Tangga kayu berderit begitu kunaiki. Semoga nenek tak mendengarnya dan mengomeliku dengan bahasa Sundanya yang membuatku memiringkan kepala. Loteng ini bersih, sepertinya sering dikunjungi. Syukurlah tak ada debu, itu bahaya sekali.
Loteng berukuran 3 x 5 meter itu hanya berisi rak dengan buku-buku kuno yang terawat, dicelah-celah rak terdapat kabur barus, nenek benar-benar menjaganya dengan baik. Tak ada yang menarik bagiku, hanya buku-buku sastra jaman dahulu yang sulit kupahami bahasanya. Terlalu bermajas tinggi, gumamku.
Aku lalu turun dari loteng. Ketika langkahku tinggal dua anak tangga lagi, terdengar suara yang mengejutkanku dari belakang.
"Baaa!"
"Hann..." Aku terkejut hingga reflek hamper mengucap kata hantu namun urung ketika melihat wajah dibelakangku, Anne.
"Ahaha, masih seneng ngepoin rumah orang ya, Lu?"
"Rumah nenek gue tau!"
"Nenek gue juga kali."
"Untung jantung gue nggak copot." Dengusku.
"Lagian jatuhnya nuga di perut kan, Lu." Bawaan semenjak lahir, Anne memang suka jahil.
"Lo ditunggu sodara lo yang lain tuh." Anne menunjuk ke arah ruang tamu.
"Siapa aja Ann?"
Anne hanya menggerdikkan bahu, mengisyaratkan aku agar melihat sendiri. Disana ternyata sudah ada Rei, kakak Anne, juga Andrew.
"Kalian bertiga nyusul gue?" Tanyaku.
"Disuruh sih lebih tepatnya." Jawab Rei
"Sebenernya tadi Cuma gue dan Anne yang disuruh sama Om Henry nemenin lo, tapi Andrew ikutan gegara dia lagi nggak ada kerjaan." Lanjut Rei, Henry itu nama Ayahku.
"Oh..." Jawabku singkat.
"Sekarang kita mau kemana?" Anne menggelayuti lengan kakaknya.
"Lo baru dateng udah mau pergi lagi" Sela Andrew.
"Biarin! Emang nggak susah apa njemput lo? Rumah lo tuh di gunung, bikin susah yang nyetir nanjak."
"Bawel, lagian yang nyetir tuh kakak lo, bukan elo!" Andrew jahil memelorotkan kacamata Anne.
"Jahat!!" Anne berteriak marah pada Andrew sambil membenarkan letak kacamatanya.
"Udah, sekarang kita istirahat dulu, besok baru pergi." Rei menengahi.
"Emang mau kemana, Rei?" Tanyaku.
"Lihat saja besok."
***
Gunung Paralayang, Bandung.
Mobil Rei melaju pelan menembus kabut. Berangkat pagi-pagi buta memang idenya, argumennya mengatakan agar tidak terjebak macet. Dan suhu mendekati minus sukses membuat gigiku bergemeretuk.
"Kalian gila ya, ngajak gue ke tmpat kayak gini." Protesku.
"Anggap saja demikian." Jawab Andrew enteng.
"Biar lo ngerasain hal-hal ekstrem, Lu. Lagian lo pasti penasaran kan?" Rei menimpali.
Jalanan semakin menanjak, entah sudah di ketinggian berapa meter sekarang. Cahaya matahari mulai tampak menembus tebalnya kabut. Kutempelkan telapak tanganku ke jendela yang embunnyatelah menguap oleh sang surya. Hangat. Hidungku pelan mendekati kaca, saat jaraknya tinggal beberapa senti, hembusan napasku menghasilkan jejak-jejak uap di permukaannya. Kumainkan jejak-jejak uap iti denga jemari tanganku hingga akhirnya mobil berhenti disebuah hamparan tanah luas, kami telah sampai.