"Biru adalah warna yang luas.
Biru itu langit.
Biru itu lautan.
Dan keduanya sangat luas."
Au memberi tepuk tangan pada Willy—adik sepupuku yang berumur lima tahun—begitu ia selesai mengeja kalimat yang kubuat. Willy tertawa riang sembari menghambur kepangkuanku.
"Kak Una pernah terbang?" Tanyanya polos.
"Seru, Kak?"
"Tentu saja seru, Willy. Rasanya seperti bebas..." Aku mengembangkan kedua tanganku dan mengepakkannya seolah-olah sayap.
"Asyik, Willy mau coba."
"Iya, nanti kalau Willy sudah besar, ya."
"Kalau menyelam, Kak?"
Aku terdiam, pertanyaan Willy mustahil bisa kujawab. Maka aku hanya menggeleng perlahan. Tak mungkin aku mengatakan bahwa menyelam itu seperti memakai obat tetes mata, itu hanya asumsi konyolku selama ini. Entah ini rasa penasaranku yang keberapa, tapi aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya berenang dan membuka mata di kedalaman.
Dari luar terdengar suara mesin mobil, rupanya Tante Resa—mama Willy—datang menjemput putranya. Begitu tante Resa muncul di ambang pintu, Willy seketika langsung menghambur kepelukannya.
"Harimu menyenangkan, Willy?" Tanya Tante Resa pada anaknya yang dijawab oleh Willy dengan anggukan.
"Ma, kata Kak Una dia pernah terbang. Terbang itu rasanya bebaaas..." Ujar Willy sembari meniru gayaku memeragakan burung.
Aku mendelik, takut bila rahasia liburanku terbongkar. Tante Resa menatapku penuh tanda tanya. Selama ini yang keluarga besarku tahu, aku tak pernah sekalipun melakukan perjalanan udara. Dan omongan Willy yang ceplas-ceplos membuat heran Tante Resa.
Aku hanya mengerdikkan bahu, seolah tak tahu apa-apa. "Imajinasi, Tan." Ujarku berbohong.
Tante Resa percaya, mungkin itu hanya bualanku untuk menghibur anak kecil.
"Terimakasih, Lu, sudah menjaga Willy." Ucap Tante Resa di ambang pintu sebelum ia pergi. Aku tersenmum dan mengangguk. Kututup pintu lalu berbalik menyandarkan punggungku pada daun pintu.
"Fuuh, hampir saja." Gumamku.
Kukeluarkan ponselku dari saku bajuku dan mengetik beberapa kata di mesin pencari,
'Kepulauan Seribu.'
***
Keinginanku untuk mencoba berenang dan menyelam semakin menggebu-gebu. Semenjak Willy melontarkan pertanyaan yang tak bisa kujawab tempo hari, aku semakin penasaran akan jawaban yang belum terpecahkan selama ini. Tetapi ini baru awal tahun ajaran baru, itu artinya aku harus menunggu liburan berikutnya. Itupun bila Ayah mengizinkanku bepergian. Tetapi kurasa nanti akan sulit mendapatkan izin, aku sudah dihadapkan dengan berbagai ujian akhir kelulusan, Ayah pasti akan menyuruhku lebih giat belajar, atau mendatangkan guru privat ke rumah. Benar-benar membosankan.
Hari ini aku sedang tidak mood belajar. Aku membaca komik secara sembunyi-sembunyi selama pelajaran berlangsung. Ara yang sebangku denganku tampak sedang berjuang menahan kantuk. Pelajaran sejarah selalu membosankan bagi kami, mungkin karena materi yang kuanggap sebagai bahan dongengan yang membahas masa lalu.
Penantian panjang Ara akhirnya berakhir. Begitu bel istirahat berbunyi, kepalanya langsung roboh ke atas meja hingga mengeluarkan bunyi gedebuk. Begitu kelas mulai sepi ditinggalkan penghuninya, kukeluarkan kotak bekalku dari dalam tas. Hari ini mama membuatkanku sandwich ikan tuna. Aromanya langsung menguar begitu penutup bekal kubuka. Ara terbangun demi mencium aromanya yang cukup lezat.