3. With You

42 5 0
                                    

A story by belyric

------------------

"Ada masanya, seseorang merasakan jatuh cinta, ketika jantung sudah tidak berdetak lagi."

-Kepedihan yang terpendam.

- [ D O N E ] -

Awan hitam menggantung di cakrawala. Gemintang ikut turut serta, meneteskan air mata di atas permukaan tanah. Langit seolah berdetak, menjadi saksi bisu di tengah-tengah kami yang sedang berdiri di bawah hujan.

Raut wajahnya berubah menjadi gelisah ketika kami bermain hujan. Padahal, seharusnya ia tertawa senang. Aku mendekat, lalu menepuk pelan bahunya yang telah di balut oleh pakaian basah.
"Raf, lo kenapa?"

Dia terdiam.

"Raf," panggilku lagi.

Lagi-lagi dia hanya terdiam.

"RAF!" Suaraku mulai meninggi.

Namun, tetap saja.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Seolah bibirnya tertahan oleh sesuatu hingga tidak bisa bersuara.

Hujan turun semakin deras. Angin berembus sangat kencang, membuat darahku berdesir perlahan.

Akhirnya ia berbicara dengan nada berat yang tak pernah kudengar sebelumnya. "Sebaiknya, kita minggir dulu. Hujannya makin deres."

Aku menaikkan alisku. "Lo kenapa sih, Raf? Lo itu beda banget akhir-akhir ini!" teriakku kesal. Aku menghela napas panjang. "Lo bukan Rafael Hendranata yang gue kenal!"

Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengucapkan, "Gue memang bukan Rafael."

Aku menelan ludah sangat dalam. "Maksud lo apa?"

"Gue bukan Rafael," ulangnya. "Rafael yang lo kenal-" Hening. Ia menggantungkan ucapannya. Tubuhnya bergerak dengan resah seolah bimbang mengatakannya atau tidak. "Di-dia udah nggak ada di dunia ini. Dia sudah bahagia di atas."

Tubuhku menegang. Diam terpaku, tak bergerak sedikit pun. Otakku masih mencerna apa yang baru ia katakan. Aku menggigit bibir bawah. Setitik air mataku langsung meluruh seketika.

Aku menarik kerah kemejanya. "Lo bohong ya? Lo pasti Rafael 'kan? Plis, Raf. Jangan bercanda!"

Sayangnya dia menjawab, "Gue selalu serius dan nggak pernah bercanda."

Suara tetes air hujan merambat masuk ke indra pendengaranku. Semua ini terasa nyata. Aku menampar keras pipiku. Memastikan bahwa ini hanyalah mimpi. Tapi, tak bisa. Semua ini nyata.

Air mataku langsung jatuh berlinangan bersama dengan air mata langit. Menangis dalam kenyataan yang begitu menusuk. Sepenggal harapan demi harapan yang kubangun kini pupus seketika, tak ada yang tersisa.

Aku mengepalkan kedua tanganku. Tubuhku rasanya lemas, tak berdaya. Lututku tak berpenyangga. Detik itu juga, aku merosot jatuh terduduk di atas aspal yang dingin.

Aku memejamkan mata. Memoriku bersama Rafael bermunculan saat itu juga.

Saat kami pertama kali bertemu.

Saat kami mulai bersahabat.

Saat kami berbagi tawa dan canda.

Saat aku menggeram marah ke dia.

Saat dia menjahiliku.

Tanpa aku sadari, sebuah lengan merengkuh tubuhku. Mendekapnya melalui sebuah pelukan.

Kubalas pelukannya.

Menumpahkan segala perasaanku.

Menyalurkan seluruh sesak yang menghimpit dadaku.

"Rachel, tenang. Jangan nangis lagi." Dia mengelus pelan pundakku. "Dia nggak beritahu lo karena dia nggak mau lo khawatir sama nggak fokus ke kehidupan lo."

"Dia sebenarnya kenapa? Ceritain ke gue. Tolong," bisikku sangat pelan teredam suara hujan yang menggelegar.

Beberapa menit kemudian dia mengangguk pelan. "Dia sakit dari dulu. Kanker otak."

Aku terdiam.

"Semua usaha sudah dia lakuin. Kemoterapi, radioterapi, sarang semut, dan operasi. Tapi sama saja, bukannya membaik tapi kondisinya semakin memburuk."

Aku hanya mendengarkan.

"Semakin lama, kanker itu semakin ganas. Berulang kali, Rafael mimisan, pusing, dan pingsan."

Napasku tertahan.

"Hingga, seminggu yang lalu, ia mengembuskan napas terakhirnya."

Lagi-lagi air mataku tumpah. Bayangan akan suara yang memanggil namaku, menatap mataku dengan sorot kehangatan kini terpecah menjadi angan-angan belaka yang terus membelenggu.

Waktu seperti ditarik mudur di otakku. Semua kejadian kembali direka ulang. Hari-hari indah yang dulu kurajut dengannya. Hidupku yang kalanya berwarna sekarang menjadi hampa, tak berisi.

Semua itu hanya karena dia, dia, dan dia.

Aku merasakannya. Kesedihan yang mendalam. Menyadari apa yang dulu selalu menemani hari, kini sudah pergi dan tidak ada di sini lagi. Semua itu sirna. Menjadi kepihan-kepihan kenangan.

Perlahan, aku melepaskan pelukannya, menatap wajahnya yang telah dihiasi oleh titik-titik air dengan mataku yang masih menahan beberapa tetes air mata. "Te-terus lo-lo si-siapa?"

"Nama gue nggak penting. Yang penting, tugas gue sekarang ngegantiin posisi Rafael."

Ia tersenyum tipis.

Dan seuntai kalimat kembali keluar dari mulutnya.

"Jadi, bisakah kita mulai segalanya dari awal?"

-Tamat-

The Winner Of Event II & OpmemWo Geschichten leben. Entdecke jetzt