Aku berjalan lunglai menuju bilik kecil rumahku. Lesu, tertunduk kepalaku selama perjalanan.
"Ah, anak Ibu sudah pulang rupanya! Bagaimana sekolahnya, Nak?"
Iya, wanita berbadan kurus dengan daster lusuh itu ibuku.
Terlalu malas untuk menjawab, aku hanya tersenyum tipis. Melepas sepasang sepatuku yang sudah tak jelas bentuknya seperti apa. Melempar tas ke sembarang arah. Sejenak, aku istirahatkan tubuh ini di kursi reyot yang benar-benar tidak nyaman. Mau bagaimana lagi, hanya satu kursi ini yang tersisa, lebih baik daripada kursi-kursi lain yang hancur dimakan rayap.
"Ibu tak punya bahan apa pun selain tempe seperti kemarin. Ayo makan siang dulu, Nak."
Dengan langkah tergesa-gesa, Ibu menarik tanganku menuju dapur kecil di halaman belakang rumah. "Ibu tahu, kamu tadi pagi nggak sarapan ya? Bandel! Kalau kamu sakit gimana? Tempat berobat di sini jauh dan mahal pula, Nak!"
Lagi-lagi aku hanya bergeming mendengar ocehan ibuku yang satu ini. Ibu sudah hampir setiap hari berbicara seperti ini, sampai-sampai aku bisa menebak apa yang akan ibu ucapkan setelah ini.
Aku menduga, kira-kira seperti ini, "Eh, seragamnya belum dilepas? Lepas dulu ya, nanti kotor."
Yah, kalian patut mengancungiku jempol. Apa yang kupikirkan sedari tadi dapat terbukti kebenarannya.
Dahi ibu terlipat. "Eh, seragamnya belum dilepas? Lebih baik lepas dulu Nak, nanti kotor, bagaimana untuk besok?"
Fiuh. Aku membuang napas pelan.
Ibu bilang beginilah, begitulah. Tak pernah ada yang berubah dalam kegiatanku di rumah selepas sekolah. Monoton. Membosankan.
[.]
Bukankah setiap manusia memiliki titik jenuhnya tersendiri?
Hal itulah yang terjadi padaku saat ini.
Aku jenuh melihat sepatu usangku saat ini. Alasnya menganga seperti mulut buaya. Aku bahkan pernah menjadikan sepatuku ini sebagai boneka tangan. Sudah berkali-kali disol pun hasilnya sama saja. Ujung-ujungnya membuka lagi. Miris.
Seragamku tidak lagi berwarna putih. Kekuningan. Ugh, menyedihkan bukan? Ibuku tidak pernah menyempatkan diri untuk membeli pemutih. Deterjen seribuan saja cukup katanya, asal bersih.
Pun, rok merah selututku yang melambangkan tingkatan Sekolah Dasar itu jahitannya sudah banyak yang terlepas. Sobek di sebagian sisi. Sebenarnya ibu suka menjahit, hanya saja, akhir-akhir ini sibuk mengurus bapak yang kondisinya kian memburuk beberapa hari ini.
Baiklah. Kuputuskan tidak pulang ke rumah dulu hari ini. Aku ingin berjalan-jalan. Melupakan kondisiku dan keluarga yang begitu menyedihkan beberapa saat. Menghabiskan hari tanpa mengeluh, bisakah aku?
Sepasang tungkaiku menelusuri jalanan yang cukup sepi. Sejauh mata memandang, rumput hijau terhampar di hadapanku. Tak lupa disertai pepohonan dan kursi-kursi yang terbujur di atasnya.
Tumben, taman bermain ini tidak ramai? Biasanya, anak-anak sekolah mau pun orang dewasa menghabiskan waktu sore di sini.
Oh, aku baru ingat. Teman-teman sekolahku 'kan sedang mengikuti sebuah tur dari sekolah. Huh, percuma saja, aku tidak bisa ikut. Biaya ke sana saja tak mampu kulunasi.
Sebenarnya, tadi di sekolah pun aku bukan belajar. Hanya menatap mereka yang naik ke bis satu per satu. Tak lupa melambaikan tangan. Setelah itu, ya, aku putuskanlah untuk singgah ke taman ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Expectation
Short StoryLihat, sepatuku usang. Huh, bahkan alasnya sudah menganga seperti mulut buaya! Duhai, lirik sana, sepatunya bagus sekali. Pakaiannya rapi, kulitnya bersih. Sebersit rasa iri mencuat. Kemudian, mata ini terpejam, berharap tinggi bisa menjadi sepertin...