"Lain kali lo jangan cari William kalau minta bantuan! Janji May?" kata Sia penuh penekanan. Masih ingat dalam ingatannya sesampainya di rumah kemarin.Lia masuk ke dalam kamarnya dengan mata penuh kebencian. "Jauhin William. Jangan buat dia susah kaya lo yang udah nyusahin mama."
Diam. Sia memilih tidak menjawab dan meletakkan ranselnya. Belum lima menit ia berada di dalam kamarnya, tapi Lia yang melihat kepulangannya langsung menyusulnya ke dalam kamar.
"Gue tau. Lo nggak usah khawatir. Gue bisa urus diri gue sendiri." Sambil menahan amarah di dalam dirinya, Sia melewati tubuh Lia dan menarik pintu kamarnya lebih lebar. "Sekarang lo bisa keluar dari kamar gue. Gue capek."
Lia mendengus lalu melangkah keluar dari kamar Sia tanpa berkata apa-apa. Perlahan Sia menutup pintu kamarnya dan jatuh terduduk di balik pintu kamarnya.
Ia memejamkan matanya sejenak. Sakit. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi hatinya saat ini. Padahal sejak kecil Sia sudah berusaha untuk kuat. Namun tetap saja setiap kata sinis yang kelaur dari bibir Lia seperti duri yang terus menusuk hatinya berulang kali tanpa menunggu lukanya mengering.
"Iya, iya. Habis waktu itu gue panik banget. Takut Melky kasarin lo. Kebetulan pas gue lagi cari sosok kakak lo, eh...William panggil gue. Cepet-cepet deh tuh gue minta bantuan dia. Brilian kan ide gue, Si?" tanya Maya bangga akan kemampuannya.
"Brilian pala lo! Lo tau kan May, Lia itu kayak apa. Jadi gue harap kejadian kayak kemarin nggak terulang lagi. Lagian gue masih mampu ngadepin Melky."
Maya memandang temannya dalam diam. Dia tahu dengan baik bagaimana sikap Lia kepada adiknya itu. Aneh memang tapi itulah kenyataan. Yang tidak Maya mengerti adalah alasan kebencian Lia kepada adiknya sendiri. Padahal salah Sia apa? Dia hanya berusaha menjadi diri sendiri.
"Permisi, kamu Sia ya?" tanya seorang perempuan manis dengan rambut hitamnya yang panjang. Well, Sia juga panjang rambutnya tapi nggak keurus. Berbeda dengan gadis ini.
"Iya," jawabnya singkat meski di dalam kepalanya sedang berpikir siapa gerangan gadis ini.
"Mantannya Melky?"
"Eh? I-iya.."
Detik berikutnya senyum lebar terpatri di bibirnya lalu ia menyodorkan sebelah tangannya.
"Kenalkan nama gue Flora. Gue dari kelas sepuluh satu."
Sia memandang tangan tersebut sebelum menyambutnya.
"Sia."
"Boleh gue berteman sama lo?"
Kerutan di dahi Sia membuktikan jika dirinya sedikit bingung dengan sikap gadis yang sangat to the point ini.
"Boleh..." Tanpa meminta izin, Flora langsung duduk di salah satu bangku kosong yang ada di meja Sia dan Maya. Lalu ia melirik Maya dan mereka pun berkenalan.
Kantin yang penuh keramaian di jam istirahat ini membuat keramaian yang memenuhi tempat ini. Namun tidak dengan tiga gadis itu. Masing-masing masih terdiam.
"Okay! Jadi karena sekarang kita berteman, gue langsung aja ya. Gue suka sama Melky. Dan gue denger lo mantannya, jadi gue mau minta bantuan lo buat deketin Melky."
"Hah?"
Maya yang di sisi Sia juga tidak kalah terkejutnya. Bibirnya terbuka lebar. Namun tak ada suara seperti Sia yang kali ini menampakkan kebodohannya lagi.
Sedangkan Flora memandang kedua teman barunya dengan pandangan bingung.
"Ada yang salah sama permintaan gue?" tanyanya heran.