Ujung Jalan

312 45 0
                                    

Risa berlari mengikuti pria bertubuh binaraga dan berkaki perempuan di depannya dalam remang-remang kemerahan yang berkedip lambat. Di belakang mereka ada enam orang mengikuti hanya mengenakan dalaman, berlari kecil, hati-hati, ketakutan. Pria di depan memukul pintu di sebelah kirinya hingga jatuh berdebam. Seorang lagi di dalam dengan pakaian dalam terkejut melihat pria itu dan Risa.

"Hei kau aneh, kau mau keluar dari sini?!" pria itu kembali berlari dan pengikut mereka bertambah satu lagi.

"Hei! Kanan!" teriak Risa. Namun terlambat, pria itu menabrak dinding di depannya. "Kau buta ya!"

Dia mengelus dahinya yang merah dan tertawa. "Ah, tidak. Hanya minus enam. Aku butuh kacamataku."

Risa hanya menggeram kesal dan membiarkannya berlari di depan jika bukan karena kemampuannya.

Satu pintu lagi dijatuhkan oleh pria itu. Seseorang di dalam duduk di atas kasurnya menghadap pintu. "Kau!" Risa terkejut melihat siapa yang ditemukannya.

Brasta tak kalah terkejut mengetahui dia yang membuat kekacauan ini.

"Hei kau aneh, kamu mau keluar dari sini?!" ujar pria itu menghentikan momen terkejut mereka dan berlari kembali seolah tak ada apa-apa.

"Cepat bangun, kami tak akan menunggumu!" Risa menimpali.

Brasta bangkit dan mengikuti mereka di belakang. Semakin lama semakin banyak yang mengikuti mereka. Risa merasa hatinya teriris setiap pintu-pintu itu dibuka. Tempat ini adalah laboratorium dan mereka adalah tikus-tikus putihnya. Keadaan mereka memilukan, banyak bekas luka, bagian tubuh yang hilang, gila, atau sudah tak bernyawa. Kemarahannya semakin memuncak. Ingin sekali dia menemukan dalang di balik tempat biadab ini. Sesekali dia menoleh ke belakang, melihat Brasta yang menatapnya balik begitu tajam. Dia menggelengkan kepalanya menghapus pikiran yang baru terlintas di kepalanya. Sampai di sebuah pertigaan mereka berhenti.

"Kemana kita?" tanya pria di depan pada Risa.

"Kiri." Risa menjawab mantap.

"Apa kau yakin? Jangan asal menebak. Aku tidak mau tersesat di tempat aku tak bisa melihat."

"Kau yang akan membuat kita tersesat!" Risa meluapkan kekesalannya. "Dasar rabun, lihat! Itu tulisan keluar!" Risa menunjuk penunjuk arah bertuliskan "EXIT".

Pria itu semangat berlari kembali. Risa hanya menggelengkan kepalanya dan mengikuti. Dia kembali menoleh ke belakang dan mendapati Brasta tak ada di sana. Dia berhenti memperhatikan seksama tiap orang yang melewatinya dan benar Brasta tak ada lagi.

"Hei, tunggu!" Risa meneriaki pria paling di depan dan mendekatinya. "Aku ada urusan. Aku serahkan mereka padamu." Dia melampirkan wanita yang di bawanya ke pundak pria yang masih mencoba menangkap perkataan Risa. Setelah orang itu berpindah Risa berlari ke pertigaan tempat mereka datang, "Nanti aku menyusul!" dan berbelok ke kanan.

"Hei!" Pria itu sadar terlambat.

BAKAT

Risa berlari menyusuri lorong berusaha menemukan Brasta. Namun langkahnya tersendat-sendat melihat pintu-pintu besi lain yang mengukung orang-orang tak bersalah. Dia berusaha membuka pintu, memukulnya, menariknya, mencakar, merusak sirkuit di sebelahnya, tapi tak ada yang berhasil. Mereka yang di dalam menangis meminta pertolongan, memohon agar Risa membebaskan mereka. Tangan mereka menjulur-julur keluar dari sela-sela yang ada berusaha menggapai Risa dan mendapatkan simpatinya. Risa tak kuasa, dia sudah mencoba dan tidak bisa. Dia berusaha menenangkan mereka semua, meyakinkan mereka akan kebebasan. "Tunggu aku. Aku pasti kembali!" ujarnya pada tiap wajah dan tangan-tangan yang mengemis bantuan. Risa berlari menyusuri lorong itu semakin dalam. Pasti ada cara membebaskan mereka tanpa kekuatan. Orang yang dikejarnya pasti tahu caranya. Tidak! Dia harus tahu.

BakatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang