3. KUNING

101 9 0
                                    

Hidupku serupa udara yang terperangkap di dalam balon. Tak ada aktivitas apapun bagiku sepulang sekolah. Hanya membaca ataupun browsing seharian di kamar yang bagi orang kebanyakan dicap pemalas. Namun justru sikap antengku yang pemalas ini meringankan beban Bik Uci di rumah, ia tak perlu mendengar omelan-omelan Ayah bila aku berulah.

Sepiku bertambah karena aku anak tunggal, nyaris saja aku menganggap Doggy adikku, karena hanya dia yang selalu menemaniku. Tapi kali ini Doggy sedang perawatan rutin di klinik hewan. Jadilah hari itu aku ingin sekali berulah, entah itu mencoba treadmill Mama atau sekedar jungkir balik hingga kelelahan, namun aku sedang malas sekali untuk sekedar menggerakkan badan.

Entah mendadak saja aku ingin memainkan piano di sudut ruang tamu, namun aku tak tahu cara memainkannya. Berulang kali Mama mengajariku, namun yang kuhasilkan hanya nada sumbang yang merusak telinga, aku memang benar-benar tak berbakat dalam hal musik.

Kubuka buku tebal berisi ratusan lagu beserta not balok yang selalu terpasang di atas piano. Kubuka halaman demi halaman, memang tak ada lagu yang kuhafal dari buku tersebut, namun setidaknya aku bias memainkannya, walau agak terpatah-patah, aku harus jeli menggerakkan kedua bola mataku dari buku ke tuts piano.

Halaman 178, Where. Entahlah itu lagu milik siapa. Aku ingin memainkannya, pilihanku tertumpu pada lagu itu. Yah, aku mengingat Alex yang entah dimana ia sekarang. Berhari-hari sejak pertemuan sabtu sore itu aku tak pernah lagi melihatnya meski sudah kutunggu hingga sang surya kembali ke peraduannya.

Beberapa kali Pak Sardi menemaniku, bingung dengan tingkahku yang setiap sore mendribble bola sendiri di lapangan basket sekolah meski aku tak becus melakukannya. Aku tak pernah memberitahu Pak Sardi soal ini, malas saja bila nanti ia mengolok-olokku, bilang ke seluruh penghuni rumah bahwa aku mempunyai teman lelaki baru, aku tak suka itu, menyebalkan, lebih baik tak usah diberitahu.

Hingga hari keempat aku menunggunya, ia masih tak terlihat batang hidungnya. Entahlah, mungkin ia sudah tak membutuhkan lapangan ini lagi, mungkin saja lapangan sekolahnya telah selesai direnovasi, atau mungkin saja ia melupakanku, entahlah. Sia-sia penantianku selama ini. Aku terbodohkan oleh harapan yang kutanam sendiri, prasangkaku bahwa ia akan muncul lagi benar-benar keliru.

Sore itu, dengan sisa tenaga, kuhantamkan bola basket kuat-kuat ke tiang ring, aku benar-benar kecewa, tapi Pak Sardi yang menemaniku lebih bingung lagi.

"Kita pulang, Pak!" Kubuka suara terlebih dahulu sebelum Pak Sardi menanyakan keheranannya padaku, kami lalu pulang.

Hari-hari berikutnya aku tak lagi menunggunya, setelah bel pulang sekolah berbunyi aku langsung pulang ke rumah. Aku tak mengikuti ekstrakulikuler apapun, jadi aku bisa oulang lebih awal hari ini.

Namun saat aku tak menunggunya, justru ia muncul.

Pagi itu Ara memberitahuku bahwa kemarin sore ia dating mencariku.

"Siapa nama temen lo itu? Alex kan? Dia kemarin sore kesini. Gue awalnya ngerasa aneh aja ada anak pakai jersey basket sendirian kesini, kirain mau tanding, eh ternyata nyariin lo."

"Trus dia gimana? Nggak nanya-nanya atau ngomong sesuatu ke lo?" Tanyaku antusias.

"Nggak ada. Begitu gue jawab lo udah pulang duluan dia langsung cabut. Gitu aja."

Aku mendesah, kecewa.

"By the way, lo ada hubungan apa sih sama dia? Kok kalian bisa kenal? Lo kan jarang main." Ara mencecarku dengan berbagai pertanyaan menyelidik.

"Bukan urusan lo." Aku berlalu meninggalkannya, malas menjawab. Aku memang sosok gadis yang tertutup.

Denting piano terakhir habis, nada yang benar-benar sumbang. Namun aku tak memedulikan soal itu, yang kupedulikan hanya memori yang berputar karenanya. Tapi bukankah lebih indah bila aku mampu memainkannya dengan baik? Baiklah, aku akan mempelajarinya lebih dalam lagi.

RainbowWhere stories live. Discover now