak gunung, baju So So berkibar-kibar, tubuhnya bergoyang-goyang...
Pemuda itu menjerit keras, tubuhnya melesat dengan gerakannya "Yantjoe tjoanin," atau "Bening walet menembusi mega." Ia mencelat beberapa tombak, ke arah puncak gunung.
Sia-sia Siangkoan Thian Ya mengejar, dia ada terlalu letih, hingga tak lagi dia menampak tubuh Hian Kie, sahabatnya itu. Tetapi dia masih menjerit-jerit: "Saudara Hian Kie, bukankah kakek luarmu bernama Tan Teng Hong? Tat Mo Kiampouw itu dicuri Bouw Tok It! Koengo kiam miliknya isteri In Boe Yang yang pertama! Semua itu harus menjadi milikmu!..."
Siangkoan Thian Ya cuma mengingat baik-baik kata-kata gurunya, Pit Leng Hong. Guru itu mengatakan, kitab ilmu pedang harus dikembalikan pada anaknya Tan Teng Hong. Dia tidak tahu yang Tan Soat Bwee masih ada di dalam dunia, dia hanya ingat, Tan Teng Hong itu kakek luarnya Hian Kie. Dia kasar tetapi dia jujur, dia tidak memikir hubungannya di antara Hian Kie dan So So, dia melainkan ingat pesan gurunya, yang mesti diwujudkan, maka dia lari menyusul Hian Kie, untuk menyampaikan kata-kata itu...
Sekonyong-konyong terdengariah suara nyaring: "Ser!" Bagaikan guntur di siang hari! Lalu Hian Kie mengerti segala apa.
Mendadak tangan So So diayun, melemparkan Koengo kiam, suaranya terdengar menggetar: "Hian Kie, Hian Kie, kau... kau mengertikah bukan? Jangan kau dekati aku!..."
Sejenak itu Hian Kie seperti kehilangan semangatnya, tetapi ia lari terus, ia bagaikan tak berkuasa lagi akan dirinya. Ia tidak tahu So So hendak menyingkir dari ianya atau si nona terpeleset, mendadak tubuh nona itu tetjatuh ke bawah gunung, ke dalam jurang yang ribuan tombak dalamnya!
Angin gunung menderu-deru, di lembah-lembah terdengar jeritannya Hian Kie berulang-ulang, jeritan bagaikan kalap. Di sana pun terdengar sambutannya Siangkoan Thian Ya, yang menjerit pula: "Telah terjadi apakah?" Tapi ia tidak memperoleh jawaban.
Di seluruh gunung masih terdengar jeritannya Hian Kie: "So So! So So!" Rupanya bagaikan kalap, dia masih mencari ke seluruh penjuru. Tentu sekali, dia tidak dapat mencari si nona.
Pula Siangkoan Thian Ya, tak tahu ia ke mana mesti menyusul Hian Kie!
Jauh di sana terlihat api berkobar-kobar besar, angin gunung menderu-deru, di lain bagian, juga masih terdengar jeritannya Tan Hian Kie.
Dan rumahnya In Boe Yang, rumah itu telah menjadi abu, menjadi puing!
Maka segala apa, cinta dan kebencian, segala dosa, semua hanyut terbawa air...

TAMAT

Selanjutnya Thian San 2 : Dua Musuh Turunan

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang