241O

2K 224 60
                                    

Emang bener ya, yang namanya sayang pasti nggak perlu disuruh kita juga udah peduli sama orang yang kita sayangi itu. Semuanya terjadi dibawah alam sadar kita, naluri kita mengatakan untuk melakukan hal-hal yang baik untuk orang yang kita sayangi itu.

Walaupun pada saat itu kita lagi marahan sama orang yang kita sayang.

Sudah sejam lebih Krystal di kost-an Kai. Dan terhitung sejak dia menemukan Kai terbungkus selimut tebalnya, Krystal langsung taro tas dan ngecek temperatur badan Kai. Tanpa disuruh juga, dia ngambil pereda demam dan menempelkannya di kening si cowok yang belakangan ini bikin Krystal pusing.

Dan adegan selanjutnya mungkin udah bisa ditebak. Krystal langsung bangkit berdiri, mungutin sampah dan puntung rokok yang tersisa di asbak, ngegulung kertas-kertas tugas Kai, mengambil sapu dan mulai beberes kamar yang bahkan lantainya aja nggak enak diinjak.

Dalam hati, Krystal membatin. Ini anak nggak risih apa tinggal di kamar kayak kandang kambing?

Eh, emang sejenis deng dia sama kambing mah.

Selesai beberes—yang sebenernya belum selesai banget—Krystal keluar kamar, bikin bubur dan air hangat, terus ke kamar Kai lagi. Dia mau bangunin, nggak tega. Akhirnya dia cuma bisa menunggu Kai bangun sambil merapikan buku-buku dan alat gambarnya Kai.

Dan sekarang, dia duduk di lantai sambil menyender tepi kasur Kai. Di atasnya, Kai lagi duduk menyender tembok, baru selesai makan bubur.

Percaya nggak percaya, Kai dan Krystal belum saling bicara sama sekali sejak Kai makan buburnya. Which is super awkward, karena mereka sama-sama nggak tau mau ngomong apa.

“Udah,” Kai meletakkan mangkuknya di atas kasur, lalu memejamkan mata.
“Belum habis itu, habisin.”

Kai menggeleng. “Mendingan kok, nanti lagi aja kalo laper.”

Krystal menatap Kai, mau protes. Tapi nggak tega, dan dia juga males debat sama Kai di saat kayak gini. Akhirnya dia nurutin Kai dengan ngambil mangkuknya dan meletakkan di atas meja. Dia ngambil obat, beserta minumnya lalu kembali ke Kai.

“Nih,” kata Krystal.

Kai nggak ngomong apa-apa. Begitu selesai minum, dia baru ngomong, pelaaan banget. “Kamu daritadi disini?”

“Lumayan lah,” Krystal nggak mau ngaku dia udah berapa jam disitu.

“Tau darimana aku..”

Krystal melengos, “Penting ya? Yang penting aku dateng kan. Kalo kamu udah mendingan, aku pulang.”

Ekspresi muka Kai berubah, tapi Krystal nggak sadar. Perempuan itu sibuk menyusun mangkuk, gelas dan obat penurun demam Kai di atas meja belajar dengan rapi. Iya, Krystal emang termasuk perempuan yang rapi dan nggak betah sama yang berantakan. Jadi dia bakal merapikan apapun yang menurut dia berantakan. Dan kamar Kai, adalah salah satu korbannya selama ini.

“Nggak mau marah?” Kai bertanya, nggak sanggup diam-diaman sama Krystal di ruangan yang sama. Dia pengen banget ngobrol sama Krys malah, tapi dia mendadak grogi kayak anak SMP, plus kondisi dia masih nggak enak sebenarnya.

Krystal sudah kembali memandangi Kai, yang menepuk atas kasurnya agar Krys duduk disitu. Dia menggeleng, tapi kemudian duduk di tepi kasur Kai. “Capek marahin kamu, karena besok-besok kamu juga begini lagi.”

“Kemarin aku ngebut nugas, tau sendiri kan—”

“Iya tau, tapi at least tidur sejam dua jam gitu, bisa kan?”

Kai nyengir, “Aku kan kalo udah tidur susah bangun.”

Perempuan itu berdecak, “Harus bisa.”

OctoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang