Empat

12.5K 1.3K 19
                                    

Pandangan dua anak manusia itu terus berada seakan ada sinar listrik yang terpancar dari keduanya. Mungkin terdengar berlebihan akibat kebanyakan nonton film, tapi itulah yang sedang terjadi diantara Melky dan Sia dengan sebelah tangannya yang masih ada di dalam genggaman laki-laki itu.

"Sakit nyet!" maki Sia.

"Gue nggak peduli. Sampai lo kasih penjelasan ke gue. Baru gue lepasin," jawab Melky tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Sia.

Well, Sia memang kalah cantik jika dibandingkan Lia. Tubuhnya yang pendek, hanya mencapai satu setengah meter lebih delapan sentimeter. Belum lagi kulitnya yang sawo matang membuat dirinya hampir sama dengan batang pohon. Bahkan hal yang dapat dibanggakan dari wajahnya hanyalah kedua matanya yang memiliki bulu mata yang lentik dan panjang. Tapi herannya, Melky, laki-laki paling populer di sekolahnya menyukai Sia. Mereka sempat menjalin kasih selama enam bulan sebelum akhirnya Sia memutuskan hubungan mereka sebelah pihak. Alasannya simple, terlalu banyak perempuan yang tidak menyukainya menjadi pacar Melky.

Katakanlah Sia pengecut, tapi dia nggak mau dirinya jadi bahan bully buat para perempuan yang addicted akan Melky. Memang sih Melky cukup tampan, kapten tim basket dengan rambut hampir cepak. Tubuhnya yang berisi, bukan gemuk, membuat dirinya terlihat mampu melindungi perempuan mana pun. Termasuk Sia. Dirinya yang sering ditindas oleh kakaknya, menemukan sosok Melky dan membuatnya berpikir ia akan merasa terlindungi. Nyatanya, Melky terlalu cuek untuk ukuran seorang pacar, itu menjadi salah satu penyebab Sia memutuskannya. Namun alasan yang satu ini sengaja Sia simpan untuk dirinya sendiri saja.

"Nggak ada yang perlu dijelasin lagi. Ngotot banget sih lo!" teriak Sia kesal karena Melky tak kunjung melepaskan pergelangan tangannya.

"Gue butuh alasan Si. Makanya gue masuk sekolah ini. Dan semua ini demi lo. Gue mau kita balikan. Gue masih sayang sama lo..."

Sia terdiam. Sejujurnya ia masih menyukai Melky, tapi Sia tidak mau kembali pada laki-laki ini. Alasannya simple, ia tidak mau jatuh di lubang yang sama. Lagipula rasanya jantungnya ini sudah tidak berdetak lebih cepat seperti biasanya ketika berada di dekat Melky. Aneh tapi nyata.

"Sayangnya gue udah ngerasain hal yang sama sama lo. Sekarang lepasin tangan gue atau gue teriak?" ancam Sia dengan raut wajah seriusnya.

Melky tersenyum lirih, "Gue nggak percaya."

"Itu terserah lo mau percaya atau nggak. Gue nggak peduli. Yang penting lepasin tangan gue!" teriaknya kesal karena Melky tidak kunjung melepaskan tangannya. Sekuat tenaga Sia menghentakan tangannya namun kekuatan Melky pada lengannya memang patut diacungi jempol.

"Nggak. Sampai lo bilang ke gue kalau lo masih sayang sama gue," kata Melky yang masih belum menyerah.

Sia menatap tajam wajah Melky dengan kesal. Mengapa di saat seperti ini tubuhnya tiba-tiba tak bertenaga? Apakah karena cengkeraman Melky yang terlalu kencang sehingga membuat tubuhnya melemah?

"Hubungan kita udah berakhir. Tepat pada saat lo memeluk Petra di dalam kelas," jelas Sia. Masih berusaha untuk tetap kuat di hadapan Melky.

"Lo salah. Petra yang peluk gue duluan. Bukan gue. Dia..."

"Tolong lepasin tangan Sia!" Sebuah suara bariton membuat keduanya menoleh ke ambang pintu.

Kedua mata Sia membesar. Bagaimana bisa William berada di sini? Tak lama kemudian kemunculan Maya yang mengintip dari belakang tubuh William menjawab pertanyaannya. Kemudian gadis berambut sebahu itu menyeringai lebar.

Ketika merasa pegangan Melky mengendur, dengan cepat Sia menarik tangannya dan mengusap pergelangan tangannya yang tampak memerah.

"Memang lo siapa? Ini bukan urusan lo jadi jangan ikut campur!" teriak Melky kesal.

"Gue ketua OSIS di sekolah ini. Kalau lo, anak baru di sekolah ini nggak bisa bertingkah layaknya anak sekolah, gue bisa aja laporin lo ke kepala sekolah kapan aja dan ujung-ujungnya bonyok lo yang harus mengurus semua perbuatan lo."

Melky menggeram, menahan amarah. Ia melirik Sia.

"Urusan kita belum selesai," ucapnya lalu berjalan meninggalkan Sia.

Ketika ia melewati William, mereka sempat saling pandang sebelum akhirnya Melky melangkah terus meninggalkan mereka.

Senyum lembut milik William terukir di bibirnya. Sejak awal William hanya ingin menggertak, tapi siapa sangka gertakannya ampuh untuk anak baru yang sok jagoan.

"Sia!! Lo nggak apa-apa kan?" seru Maya yang langsung berjalan menghampiri sahabatnya. Meraih tangan Sia untuk melihat pergelangan tangan gadis itu. "Liat! Apa yang udah dia perbuat sama lo. Ini harus di kompres Si! Kalo nggak nanti bisa berbekas!"

"Bukan apa-apa kok May. Lo nggak usah panik begitu."

"Cowok lo?" Pertanyaan William membuat keduanya menoleh.

"Ex, lebih tepatnya."

Bibir William membulat. "Ex, yang nggak bisa terima kenyataan?" tanyanya lagi dengan kedua alis terangkat.

"Kira-kira begitu."

William menganggukan kepalanya beberapa kali. "Lain kali cari ex yang lembut. Jangan sama yang model kaya gitu lagi. Mendingan sekalian lo pacarin beruang aja deh, gitu-gitu beruang penuh kehangatan."

"Teori dari mana?"

"Dari boneka beruang adik gue," jawab William sambil terkekeh.

Mendengar ucapan William mau tidak mau Sia menarik sedikit bibirnya. "Thank's."

"Buat?"

"Buat kedatengan lo yang tepat waktu."

"Your welcome. Tapi terima kasihnya buat temen lo aja yang udah cari gue."

"Lo bener."

Di sisinya Maya sedang merengut. "Thank you ya, May. Lo temen paling the best deh."

"Sama-sama Si, tapi jujur gue geli denger ucapan terima kasih dari lo. Bukan lo banget." Tidak tahan dengan sikap baru Sia, sontak Maya yang tidak tahan menahan tawanya, tertawa terbahak-bahak.

***

"Nih," kata seseorang yang berdiri di hadapan Sia yang sedang duduk menunggu kedatangan bis yang biasa di tumpanginya. Perlahan Sia mengangkat wajahnya dan menemukan sekantung plastik berisi es batu yang sedang disodorkan oleh William.

Bukannya menjawab, Sia memandang sekantung es dan wajah William bergantian.

William berdecak kesal. Meraih sebelah tangan Sia dan meletakkan sekantung es itu diatas telapak tangannya.

"Buat kompres memar di tangan lo. Sampe rumah, di kompres lagi. Okay?"

Pandangan mata Sia mengikuti sosok laki-laki itu hingga William duduk manis di motor bebeknya. Melemparkan senyum padanya sebelum memakai helmnya dan menjalankan motornya. Tak ada senyum di bibir Sia. Karena sosok gadis yang duduk di motor itu terus menatapnya tajam. Seakan-akan ingin mengulitinya hidup-hidup.

Setelah kepergian William, Sia memandang kantung berisi es itu. Mengapa hatinya terasa sakit hanya dengan melihat kantung berisi es ini?

***

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang