Tiga

14K 1.4K 31
                                    

Keesokkan harinya sosok laki-laki yang baru masuk di kelasnya membuat Maya menyenggol bahu Sia.

"Si, gue nggak nyangka kalau Melky juga masuk sekolah ini! Apa karena lo masuk sekolah ini ya jadi dia ikut mendaftar ke sekolah ini?" tebak Maya penuh selidik layaknya seorang detektif amatiran.

Sia mengangkat sebelah tangannya dan mendorong kepala Maya yang duduk di sebeleahnya dengan jari telunjuknya.

"Ngaco aja terus lo! Gue penasaran sama isi otak lo itu. Ada aja perkataan lo yang nggak masuk akal," omel Sia sambil menahan kepalanya dengan sebelah tangannya yang bebas. Bukannya marah, Maya hanya memberikan cengiran kedamaiannya.

Tepukan tangan di depan kelas berhasil membuat pandangan semua murid di kelas ini teralihkan.

"Baiklah anak-anak, sebentar lagi akan diadakan demo ekstrakurikuler yang ada di sekolah ini. Ibu harap dengan demo ini membuat kalian merasa tertarik untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler! Karena bagaimana pun kegiatan ini dapat membantu nilai kalian kelak..." kata Ibu Nani, wali kelas sepuluh tiga. Seorang wanita paruh baya dengan tubuh yang besarnya hampir menyamai lebarnya pintu kelas. "Baiklah, sekarang kalian boleh keluar dan menikmati acaranya," lanjutnya mengakhiri pidatonya.

Acara dimulai dari demo ekstrakurikuler taekwondo, sedikit menyeramkan menurut Maya yang berbisik tepat ditelinga Sia. "Gue nggak mau masuk yang ini, Si. Nyokap bisa kaget liat gue mecahin batu bata kaya begitu. Waktu gue mecahin piring aja nyokap udah histeris, apalagi kalau gue mecahin batu bata kaya begitu," katanya sambil bergidik ngeri. Sia hanya menggelengkan kepalanya. Jelaslah nyokapnya histeris, wong yang dipecahin sama Maya piring kesayangan nyokapnya yang khusus dibeli wanita paruh baya itu di China.

Berikutnya dilanjutkan dengan penampilan para pemain voli. Cukup bagus, namun kebanyakan dari mereka anggotanya perempuan.

"Si, gue juga nggak mau yang ini. Kalau anggotanya kebanyakan cewek begitu, kapan ada cowok yang nyantol ma gue?"

Kemudian, berikutnya setelah itu ada penampilan dari para siswa-siswi dengan ekstrakurikuler yang mereka kuasai. Dan terakhir adalah demo basket putera dan puteri.

Dengan ekspresi bosan yang tampak jelas di wajah Sia, sampai-sampai ia menguap terlalu besar.

"Kayanya semalem ada yang bergadang ya?" Sebuah suara bariton membuat Sia menolehkan kepalanya dengan kecepatan melebih mobil formula one. Dan ketika pandangan matanya bertemu dengan iris cokelat milik William yang telah mengenakan pakaian basketnya. Nomor tujuh tertulis di sisi dadanya. Membuat Sia berpikir, apakah William menyukai nomor tujuh? Jika iya kebetulan sekali, ulang tahun Sia tanggal tujuh Januari.

"Lo?" Maya yang duduk disebelah Sia hanya diam dan memerhatikan debat keduanya sambil memandang William dengan mata terkagum-kagum. Kalau dari deket ketua OSIS jadi kelihatan lebih ganteng. Bahkan Stefan William pun lewat!

"Hey Sia. Kebetulan gue lewat sini dan liat lo yang lagi nguap," sapa William sambil terkekeh tanpa rasa bersalah.

Bibir Sia membulat. "Gue kira lo stalking gue."

"Nggaklah. By the way, abis ini gue tampil. Kasih semangat ya buat gue."

"Hah? Harus gitu?"

Maya memukul lengan Sia. Membuat keduanya menoleh ke arah Maya. "Apaan sih May?" protes Sia sambil mengusap tangannya yang habis di pukul oleh Maya. Namun temannya itu hanya memberikan senyum terpaksanya.

"Ya udah, gue cabut dulu ya. At least gue harap lo nggak bosen liat gue tanding nanti."

Sia memilih untuk diam. Dan tanpa menunggu lebih lama, William pamit dan beranjak dari situ.
Setelah kepergian William, Maya langsung menodong Sia dengan banyak pertanyaan dan omelan. Tapi pandangan mata Sia yang bertemu dengan seseorang di seberang lapangan, membuat kata-kata yang keluar dari bibir Maya seperti dengungan lebah. Sia tahu, tatapan dingin milik Lia membuktikan jika di mata kakaknya itu ia pasti telah melakukan kesalahan. Tapi apa salahnya?

Pertandingan semakin sengit ketika skor yang dicapai seri di babak terakhir menuju akhir pertandingan, dua puluh delapan sama. Butiran peluh terus mengalir di seluruh tubuh William. Bahkan pakaian basketnya pun telah basah karena peluh. Ia mendribble bola berwarna oranye itu dengan tatapan mata bak elang. Satu poin saja cukup untuk membuat team-nya menang.

Teriakan para penonton di sekitar lapangan membuat suasana semakin tegang dan ramai. Will mengedarkan pandangannya ke sudut lapangan di mana Sia sedang memperhatikannya dari kejauhan. Tak ada teriakan dari bibir gadis itu. Namun Will yakin tadi gadis itu memaksakan sebuah senyum tipis yang dalam hitungan detik langsung menghilang. Tapi itu cukup untuk William. Setidaknya Sia benar-benar memberikannya semangat dalam pertandingan ini.

"Sini Will," teriak Prakoso yang baru saja berlari dari arah belakangnya. Will memandang wajah Prakoso sekilas. Seakan mengerti arti pandangan itu, William langsung melemparkan bola ditangannya kepada Prakoso.

Dengan tangkas Prakoso menangkap bola oranye itu dan mendribblenya dengan lincah. Suara wasit memberitahukan jika waktu pertandingan akan selesai dalam tiga puluh detik. Sorakan-sorakan para penonton semakin riuh.

Ketika William memajukan tubuhnya mendekati ring tanpa menoleh, Prakoso menipu lawannya ketika ia bertingkah hendak melakukan aksi three point. Karena nyatanya ia melemparkan bola itu pada William yang berlari melewati tubuh Prakoso dan menerima bola tersebut. Lalu dalam hitungan sepuluh detik terakhir bola yang dilemparkan William ke arah ring, berhasil masuk dan mencetak satu poin lebih unggul! Sehingga team William menang!

William dan teman-temannya bersorak riang. Sedangkan mata William sibuk mencari sosok di sudut lapangan. Tapi sayang, sosok Sia sudah tidak berdiri di situ lagi. Membuat senyum di bibir William memudar.

***

Sia mencoba melepaskan tangannya dari laki-laki yang sedang menariknya. Sedangkan Maya terus memanggil nama Sia dan merengek supaya laki-laki itu melepaskan temannya. Tapi Melky seakan tidak peduli. Bahkan keberadaan Maya pun tidak ia anggap.

Melky membawa Sia ke dalam toilet laki-laki. Membuat Maya tidak berani masuk ke dalamnya.  Rasa panik mulai masuk ke dalam hati Maya. Otaknya mulai berpikir kepada siapa ia harus meminta tolong. Sedangkan tidak banyak teman yang baru dikenalnya di sekolah ini. Lapor guru juga tidak mungkin. Maya tidak mau Sia masuk ruang BP di hari ke dua mereka menginjak masa SMA. Sebuah ide muncul di dalam kepalanya. Cepat-cepat Maya berlari mencari sosok di dalam kepalanya sebelum Melky melakukan hal-hal yang tidak diinginkannya kepada Sia. Bertahanlah Sia!

***

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang