Aku tak bisa berlari jauh.
Aku tak boleh tertawa terlalu lama.
Aku dilarang berenang.
Terlalu banyak peraturan dikehidupanku. Bagiku ini sangat menyebalkan. Aku hanya sanggup berlari paling jauh delapan meter, bila lebih dari itu, kuanggap rekor terbesar dalam hidupku. Orangtuaku menjauhkanku dari segala hal yang berbau komedi dan apapun yang bisa memicuku tertawa terbahak-bahak. Aku hanya bisa diam atau tersenyum tipis bila ada lelucon, dan itu membuatku terlihat aneh. Aku tak pernah merasakan menyelam di air, dan aku penasaran setengah mati bagaimana rasanya membuka mata di dalam air. Mungkin sejuk, mungkin perih, apakah rasanya seperti saat memakai obat tetes mata?
Itu semua tak lucu, itu semua memang hal sepele, tetapi aku tak pernah melakukannya. Aku tak boleh melakukannya, karena aku bisa mati. Hal-hal sepele itu bisa membunuhku. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi aku tak sedang bergurau. Aku tak bisa melakukannya karena aku sakit semenjak kecil. Dokter memvonis jantungku lemah. Dan semenjak itu aku hidup dalam lingkungan super protektif sekaligus peraturan-peraturan menyebalkan.
Tetapi terkadang aku bandel. Aku melanggar peraturan yang membahayakan nyawaku. Aku tak sedang cari mati, aku hanya penasaran setengah mati. Saat usiaku sembilan tahun, aku nekat menceburkan diri ke kolam renang pribadiku. Itu karena aku tertarik melihat Doggy, anjingku berenang disana. Yang terjadi kemudian aku megap-megap di tengah kolam. Untunglah Doggy berhasil menyeratku ke tepian. Karena kenekatanku itu, paru-paruku terisi air. Dan Ayah memutuskan meratakan kolam renang itu dengan tanah dan mengubahnya menjadi taman.
Kenekatanku tak hanya sampai disitu. Suatu hari saat aku sedang sehat, aku bermain-main di kamar. Kasurku yang empuk kujadikan trampolin dan aku dengan semangatnya melambung-lambungkan badanku naik turun serupa akrobatik. Hingga akhirnya aku kelelahan dan berteriak meminta minum pada Bik Uci. Dengan tergopoh-gopoh, Bik Uci membawakannya untukku.
"Sesak, Bik..." aku memegangi dadaku.
"Aduh non, tadi ngapain aja. Non kan dilarang main yang berat-berat sama Tuan."
Malamnya Ayah memarahiku dan mengancam akan mengganti kasurku dengan kasur kapuk yang keras bila aku nekat melakukannya lagi.
Aku tak kapok. Kenekatan-kenekatanku yang lain terus berlanjut. Semakin dilarang, justru aku semakin nakal. Aku hanya baru kapok bila diancam. Jika Ayah memarahiku dengan ancaman-ancamannya yang menciutkan nyaliku, aku hanya bisa berkata,
"Aku penasaran..."