Kemarahan

326 47 5
                                    

Idon berteriak kencang saat tubuhnya terjun bebas ke dalam jurang dan dia masih melayang bahkan setelah suaranya habis. Organ dalamnya terasa terangkat ke atas, bulunya meremang seiring bayangan tebing yang semakin jauh menjulang dan bayang-bayang hitam pepohonan di bawah semakin dekat. Idon memejamkan matanya saat puncak pohon di bawah terlihat begitu dekat siap dihantamnya.

Pohon-pohon di bawah bergerak menghindar, cabang-cabang kecilnya menadah bersiap menangkap Idon, berbaris dari atas ke bawah.

Idon yang masih terpejam tidak tahu apa-apa hanya bisa terkejut, terbelalak saat cabang pertama dihantam tubuhnya dalam kecepatan tinggi. Cabang itu patah, begitupun yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Tidak ada dari cabang itu yang berhasil menahan Idon. Idon merasa dipukul dari segala arah saat tubuhnya menghantam cabang pohon, terpental ke belakang menghantam cabang lainnya, terus begitu hingga tubuhnya kebas dan jatuh ke tanah. Lebam, goresan, dan darah yang keluar dari luka di dahinya menunjukkan betapa kesakitan Idon sekarang hingga dia terpejam pingsan.

Sebuah cabang masih bertahan pada batang. Tertunduk ke tanah, menjadi alas untuk Idon terlelap. Perlahan dahan-dahan kecilnya terangkat, mengungkung tubuh Idon agar tidak terjatuh, lalu cabangnya naik hingga sejajar dengan cabang pohon lain. Perlahan pohon itu membuka kungkungannya, menyerahkan Idon pada pohon lain, satu persatu, perlahan tapi pasti, mereka terus mengoper tubuh Idon. Membawanya pada tempat yang sudah dijanjikan. Para Tetua.

BAKAT

Di atas tebing, kobaran api membakar sebuah gubuk di tengah kebun durian. Asapnya membumbung tinggi menutupi kepergian dua helikopter dengan muatan yang tak direncanakan.

Esoknya seluruh kampung digemparkan dengan berita kehilangan Bapak, Idon, dan Risa yang tidak mereka kenal semakin membuat mereka bingung. Keadaan diperparah dengan temuan gubuk kebun Bapak yang telah hangus terbakar beserta dua motornya. Pencarian dilakukan sepanjang hari, semua pria kampung berpencar ke penjuru perkebunan. Tidak ada hasil. Satu tempat belum mereka cari. Setelah berunding cukup lama akhirnya mereka memberanikan diri melanggar pantangan dan masuk ke hutan untuk alasan kebaikan. Ketika mereka sampai di ujung hutan berbatas jurang dan menyisirnya, Bapak ditemukan. Tidak bernyawa, kaku bersimbah darah. Belakang tubuhnya penuh lubang, luka tembakan. Hanya itu, Idon dan Risa tidak ada di manapun. Kesedihan ibu berlipat-lipat mendengar kabar. Apalagi saat tubuh bapak sampai di muka rumah berselimut kain hingga kepala. Dia menangis, meraung, meronta menolak kenyataan. Suaminya ditemukan tidak bernyawa, kemungkinan baik apa yang tersisa untuk Idon dan Risa? Begitu pikir ibu. Seluruh warga tak ada yang sanggup berkata menenangkan. Dugaan-dugaan yang mereka bisikkan sama buruknya dengan Ibu. Duka ibu akan berlangsung lama. Jenazah bapak belum bisa dikebumikan. Polisi memintanya untuk keperluan penyidikan. Ibu tidak tahu sampai kapan, dia tak sanggup bertanya atau bersuara. Hari-hari ibu selanjutnya terasa lebih berat dan kesepian.

Idon di sisi lain bermimpi indah. Sang Kakek sedang duduk di ranjang bambu teras bertelanjang dada hanya mengenakan sarung. Ditemani kopi dan rokok linting di apitan telunjuk dan jari manis. Idon yang kembali menjadi anak kecil duduk di sebelahnya memperhatikan serius saat kakek menceritakan dongeng dan legenda kampungnya. Bapak di depannya duduk pada kursi bambu mengenakan singlet dan sarungnya, lalu ibu datang membawa gorengan hangat. Rasanya menyenangkan, Idon tak henti tersenyum lebar. Kakek terus bercerita dengan semangat, tangannya bergerak mencoba menjelaskan kata-katanya. Namun perlahan suara kakek menghilang. Idon bingung, apalagi ketika tubuh kakek perlahan menjauh dari pandangan matanya bersama ranjang bambunya dan hilang di kejauhan. Idon tidak bisa berkata-kata. Dia melihat bapak ingin bertanya tapi bapak yang sedang asik menyesap kopi dan menggigit gorengan hanya bersenda gurau bersama ibu dan tidak mendengarnya. Idon mencoba mengeraskan suaranya tapi tidak keluar apapun dan bayangan ibu dan bapak ikut menjauh seperti kakek. Idon berusaha memanggil mereka, berteriak tapi tetap tak ada suara. Idon menangis takut ditinggal sendiri. Lama dia menangis, berharap seseorang datang dan menjemputnya.

Suara wanita memanggilnya di kejauhan. Risa nampak melambai padanya. Idon senang bukan kepalang, dia bangkit dan berlari menghampirinya, tapi Risa malah berlari menjauhi. Idon kembali ketakutan, dia berlari sekuatnya mengejar agar tidak kembali sendirian. Risa berlari ke pepohonan, Idon mengikutinya hingga akhirnya Idon sampai di depan gubuk kebun durian dengan Bapak dan Risa menunggunya di sana. Idon tertawa berlari bahagia menghampiri. Bapak dan Risa tersenyum menyambut Idon yang hampir tiba. Idon tambah bersemangat hingga sampai di muka gubuk, bapak terjatuh bersimbah darah begitupun Risa, gubuk itu terbakar dilalap api begitu ganas. Lalu brondongan peluru menghujani Idon kecil yang masih terperanga. Idon ketakutan dan berlari ke pepohonan.

Idon berlari, langkahnya tegap dan besar. Tiba-tiba dia kembali dewasa, langkahnya berat, merasakan sesuatu menggantung di pundaknya. Idon menengok belakang. Bapak telah ada dalam gendongannya. Wajahnya pucat sudah tak bernyawa. Idon histeris, dia menangis masih berlari. Kemudian dia merasa kehilangan pijakan, ketika Idon melihat kebawah, pepohonan terlihat jauh dari kakinya. Dia berlari di udara. Idon terkejut dan terjatuh dari ketinggian. Bapak sudah hilang dari gendongannya. Idon menjerit ketakutan.

BAKAT

"Bagaimana keadaannya?" angin berhembus, pepohonan bergoyang menari.

"Dia baik-baik saja. Namun nasib buruk yang baru di alami olehnya lah yang perlu kita khawatirkan." Angin bergerak kembali ke tempat sebelumnya.

Pepohonan di hutan tersembunyi bergoyang khawatir. Menari mengharap kebaikan menghampiri. Lembah berbentuk kawah mengelilingi hutan tersebut. Tiap pohon tampak menunduk, menanti kabar baik dari penyelamat mereka. Idon terbaring di tanah, terbungkus dedaunan dari tanaman obat di hutan. Keringat mengucur dari kepalanya yang menyembul.

"Kabar angin baru saja tiba. Kawan-kawan di utara di bakar oleh manusia. Hanya menunggu waktu hingga kita bisa melihat kabut sisa kehidupan mereka."

Seluruh popohonan langsung sendu, lirih menangis, sebagian terisak tidak mampu menahan sedih. Nyanyian duka cita disuarakan. Menyampaikan kembali kabar duka ke seluruh penjuru dunia yang tersisa.

"Kita tidak bisa... kita tidak bisa diam terus. Kita harus bertahan."

"Atau melawan mereka." Sebagian pohon sudah geram.

"Tidak bisa." salah satu pohon yang menaungi Idon berkata lantang. Batang badannya besar tapi terpendek dari yang lain.

"Kita terikat janji pada Yang Pertama." Pohon di sebelah yang pendek berkata tenang dan mengingatkan yang lainnya. Bentuknya ramping dan lebih tinggi dari pohon sebelahnya.

"Tapi kita semua akan mati jika hanya diam." Sebagian pohon mengutarakan kekhawatirannya.

"Dan kita akan mati bersama manusia." Pohon ketiga berkata penuh wibawa. Sesuai dengan wujudnya yang tinggi besar di antara yang lainnya. pucuknya bahkan menaungi empat pohon lain di kiri dan kanannya yang mengelilingi Idon.

Semua pohon terdiam. Hanya mampu menahan kata-kata dalam hatinya.

"Apa kita tidak punya pilihan?" pohon di ujung kanan bertanya ketakutan. Tubuhnya paling kecil di antara empat pohon sebelahnya.

"Tenang saja. Penyelamat sudah ada di hadapan. Dia akan membantu kita menyelesaikan masalah dengan manusia." Pohon di sebelah kirinya tersenyum. Berusaha menenangkan pohon terkecil.

Kelima pohon itu setuju satu hal, Idon adalah jalan keluar yang sudah mereka nantikan sejak seratus tahun lamanya. Rencana mereka untuk membawa Idon ke hadapan mereka telah berhasil sempurna. Selanjutnya hanyalah menunggu Idon sadar.

Idon terlihat meronta berusaha lepas dari selimut dedaunan. Kepalanya menghentak ke kiri dan kanan meski matanya masih terpejam. Entah apa yang sedang dia mimpikan. Kelima pohon itu tersenyum puas mengelilingi Idon dalam satu akar yang sama. Lima saudara. Para Tetua. 

BakatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang