***
Sudah dua kali Maggie berbolak-balik memutari meja di hadapan Ayahnya duduk. Peristiwa pemecatan sang Ayah membuat Maggie khawatir akan hidup mewah yang dia jalani selama ini. Wanita itu menatap serius kukunya. Dia membayangkan betapa jelek kuku itu jika tiga minggu kuku itu tak dirawat. Dengan kasar dia menghempaskan pantatnya duduk di atas sofa.
"Dad dipecat?" Maggie menanyakan sekali lagi. Seperti sebuah mimpi buruk yang tak pernah diharapakan Maggie mampir ke dalam hidupnya. Maggie melanjutkan, "Lalu bagaimana denganku? Aku tidak bisa hidup miskin, Dad. Bagaimana dengan kehidupan mewahku? Ini sangat berat, Dad," Maggie frustasi. Seminggu sekali dia mengecat rambut di hair salon dan menata kuku di nail salon.
Maggie pusing harus bagaimana lagi. Hanya Ayahnya sumber penghasilan Maggie. Dia hanyalah wanita berumur dua puluh tahun lebih yang manja dan suka berfoya-foya. Wanita itu mengambil majalah Vogue di depannya. Melihat betapa cantiknya Kendall Jenner di cover majalah itu.
Kendall Jenner sedang memakai gaun dari Armani serta sepatu hak tinggi dari Stuart Weitzman. Bagaimana lagi Maggie bisa mendapatkan kemewahan semacam Kendall punya? Haruskah dia mencuri? Tidak, sangat bukan perilaku kaum sosialita.
"Dad tidak bekerja lagi, Maggie. Kau harus mengerti kondisi Dad. Ini bukan keinginan Dad juga," kata Philip mengingatkan. Lelaki bernama lengkap Phillip Gomez. Dia bekerja di salah satu perusahaan investasi dan Philip ditipu. Dan kini segalanya lenyap dalam sekejap mata.
Philip menatap fokus ke anak perempuan satu-satunya. Maggie membuang majalah yang ada di tangannya ke lantai. Dia meremas kasar rambut pirang keemasan yang selalu membuat mata pria terpana. Rambut hasil cat setiap satu kali seminggu. Kini hiasan kepalanya itu tidak ada artinya.
"Tidak bisa, Dad. Ini masalah pola hidup, ini adalah masalah gaya hidup. Bagaimana dengan rambut dan kuku milikku? Semua perempuan seusiaku seperti ini," sela Maggie. Dia tak mau kalah. Dia masih menuntut haknya sebagai anak gadis seorang Phillip Gomez. Sampai sang Ayah mulai berpikir sembari matanya tetap memandangi anak perempuannya.
Lelaki itu menghela napas. "Dad punya solusi untukmu. Tapi ini menyangkut harga dirimu. Dad tidak yakin kau akan setuju." Phillip mengatakan dengan nada sedikit rendah. Dia tidak ingin putrinya menderita tanpa harta. Kemewahan adalah kebahagiaan Maggie dan kini dia sudah tidak bisa memberikan hal itu pada Maggie.
"Apa itu?" Maggie penasaran. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Ayahnya. Dia yang tadi berdiri memilih duduk di atas sofa berwarna merah jambu di ruang tamu itu. Warna sofa yang sangat disukai Maggie. Pink adalah warna kesukaan semua cewek. Bukan cuma perempuan bahkan lelaki juga. Jeffre Star seorang pria--Youtuber kecantikan Amerika mengklaim dia telah mengoleksi setengah pink di dunia.
Philip meneguk bir di gelasnya. "Teman bisnis Dad bernama Sam ingin menjadikanmu kekasih. Dia bersedia membiayai kehidupan mewahmu itu. Asal kau mau hidup bersama dia." Maggie menggeleng tidak percaya. Teman Ayahnya? Itu sungguh ide buruk. Membayangkan ia harus berkencan dengan lelaki tua.
"Sugar Daddy?" Teman-teman Maggie yang kurang mampu memang punya Sugar Daddy--seorang pengusaha tua yang mau membiayai gadis yang lebih muda. Maggie tak pernah berpikir mau menjadi Sugar Baby--sebutan untuk pasangan Sugar Daddy.
"Teman Dad? Berapa usia dia? Jangan bilang Dad menjualku padanya? Aku bukan pelacur Dad," tegas Maggie. Dia tidak menyangka Ayahnya menjerumuskan dia dalam jurang kenistaan. Bagaimana bisa Maggie menikah dengan pria tua? Maggie memegangi kepalanya yang terasa pening. Kalau tidak diterima dia bakal hidup miskin. Kalau diterima Maggie akan akan malu.
"Sam masih muda, Maggie. Hanya 34 tahun. Dia adalah pria mapan. Punya bisnis di Hollywood, dia punya akses untuk bertemu artis besar. Hidupmu akan bahagia jika bersamanya. Dia tidak setua yang kaubayangkan." Phillip meyakinkan putrinya. Lelaki itu terpaksa menawarkan ide konyol untuk putrinya yang manja.