Dia lagi.
Cowok yang lagi main basket di lapangan siang-siang itu, kembali menjadi objek pandanganku.
Dia cuman sendiri. Gak ada siapapun selain dia di lapangan ini.
Eh, ada deng, aku.
Tapi apa enaknya sih, main basket sendirian? Enakan ada teman, bisa diajak duel. Kan, lebih seru.
Dasar cowok aneh.
Tapi tetep cinta dong.
Eh?
Aku menggeleng pelan, mencoba menghapus pikiran-pikiran konyolku itu, dan kembali fokus pada satu titik.
Cowok di hadapanku mulai beraksi dengan bola yang berada di tangannya. Dengan gesit, dia men-dribbel bola layaknya pemain Lakers professional, lalu sedikit melompat, melempar bola basket tersebut dan teng!
Masuk dengan sempurna tanpa menyentuh pinggir ring sekalipun.
“HOREEEEEE!!!” seruku sambil meloncat.
Cowok itu menghentikan gerakannya yang hendak kembali melakukan shot, lalu menatapku sinis. Ia mendengus sebelum kembali melanjutkan permainannya, tanpa merubris kehadiraku, as always. Tapi seperti biasa juga, aku gak peduli dan berlari menghampirinya sambil membawa sebotol air mineral yang telah kupersiapkan untuknya sebelum datang ke tempat ini.
Aku anaknya perhatian, ya?
Hahaha.
“Kaf, permainan kamu hebat banget. Salut aku sama kamu!” pujiku tulus.
Cowok itu mengangkat sebelah alisnya. Tampak sama sekali tidak terkesan dengan pujianku. Malahan, dia memasang wajah datar yang sudah menjadi ciri khas dirinya.
“Kafkaaaaaa, kok bengong, sih? Capek banget ya? Nih, minum dulu,”
Aku menyodorkan air mineral tersebut ke hadapannya, tetapi Kafka justru mendengus lalu bersiap melangkah meninggalkanku. Tanganku dengan cepat terulur mehanan tangannya, membuatnya mendelik tajam padaku.
“Kafkaaa, sebelum kamu pergi, kamu harus minum dulu. Kamu kan habis main. Tuh, liat tuh, muka kamu penuh keringatnya. Kamu bakalan kekurangan cairan dan aku gak mau kamu sampai pingsan atau-“
“Berisik lo.”
Kafka merampas air mineral tersebut dari tanganku, lalu melenggang menjauhi lapangan. Meninggalkanku seorang diri dengan senyum lebar yang ia tinggalkan.
Kafka orangnya ribet, yak?
Sama ribetnya dengan fisika dan embel-embelnya.
Tapi, Kafka lebih ribet deh kayaknya. Fisika sih mending ada rumusnya. Kafka? Gak tau harus pakai cara apa supaya bisa memecahkan apa yang berada di dalam otaknya, apa yang selalu dipikirkannya. Karena kalau diliat-liat, hidupnya itu gak pernah susah. Flat, tapi santai aja.
Hah.
Tuh anak memang susah ditebak. Tetapi itulah yang bikin semua orang tertarik dan penasaran dengan dia.
Termasuk aku, yang sudah lebih 1 tahun menjadi murid di SMA Nusa Bakti sekaligus menjabat sebagai “penguntit” setia seorang Kafka Adinata selama itu juga.
Menurut kalian, mungkin sangat membosankan, peduli dengan seseorang yang sama sekali gak peduli denganmu. Tapi menurut aku, memperhatikan Kafka dan memastikannya baik-baik aja udah sangat lebih dari cukup buat aku.
Walaupun dia gak pernah menganggap dan menyadari itu semua.
Sakit memang. Tapi aku tetap bahagia.
Selain perhatian, aku memang tegar, ya?
So sad.
-
Waktu itu, aku terpaksa pulang terlambat dari sekolah untuk mengikuti ulangan susulan karena ketidakhadiranku minggu lalu saat diadakannya ulangan harian itu. Untung saja mata pelajaran biologi, kalau saja fisika, matematika atau kimia, aku tidak yakin untuk mengerjakannya dan memilih pulang karena nilaiku pasti akan sama saja jika tidak mengikuti ulangan.
Setelah kurang lebih 30 menit, akhirnya aku bisa menyelesaikan soal 10 nomor tersebut. Tidak terlalu susah. Namun tidak bisa dikatakan gampang. Kemudian aku bergegas keluar dari ruang guru dan mendapati masih banyak siswa cowok yang tinggal di lapangan bermain basket. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, mereka tampak tidak perduli dengan matahari yang menyengat tubuh mereka.
Aku masih menerawang menatap lapangan sampai sebuah bola berwarna oranye tau-tau terbang ke arahku, membuatku sontak memejamkan mata sekaligus membeku di tempat, tidak tau harus menghindar bagaimana.
Sepersekian detik, aku tidak merasakan kerasnya bola itu menyambarku. Perlahan, aku membuka mata dan hal pertama kali yang kuliat adalah punggung seseorang berdiri tegak membelakangiku sambil memegang bola terkutuk itu.
“Kalau main, yang bener. Jangan asal main aja!” sayup-sayup kudengar seruan orang itu sebelum melemparkan bola dengan asal ke lapangan. Namun siapa sangka, bola itu malah masuk dengan sukses ke dalam ring. Membuatku dan orang-orang di lapangan tercengang.
“Lo nggak apa-apa?” tanya orang itu. Aku melihat siluet dirinya yang tertimpa cahaya matahari, membungkuk sedikit untuk menyamakan posisi tubuh kami yang berbanding sangat jauh.
“Eh, iya. Gue nggak apa-apa.” jawabku gugup, terhipnotis dengan mata coklat beningnya sedang menatapku dalam.
“Bagus deh, lain kali hati-hati.” katanya singkat, lalu segera berlalu dari lapangan.
Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh sambil tersenyum hangat. Ketika mengingat sesuatu, aku langsung berteriak kepadanya.
“TERIMA KASIH, YAAA!”
Orang itu menoleh dan hanya memberikanku senyum tipis, lalu kembali melangkah dan akhirnya menghilang di belokan. Lama aku belum beranjak dari tempatku berdiri, masih terbayang-bayang akan mata coklat beningnya yang membuat jantungku melakukan lari marathon, sampai akhirnya ada sentilan rasa menyesal di dalam hatiku begitu menyadari sesuatu.
Aku tidak sempat menanyakan namanya.
-
Setelah menjadi detektif dan mata-mata selama dua minggu lebih.
Akhirnya aku mengetahui nama pangeran penolongku.
Kafka Adinata.
Nama yang keren, sesuai dengan penyandang nama tersebut.
Selain aku mengetahui namanya, dari hasil mata-mataku, aku mengetahui banyak hal tentang dirinya.
Kafka sosok pendiam yang lebih memilih duduk di dalam kelas sekedar membaca buku atau mendengarkan musik. Dan bagi yang berpikir bahwa Kafka itu pintar, kalian salah besar.
Dia paling lemah dalam bidang pelajaran IPA dalam kurung, kecuali fisika karena itu adalah mata pelajaran yang disukainya, selain olahraga dan sejarah.
Yang kedua, dia paling gak suka dengan coklat. Sampai sekarang aku gak ngerti dengan hal tersebut, bagaimana bisa dia gak suka makanan “moodboster” itu?
Yang ketiga, dia cukup terkenal di kalangan sekolah. Apalagi siswa ceweknya. Bagaimana tidak? Sosok Kafka bisa dikatakan oke dilihat dari sisi manapun. Hanya orang tidak normal yang tidak menyetujui pendapatku yang mewakili pendapat cewek-cewek SMA Nusa Bakti.
Yang keempat dan seterusnya masih banyak lagi. Hal-hal yang semakin membuatku penasaran dengannya.
Membuatku semakin ingin mengenalnya lebih jauh.
Membuatku semakin ingin memilikinya.
Eh?
-
To Be Continue.
Comment, yak! Makasih :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Things About Us
Teen FictionSaat kali pertama kita bertemu, Aku mulai percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar adanya. Saat pertemuan kita terus berlanjut, Aku mulai percaya tidak selamanya cerita berakhir bahagia selamanya. Kecuali, jika kau sebagai pemeran utaman...