Suka dengerin lagu Raisa-kali kedua? Ayo baper 'kan?
Di café langgananku lagi muterin lagu ini pas banget hujan turun dengan deras membuat embun pada kaca café. Cocok banget untuk nginget mantan atau seseorang dari masa lalu yang buat nyesek sampai sekarang.
Kalau bahas ke situ, aku akan cerita tentang dia. Udah lama gak manggil nama dia. Bukan karena udah dapat pengganti atau udah bisa ngelupain dia. Mendekati hal itu saja tidak. Dia tetap ada di hatiku, sedang bersembunyi karena kehendakku. Kehidupanku kini tanpa warna, monoton, jika dicicip rasanya pun hambar. Aku, seorang gadis yang dilanda fase mati rasa. Sebagian dari kalian menyengir, bahkan mengupat diriku. Tak apa, karena aku akan membahas hal ini.
Tentang betapa aku mencintainya.
***
Pagi itu ketika ia lengah, aku memperhatikannya dari jauh. Dalam hati berbisik siapa dia dan kenapa aku bertanya tiap kali bertemu wajahnya. Takdir akhirnya terjadi, firasat yang selalu kuabaikan tersebut mendadak terkabul dan menghancurkan seluruh ruang di hatiku sekarang.
Namanya Habibi. Dan aku suka padanya. Saat melihat matanya yang memerah dan tingkahnya yang seolah meremas jantung miliknya, akibat merasakan luka yang tak nampak darah tersebut. Kebetulan aku menemukan sosoknya itu di salah satu lorong rumah sakit. Dia bersandar di dinding, meringkuk lemas, tak berdaya.
Aku yang melihatnya seolah ingin menghempas plastik hitam dari genggamanku dan berlari ke arahnya. Lalu aku akan bertanya apa ia baik saja. Tapi, kuhentikan langkahku, mengingatkan lagi tentang aku yang bukan siapa-siapa di hidupnya.
Dari jauh kulihat seorang gadis yang seolah menemukannya yang tengah bersembunyi. Gadis itu menutup mulutnya sendiri saking terkejutnya. Pria itu hanya menoleh pada dirinya dengan tatapan kosong, lemah, putus harapan. Kemudian sorotnya berpaling jadi bertemu mataku. Sungguh betapa terkejutnya aku saat itu. Sorot mata menyedihkan, tak berdaya, dan seolah mau kutolong.
Satu langkah maju untuk mencapainya, tapi gadis itu duluan memeluknya, pria yang diam-diam kuintip kehidupannya meski yang kudapat hanya sebuah simbol tanya. Aku meletakan kedua tangan di dada. Persaanku campur aduk saat itu, apa yang akan kulakukan pun hanya nihil. Aku mematung menonton adegan di depan mataku.
Waktu berlalu seakan melambat. Aku diam sampai ia dibawa pergi dalam pelukan gadis lain. Marahpun aku tiada hak.
***
Semenjak hari itu dia lebih murung dari biasanya. Banyak kendala ingin di dekatnya. Dia tak pernah sendiri, meski kutahu, ia sungguh merasa sepi. Namun, sama halnya ketika aku hampir tertipu, kukira ia riang seperti biasanya, bercanda dan tertawa akibat celoteh kawannya. Ternyata tidak. Dia selalu bersembunyi. Seperti sekarang (2 tahun yang lalu saat makan siang).
Aku meletakan kotak bekalku di sampingnya. Ini sudah kurencanakan, baik kotak bekal maupun keberanian untuk di dekatnya, serta tema apa yang akan kuujar nantinya.
Aku duduk dengan santai sengaja mengabaikan kehadirannya. Aku tak perduli lagi dengan HAM atau nilai-nilai kesopanan. Aku hanya geram menengok tingkahnya. Kupastikan senyumnya segera kembali.
Kuambil sumpitku setelah membuka kotak bekal yang berisi dadar gulung buatan mama yang kelezatannya tak tertandingi. Aku melahapnya dengan nikmat. Mataku hanya fokus pada bekal. Jangankan bicara, meliriknya saja takut. Rencana hari ini gagal.
Kemudian, kucoba terus begitu sampai akhirinya ia pindah tempat makan, tidak lagi di taman belakang. Dia kabur dariku? Mungkin. Siapa yang akan tahan terus dihantui gadis asing sepertiku.
Hari ke hari ia tak pernah menampakan diri. Juga tiada kabar darinya lagi. Biasanya dia aktif dalam kegiatan sekolah apapun itu. Sekarang ia berubah drastis semenjak kematian salah satu anggota keluarganya. Apakah Ibu, Ayah, Adik atau Kakak? Batinku hanya bisa diam.
Di sana ia rupanya dengan kotak bekal dan lauk yang sama. Dia bersembunyi di balik tembok lab fisika yang jarang dihinggapi murid. Kotak bekalnya berwarna hitam dengan garis biru kelam, cocok dengan karakternya. Lauknya itu itu saja. Mi goreng.
"Hai," sapaku. Jangan tanya apa yang terbesit di otakku saat itu.
Dia menarik bekal dan tubuhnya menjauh, menatapku dengan waspada dari atas sampai bawah. Aku yang risih dibegitukan dengan bodoh memilih duduk di sampingnya, bersandar di tembok lalu melahap bekalku, nasi dan sayur.
Tak lama ia menutup bekalnya dan meninggalkanku. Aku nyaris mengupat di dalam hati dan bersumpah tak akan pernah peduli padanya.
***
Suatu hari aku berhenti mengayuh sepeda yang kulihat pemandangan asing dan berita khusus untuk diriku. Pria itu lagi, yang kubenci setengah mati namun tak bisa kupungkiri rasa cinta yang terus terpupuk sekalipun aku acuh padanya.
Dia menghampiri salah satu dan memeluk nisan tersebut. Dia lelaki yang cengeng, sayangnya aku tak tertawa karena ia tak menangis ataupun merawung-rawung. Sungguh lancang aku memutuskan untuk menghampirinya. Dia amat terkejut, tentu saja. Lalu merengut.
"Namaku--Aku ingin dekat denganmu Habibi." Sungguh ingin.
Bibirnya terbuka. "Silahkan," katanya dengan senyuman. Senyuman yang tak mampu menipuku. Dia mengambil barang-barangnya, seperti gunting, botol mineral, dan keranjang parsel untuk bunga. "Aku pamit."
Dia beranjak meninggalkanku. Jelas, perkara ini hanya ia buat sambil lalu saja kemudian terlupa. Susah, ya, menaklukan hati seorang yang angkuh. Padahal aslinya rapuh ditiup dikit mungkin hancur remuk kayak hatinya sekarang. Apanya yang sekuat baja, ternyata ia hanya seorang yang lemah.
Pria itu berhenti, berbalik menghadapku, matanya menyalakan api. Aku hanya menatapnya cuek, sedetik kemudian ketika kesempatan habis untukku. Kutahu sudah asal bicara dan kena telak di hatinya.
"Kamu mau tahu. Kalau kamu wanita terlancang dan sok tahu yang pernah kukenal? Maka, enyahlah kamu. Karena aku tak tertarik dengan wanita yang berdada besar!"
Aku naik pitam, berjalan cepat ke arahnya. Lalu meninggalkan ia dengan bekas tamparan di wajah. Esok dan hari berikutnya aku tak akan mau melihatnya lagi. Apa bedanya ia denganku. Kata-kata itu terlontar tajam dan menggema di pemakaman. Dasar orang sinting!
***
Di kantin ia mengejarku dan berusaha menarik tanganku. Ada masalah apa, ada angin apa, ada butuh apa Tuan itu mencariku. Yang kulakukan hanya menghidarinya. Melihat tampangnya membuatku geram setengah mati.
"Tunggu!" katanya begitu mendesak dan memerintah. Aku nyaris menepisnya kalau bukan dengan sigap ia menggenggam kasar pergelangan tanganku. "Ikuti aku!" perintahnya, menyeret paksa tanganku. Aku di belakangnya mengekor dan berkoar tidak terima.
Di belakang perpus, dia menciumku. Sekali lagi, aku naik pitam. Menghajar bibirnya hingga berdarah mendorongnya hingga tersungkur. Bagai dinodai, tangisku pecah, dan kakiku berlari tanpa arah, mengabaikan semua mata yang memandang tanya. Persetan. Aku benci pria itu.
***
Aku tak pernah lagi menemukannya. Istilah kasarnya memang tak mau bertemu dengannya. Mati saja ia menyusul keluarganya. Berhari-hari, berbulan-bulan setelah kejadian itu hampir tiap detik aku mengutuknya. Aku memilih makan di kelas mengabaikan ajakan temanku. Sampai akhirnya aku mendengar kabar kematiaannya.
Habibi bunuh diri, dia meninggalkan alamku. Mendadak. Dan termakan akan waktu. Dan aku menyesal, menyesal di tiap detiknya.
Jika membahas ia, mendekati lupa pun tidak. Ia takkan pernah terlupa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
أدب المراهقينKumpulan Cerpen dengan semua genre. (Hanya fiksi belaka, karya : RujakRezakIshaq) Teruntuk pembaca. :)