3. Rama

1.2K 156 3
                                    

Aku memandang di sekitarku. Hanya tembok-tembok pucat membosankan yang sangat tidak sedap dipandang mata. Aku sampai bertanya-bertanya, kenapa tidak di pasang televisi di sini?

Dulu, seingatku, saat menjenguk teman ke rumah sakit, aku melihat ada televisi di ruangan itu. Televisinya menyala pula.

Ya ampun.

Aku lupa.

Beda rumah sakit.

Aku menghembuskan nafas berat. Terasa sedikit nyeri saat aku menurunkan dada.

"Masih sakit banget, Kak?" itu suara Mama.

"Udah mendingan kok, Ma." Ya, kondisiku saat ini tidak separah saat awal alu masuk UGD. Untung saja waktu itu ada An--

"Kak, temen kamu yang kemaren bawa kamu ke sini, gak nengok lagi?" Baru aku ingin membahas Anis, Mama sudah menyebutnya duluan.

"Emang kenapa, Ma?" aku bertanya. Memang tumben-tumbennya Mama bertanya tentang temanku.

"Itu, Mama gak enak sama dia. Dia udah bawa kamu ke sini. Enaknya beliin apa ya?"

"Gak perlu deh, Ma. Nanti kalo aku udah sembuh, biar aku aja yang ngurusin."

Mama tiba-tiba memberikan senyuman yang sangat tidak bisa diartikan dengan kata-kata. Aneh banget. Lalu, sambil tersenyum dia berkata, "Anak Mama udah gede, nih. Ekhmm..."

"Belom gede, kok. Belom dapet SIM."

Mama terbahak mendengar penyataanku. Tapi, ada benarnya kan? Sepertinya, setelah dibenahi, motorku itu akan aku simpan dulu sampai lolos ujian SIM. Kalau sampai patah tulang rusuk lagi kan repot.

"Mah, please...," ujarku sambil memutar bola mata. Aku sedikit kesal melihat Mama tertawa terbahak-bahak seperti itu. Kemarin, aku tertawa paling kencang di antara banyak orang. Tapi, sepertinya setelah kecelakaan ini, intensitas tertawaku harus dikurangi.

Selanjutnya Mama tersenyum sambil melangkah jauh entah kemana. Ke luar sepertinya. Dari sini aku mendengar ada suara Mama sedang berbicara dengan seseorang mungkin perawat. Menanyakan tentang kapan aku bisa pulang.

Ini sudah hari ketiga setelah tiba-tiba ada sebuah motor yang sedikit tidak tahu diri menghantam aku dan motorku tentunya. Saat itu jalanan cukup ramai dan sedikit licin. Tidak tahu dari mana berasal, jalanan seperti habis diguyur air. Air yang licin. Sepertinya ada pipa PDAM yang bocor.

Aku sedang mengendarai motor. Saat aku ingin menyalip sebuah mobil yang ada di kiriku, muncul motor lain dengan kecepatan yang lumayan tinggi dari sebelah kiri mobil itu. Aku terjatuh dengan dramatis (sudah kubilang, jalannya licin, jadi motorku juga agak jauh terpeleset --apakah motor bisa terpeleset?--) dan ada bagian tubuhku yang terpentok tepi trotoar. Saat itu aku tidak sadar yang mana.

Pengendara motor yang menabrakku waktu itu langsung mendirikan lagi mototrnya dan pergi begitu saja. Dia seolah tidak mengalami apa-apa. Berbanding denganku. Untung tanpa selang waktu lama, Anis datang.

Entah dia mendapat pencerahan dari mana sehingga tidak mau menerima tawaran menumpang dariku. Bagus untuknya, karena aku jatuh sendiri. Coba bayangkan kalau aku memboncengi Anis. Korbannya jadi dua, nanti.

Dan bak bagai peri yang manis--ah, dia tidak cocok jadi peri yang manis. Mungkin, akan lebih cocok kalau kusebut pahlawan (pahlawan terdengar lebih garang dari pada seorang peri manis, kan?). Yah, pokoknya begitu.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Manis.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang