Pelarian Risa: Pengorbanan

429 60 4
                                    

"Selamatkan Bapak. Jangan biarkan Ibu kehilangan kalian berdua." Risa menatap Idon lekat-lekat. Entah apa yang merasukinya, sampai rela mengorbankan dirinya padahal dia sendiri ketakutan, terlihat dari bibirnya yang tidak berhenti gemetar setiap ingin bersuara. Kata-kata itu dia ucapkan bukan untuk Idon, lebih pada dirinya sendiri agar memberanikan dirinya. Pada detik-detik terakhir, dia menelan ludahnya, berusaha merasakan kakinya dan berlari meninggalkan Idon dan Bapak.

Dibantu cahaya bulan, dia berlari dari satu pohon ke pohon lain. Tidak perduli pada ilalang tajam yang terus membesat kakinya dan peluru-peluru yang menembus kulit pohon setiap kali dia berhenti sejenak mengambil napas. Saat suara daun dan ranting patah terdengar mendekat, dia berlari lagi menuju pohon lain di depannya. Tembakan langsung memburunya setiap kali dia berpindah. Napasnya tersengal, keringat membasahi kulit pucatnya di bawah rembulan. Bulu kuduknya meremang setiap kali membayangkan peluru-peluru itu menembus dirinya dan dia akan mati sendirian.

"Kau ketakutan." suara dalam kepalanya berbicara.

Risa tidak memedulikannya. Dia kembali berlari, menutup telinganya, dari suara tembakan, dan dari Talisa.

"Kau membutuhkanku, Ris. Akui saja, tapi..., coba tebak? Kau bilang kau tidak perlu bantuanku lagi!" Talisha tertawa dalam benak Risa.

Risa mengguncang kepalanya ke kiri-kanan. Dia terus berlari bersama hujan tembakan di sekitarnya dan suara Talisha dalam kepalanya. Membuat pikirannya lebih hilang arah, bahkan dia tidak sadar berlari ke area terbuka.

"Arghhh!" Risa berteriak, sebuah peluru menembus pundaknya. Dia berguling-guling dan menabrak pohon yang ditujunya. Pundaknya terasa terbakar dan ditusuk pedang tak kasat mata dari dalam. Dia meringis merapatkan gigi-gigi putihnya. Risa merasa ini akhir pelariannya. Dia hanya bersandar di sana tak mampu mengangkat kakinya untuk berdiri. Saat ranting-ranting patah terdengar semakin mendekatinya, Risa pasrah, memejamkan matanya, menerima apapun yang akan datang.

Terpaan angin memukul dirinya. Mengembalikan kesadarannya. Risa membuka mata dan pepohonan di atasnya bergoyang diterpa angin kencang. Daun-daun bergemerisik, saling bergesekan dengan kasar, berguguran. Di bawah, Risa merasa takjub. Bayangan daun yang berjatuhan bagaikan peri yang turun di bawah sinar bulan.

Sebuah durian jatuh tepat di depan kakinya yang menjulur diikutisuara durian jatuh lainnya satu persatu, saling menyusul. Orang yang mengejarnya terdengar kalang kabut. Membentak, saling bertanya, berteriak kesakitan.

"Sepertinya pacarmu itu mengatakan yang sebenarnya," Talisa tertawa, "kurasa kita akan cocok dengannya. Dia juga bukan manusia. Aku sudah menduga sejak melihat wajah anehnya."

Risa tidak menghiraukan perkataan Talisa, tapi dalam hatinya dia bertanya apa Idon yang melakukan semua ini?

"Apa kau akan mendiamkan aku sepanjang malam, Ris? Ayolah, ini mungkin percakapan terakhir kita."

"Aku akan selamat," Risa akhirnya membalas setelah menyaksikan fenomena durian runtuh di sekitarnya.

"Kau tahu apa masalahmu, Ris? Kau terlalu cepat merasa aman."

Risa mencoba mengintip dari balik badan pohon. Memastikan keadaan benar-benar aman. Durian masih tampak berjatuhan meskipun tidak terlihat lagi ada pergerakan seseorang. Risa menghela napas lega. Namun tiba-tiba di kejauhan dia bisa melihat seseorang berguling di antara pepohonan. Berguling lagi, bangkit, menghindari setiap durian tanpa kesulitan, lalu orang itu melihat ke arahnya, mengangkat senjatanya dan berjalan ke arahnya.

"Benar kan yang aku bilang. Apa kau pernah mendengar sebuah durian membunuh orang?"

"Sekarang aku harus bagaimana?" Risa bertanya pada dirinya sendiri, masih mengabaikan Talisa yang terus menggodanya. Jantungnya berdebar cepat kembali.

"Aku bisa membantumu."

"Tidak mungkin aku bisa melawannya!" Risa menghapus kemungkinan berlari. Kakinya tidak sanggup hanya untuk bangkit dan lukanya masih panas menusuk.

"Yang kau perlu lakukan hanya meminta tolong, seperti selama ini."

"Tolong aku..., tolong aku Talisa." Risa sudah menyerah.

"Apa? Aku tidak mendengarnya."

"Tolong aku Talisha! Berhentilah bercanda."

"Aku tidak mendengarmu. Kau harus lebih memohon."

"Tolong aku..., tolong aku Talisha. Kumohon. Aku tidak mau mati." Risa mulai menangis.

"Sungguh, kau belajar dengan lambat Risa. Sekarang tidurlah dengan tenang."

Tubuh Risa menegang. Sesuatu seperti keluar dari tubuhnya. Menyelimuti Risa seluruhnya. Risa merasa tubuhnya menjadi berat dan dia tidak bisa melihat, bulan di atas perlahan menghilang dari pandangannya dan dia merasa terlempar ke jurang dalam.



BakatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang