"Nice performance you did there, Lis. Nyanyinya pake perasaan banget nih, tumben" Nico menyalamiku.
Yah, gimana mau tanpa perasaan, kalau orang yang selama ini terjebak di benakku kini ada di depan mata. Dengan wanita lain,pula.
"Hahahaha iya nih, Nic. Malem ini gue a little bit mellow. Nggak tau juga kenapa"
Bohong. Aku agak bersyukur karena selama ini bisa berbohong tanpa terlihat begitu mencurigakan. Bukannya aku ingin berbohong yang aneh-aneh, tapi kadang-kadang skill berbohong memang diperlukan.
"Keliatan banget sih mendalami lagunya tadi, tapi justru jadi keren kok."
Kata Nico yang hanya kubalas dengan tawa."Oiya, gaji lo bulan ini udah bisa diambil tuh katanya di Abang. Ambil gih sana" tambahnya sembari menunjuk pria yang duduk di kursi bar. Dipanggil Abang, karena ia pemilik cafe sekaligus managernya, dan ia jauh lebih tua dariku.
"Oke deh, nanti gue ambil. Anyway, besok kayanya gue nggak bisa tampil dulu ya, mau daftar bimbel nih hehehe"
"Ciee yang sebentar lagi lulus, jadi mau ambil kuliah di Jerman?"
Aku mengangguk kemudian mengambil handuk kecil di dalam tasku. Agaknya panas di hati ini terasa sampai kemana-mana.
"Siapa nih yang mau kuliah di Jerman?" tanya sebuah suara dari belakang kami. Spontan kami menoleh, mendapati Abang tersenyum kepada kami.
"Ini bang, Elisa. Sampe kerja sampingan gini kan buat les bahasa Jerman" jawab Nico sembari menepuk pundakku.
Sebenarnya bukan hanya itu sih alasanku bekerja disini. Benar, sebagian besar karena tidak mau merepotkan orangtuaku membayar les bahasa Jerman yang lumayan mahal, juga menyalurkan hobiku bernyanyi, namun ada banyak faktor lainnya. Aku tak peduli orang-orang berkata apa tentangku yang bekerja walau masih duduk di bangku SMA. Asal sudah cukup umur, yang sudah aku penuhi karena sudah 17 tahun maret lalu, dan asal senang, kenapa tidak?
"Oh, jadi gituu. Semangat terus ya Lis, saya yakin kamu pasti bisa."
"Kok bisa yakin bang? Kan Abang nggak tau nilai saya di sekolah gimana" Tanyaku tertawa.
Aku dan Abang memang jarang sekali bertemu, selain karena ia jarang terlihat di cafe juga karena aku yang biasanya hanya datang untuk menyanyi kemudian langsung pulang.
"Soalnya abang kamu berhasil ke Jerman kan? Masa adiknya nggak bisaa..." Jawabnya sembari mengacak rambutku pelan.
Aku agak tersentak setelah itu. Aneh rasanya, mengingat ia tak pernah melibatkan kontak fisik saat berbincang denganku sebelumnya. Ia segera menarik tangannya kemudian kami berdua terdiam canggung beberapa saat, sementara Nico sudah sibuk dengan minuman yang ia pesan.
"Yah maaf Lis, rambut kamu jadi berantakan" katanya beberapa saat kemudian.
"Eh iya gapapa bang, udah mau pulang ini." Jawabku yang kemudian malah merapihkan rambutku yang sekarang berantakan. Lalu aku melirik jam, mendapati pukul 21.15 tertulis disana. Astaga, besok hari senin!
"Bang, Nic, pulang duluan yaa!" Aku melambai pada mereka kemudian berjalan keluar cafe.
Diluar hujan deras, ditambah aroma kopi yang menguar dari pintu cafe yang terbuka. Perpaduan aroma kopi dan hujan pernah menjadi favoritku. Kini sudah kucoret dan masuk ke daftar hal-hal yang tak ingin kuingat.
Ironis, ketika dua hal yang mulanya merupakan bagian terindah dalam hidupku kini menjadi hal yang paling tak ingin kutemui, berkat kenangan pahit itu.
Menunggu hujan berhenti merupakan pilihan terbaik saat ini. Aku selalu takut pada tetesan air hujan sejak saat itu, takut kembali teringat tentangnya, yang kini masih duduk di dalam sana, menggenggam tangan wanita dihadapannya.
Setetes air mengalir di pipiku, seirama dengan tetesan hujan itu.