Tiga

28 2 0
                                    

Keesokan harinya, Adri kembali dipanggil oleh bu Susi. Kali ini saat istirahat pertama, jadi Adri masih bisa melihat Kafka latihan saat pulang nanti.

“Masuk, Adri.” sahut bu Susi ketika menyadari kehadiran Adri di depan pintu ruangannya.

Adri kemudian duduk di salah satu tempat duduk di depan meja bu Susi.

“Adri, seperti yang saya sudah utarakan kemarin, saya punya solusi untuk kamu agar nilai fisika kamu tidak seperti ini lagi.”

Adri mengangguk-angguk mengerti, menunggu kelanjutan ucapan bu Susi.

“Saya punya dua pilihan. Kamu remedial langsung dengan pak Herman atau remedial sekaligus diberi belajar tambahan sepulang sekolah dengan peluang nilai kamu lebih tinggi daripada hanya remedial saja.”

Pilihan yang cukup sulit.

Jika ia memilih pilihan pertama, ia takut nilai fisikanya rendah dan tidak bisa lulus ujian.

Sedangkan pilihan kedua, itu berarti ia harus selalu pulang terlambat dan waktu untuk bertemu Kafka semakin kecil.

“Jadi, belajar tambahannya itu sampai  kapan bu?” tanya Adri.

“Hanya kurang lebih dua bulan dan setelah itu kita lihat perkembangan nilai kamu, apakah masih tetap atau meningkat. Kalau masih saja seperti itu, waktu belajar tambahan kamu akan ditambah hingga Ujian Nasional.”

Hah, sampai Ujian Nasional?

Berarti dia akan menghabiskan sekitar kurang lebih enam bulan dengan pulang terlambat?

Adri mendadak linglung memikirkannya.

“Jadi, bagaimana?” tanya bu Susi tidak sabar.

“Umm…. Kalau aku jawab besok, bisa kan bu?” Adri mengernyit ragu menunggu jawaban bu Susi. Masalahnya, dia tidak mau salah pilih. Hal ini harus dibicarakan dengan kak Raihan dulu karena Adri yakin keputusan kak Raihan gak pernah salah.

“Baiklah kalau itu mau kamu. Sekarang, kamu bisa keluar dari ruangan saya.”

Adri bernafas lega. Setelah mengucapkan terima kasih, ia segera meninggalkan ruangan bu Susi kemudian menuju kantin membeli sesuatu yang dapat memperbaiki moodnya. Mumpung masih ada sepuluh menit waktu istirahat yang tersisa, Adri ingin menghabiskan waktu itu di kantin.

Setelah memesan satu porsi green tea dan bak mie. Adri segera mencari tempat yang kosong. Namun baru saja ia melangkah hendak menghampiri tempat yang dilihatnya kosong, seseorang menyenggol lengannya, membuat tubuhnya limbung dan hampir terjatuh jika saja seseorang tidak menahan bahunya.

“Lo lagi. Lain kali hati-hati.” bisik seseorang di belakangnya, suara yang sangat dikenalnya dan seketika membuat jantung Adri mendadak lari marathon.

Ketika tangan itu mendorong bahunya pelan agar kembali berdiri, baru saat itulah Adri sadar dengan situasi sekelilingnya.

Kafka mendengus melihat seragamnya yang sudah tidak berbentuk dan berubah menjadi warna hijau. Ditatapnya Adri yang hanya bisa mematung di hadapannya. “Good, lo udah bikin baju gue basah sekaligus bikin kita jadi pusat perhatian.”

Kafka lalu melenggang pergi meninggalkan kantin dengan Adri yang memburu Kafka di belakangnya.

“KAFKAA TUNGGU!!”

Adri berusaha menyamakan langkah Kafka yang sangat cepat dan posisi Kafka yang berada lima meter di hadapannya. Namun, ia kelawahan, ia tidak bisa lari dengan cepat untuk menyamakan posisinya dengan Kafka yang sudah terlewat jauh. Mendadak tubuhnya terasa lemas sampai akhirnya kedua kakinya tidak bisa menopang tubuhnya lebih lama lagi, membuat tubuhnya ambruk di lantai.

Things About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang