Mantra

46 1 0
                                    


Namaku Awan, Awan Abner , usiaku 9 tahun. Aku sangat suka sekali melihat langit yang luas tak bertepi sembari ditemani tiupan angin yang sepoi-sepoi. Banyak yang bilang aku cengeng, perasaanku halus, sensitif, akh...masih banyak istilah lainnya yang kudengar baik dari teman maupun keluarga. Kuakui beberapa sebutan itu terkadang mengangguku, tapi memang aku tak bisa berbuat banyak selain menangis apabila ada hal- hal yang menurut pandanganku cukup sentimentil.

Seperti kejadian yang baru saja terjadi, hanya karena ditegur sang Bunda air mata Awan rasanya ingin tumpah, makanya Ia segera menuju balkon untuk menghilangkan rasa sedih di hatinya. Langit yang luas membuat Awan terhanyut , menghantarkan Ia pada khayalan yang semu.

"Seandainya aku punya benda ajaib yang bisa membantuku dalam setiap masalah..," pikirnya.

"Kayak doraemon..," katanya pelan sambil tersenyum tipis.

"hmm...hanya dengan mengucapkan mantra semua masalah dapat diatasi..," katanya sambil mengedipkan mata dan menjentikkan jari.

"mmm....apa yah mantranya?," katanya sambil berpikir.

"ahaaaaa, ini dia mantranya AJUJU!!," Awan mengucapkannya dengan semangat sambil mengepalkan tangan di udara dan mengedipkan matanya.

Suasana hening, Awan seakan menunggu keajaiban terjadi, namun yang ada hanyalah desiran angin diiringi cuitan burung-burung yang bertengger di batang pohon mangga. Tak lama kemudian Awan tertawa, Ia merasa geli sendiri dengan mantra dan gaya yang baru saja Ia ciptakan. Hari sudah mulai gelap, rupanya tanpa disadari Ia sudah terlalu lama berada di balkon . " Sebentar lagi maghrib, aku harus segera mandi," kata Awan mengingatkan dirinya sendiri.

Di kamarnya Awan menyalakan TV, Ia sedang menunggu program kartun kesukaannya, namun yang ada hanyalah program berita berita kriminal saja.

"Lah.., jam segini kan mana ada lagi berita, sekarang kan sudah masuk programnya acara anak-anak." Gumam Awan.

Awan melihat ke arah jam dinding yang menggantung di atas pintu kamarnya. Ia mengerutkan alisnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

"Hah??, baru jam 3?," Ia mengusap-usap matanya. Kemudian Ia berjalan menuju jendela kamarnya dan membuka tirainya. "Di luar padahal sudah gelap sekali..," katanya penuh tanya.

"Bu...,Ibu.....," Awan memanggil-manggil Ibunya, namun tak ada jawaban dari Ibunya. "Kemana Ibu?," Ia bertanya pada dirinya sendiri. "Ini aneh..., sekarang masih jam 3, tapi di luar sudah gelap sekali...," kata Awan.

Tiba-tiba Awan dikagetkan oleh suara menggelegar disertai dengan kilatan cahaya yang membelah langit dan seolah-olah masuk ke dalam kamar Awan.

Awan kaget bukan kepalang, Ia melompat beberapa senti dari lantai kemudian melesat sembunyi ke bawah kolong meja belajarnya, Ia ketakutan, badannya meringkuk bagai tringgiling di sana.

Kilatan cahaya menari-nari di dalam kamar Awan diiringi dengan suara gemuruh angin yang menderu -deru, benda-benda beterbangan saling tabrak. Awan semakin ketakutan, dipejamkan matanya sambil mulutnya komat-kamit berdoa, tiba -tiba ada sesuatu terjatuh menggelinding menyentuh kakinya.

"Kletak!," sebuah Mug jatuh berguling-guling dan berhenti tepat di samping kaki Awan, Awan yang sudah sangat ketakutan sehinga tanpa disadari air mata sudah mulai tumpah membasahi pipinya. Tanpa pikir panjang Awan meraih mug favoritnya dan memeluk mug itu dengan sangat kuat. Sambil memeluk mug itu Awan sedikit heran, kenapa mug ini tidak pecah seperti barang-barang lainnya?.

"Aneh...," pikir Awan. Pikiran itu kemudian berlalu begitu saja, angin di kamar awan berputar-putar semakin kencang, hampir saja meja belajar Awan terbang melayang, namun sukurlah meja belajar Awan cukup atau mungkin sangat berat.

Satu menit telah berlalu, namun semuanya masih belum berakhir, Awan hanya bisa pasrah. Ia masih memeluk erat mug favoritnya, sambil memeluk mug Awan membatin. "Seandainya aku seperti mug ini.., sangat kuat, meskipun ia diterpa angin, bahkan terhempas ke lantai pun masih tetap dalam keadaan utuh, andai saja aku sekuat itu, tidak seperti sekarang meringkuk lemah dan menangis di bawah kolong meja belajar. .Hiks!, aku mohon berhentilah angin..," Harap Awan sambil menyeka air matanya.

Tiba tiba terdengar bunyi retakan kaca.

"Kraak!." Awan makin kaget, mug yang tadi utuh tanpa goresan sedikitpun sekarang memiliki retakan kecil di pinggirannya, di detik itu juga memancar sekelebat cahaya yang berasal dari mug tersebut. Cahaya itu menyilaukan Awan, tanpa sengaja mug terlepas dari tangannya dan terjatuh ke lantai.

Keadaan sudah kembali tenang, namun kamar Awan sekacau perasaannya. Benda -benda berserakan di lantai. Awan keluar dari bawah kolong meja, kepalanya pusing dan nafasnya memburu. Kejadian tadi seakan mimpi, hanya dengan melihat kondisi kamarlah Awan sadar kalau itu semua adalah nyata. Tak lama kemudian Ibunya memanggil Awan dari lantai bawah. Awan seakan mendengar suara petir sekali lagi, Ia kaget dan panik. Apa kata Ibunya bila Ia melihat kondisi kamar Awan yang bak kapal pecah ini, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah membereskan kekacauan di kamar ini secepat kilat, sebelum Ibunya datang dan melihat semua ini.

Awan memungut mugnya yang tergeletak tepat diujung jari kakinya. Terdengar hentakan kaki ibunya menyusuri anak tangga menuju kamar Awan. Awan berdiri mematung sembari memeluk mug yang tadi dipegangnya . Di dalam hatinya dengan mata terpejam ia berharap kamarnya menjadi rapi sebelum ibunya tiba, namun itu merupakan hal yang mustahil terjadi .

"Kreett..," suara pintu kamar Awan terbuka. " Wan...," panggil Ibunya pelan. "Ada apa , kok kedengarannya gaduh sekali, apa yang sedang kamu lakukan tadi?," Tanya Ibunya. Masih sambil memejamkan matanya Awan berkata kepada Ibunya. "Maaf ya Bu, kamarnya berantakan..," kata Awan pelan. "Mimpi kamu yah?, enggak berantakan kok, biasa aja..," kata Ibunya keheranan.

Awan membuka matanya, Awan terkejut, matanya seakan-akan hendak melompat keluar . Ia tak percaya, dikerjap-kerjapkan matanya, mulutnya menganga lebar.

"Hah?, ini tidak mungkin terjadi." Ia pun menoleh ke arah jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul 3.30 sore. Awan masih merasa bingung sampai Ibunya menegur Awan. "Wan..., kamu tidak apa-apa nak?," tanya Ibunya mulai merasa khawatir.

"Apa Ibu terlalu keras padamu Nak akhir-akhir ini?," tanya Ibunya sambil mengusap kepala Awan.

"eh..Nak," kali ini suara Ibunya agak terkejut.

"Mugnya retak," kata Ibu sambil menunjuk ke mug.

"Ah...iya", kata Awan.

Lagi lagi Awan dibuat terkejut, mugnya memang retak tapi retakannya tidak seperti pertama kali ia liat. Retakannya menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Ia mencoba mengingat kapan mugnya terjatuh lagi?, Namun ia tak bisa mengingatnya.

penguat hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang