Mataku mengerjap-ngerjap. Ruangan UKS hampir gelap, hanya cahaya matahari berwarna jingga yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Kulirik jam dipergelangan tanganku, sudah sore. Pelajaran terakhir sudah slesai tiga jam lalu. Aku jengkel karena tak ada yang menjemputku ke UKS untuk sekedar membangunkanku. Dengan muka sebal aku berjalan keluar ruangan menuju ke kelasku. Sekolah sudah sepi, tak ada ekstrakulikuler di hari Sabtu. Tapi, mengapa ada cowok bermain berjerser yang bermain basket di tengah lapangan, sendirian pula.
Aku meneruskan menuju ke kelas mengambil tasku, kelas sudah sepi, kekesalanku bertambah. Aku lalu menelepon Pak Sardi, sopirku untuk menjemputku.
"Duh non, Bapak kirain non ikut ekskul..."
"Ini Sabtu Pak, nggak ada ekskul."
"Bentar ya, non. Jalanan macet."
Klik. Hari ini memang hari sialku.
Percuma menunggu Pak Sardi dengan bengong, karena tak mungkin beliau datang sepuluh duapuluh menit. Akhirnya dengan bakat penasaran, kuberanikan diri melangkah menuju lapangan. Cowok yang kuhampiri menghentikan aktivitasnya mendribble bola.
"Lo anak SMA ini?" tanyaku.
"Bukan." Jawabnya, pantas saja aku tak mengenalnya.
"Sori ya, gue minjem lapangan sekolah lo, tempat gue lagi direnovasi."
"Oh..."
Dia lalu melanjutkan permainannya.
"Lo nggak pulang? Bentar lagi gelap, nggak baik anak cewek keliaran petang-petang sendirian." Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bola basket yang dimainkannya.
"Gue lagi nunggu jemputan."
"Oh..." Nada yang serupa.
Dia tetap bermain sementara aku duduk di pinggir lapangan mengamatinya. Aku melirik jam, sudah lebih dari duapuluh menit, namun jemputanku belum juga tiba.
"Hey, nama lo siapa?" Panggilan cowok itu mengalihkan pandanganku dari pergelangan tanganku.
"Luna."
"Oh ya, Luna. Lo mau main basket bareng gue?" Tawarnya.
"Sorry gue nggak bisa."
"Kenapa? Nanti gue ajarin deh." Tawarnya lagi.
"Hmm... Gue nggak boleh olahraga berat-berat."
"Kenapa? Bukannya olahraga bikin sehat."
Dia penasara, lalu menghampiriku duduk di pinggir lapangan, kakinya ia selonjorkan begitu saja.
"Gue Alex." Ia memperkenalkan namanya.
Aku tersenyum, suaranya lembut sekali. Tanpa ragu aku bercerita tentang penyakitku, juga vonis dokter bahwa usiaku takkan lama, juga tentang aturan-aturan super protektif dari orangtuaku. Ia dengan santainya mendengar ceritaku, ia bahkan sama sekali tak tersedak saat sedang minum begitu aku menyebutkan bahwa aku sakit jantung. Ia bersikap netral.
"Adek gue juga sakit jantung." Ia menatapku, tak ada sorot kasihan disana. Yang ada hanya tatapan saling memahami, bahwa ia juga merasakan kesedihan yang sama.
Ia lalu bercerita tentang adiknya. Tentang bagaimana paniknya keluarganya saat penyakit adiknya kambuh. Tentang bagaimana ia rela menjadi sopir pribadi khusus untuk mengantar jemput adiknya ke sekolah. Dan kerelaannya mengorbankan pertandingan basketnya demi menemani adiknya ke rumah sakit.
"Adek gue bandel banget waktu itu. Dia suka ngelakuin hal-hal berat buat dirinya. Gue sampe pusing ngurusin adek macem gitu. Tapi sekarang gue kangen dia."
Aku pun sama bandelnya.
"Malem sebelum dia pergi Lun, dia ngajak gue jalan-jalan ngeliat senja. Tapi sayang sore itu hujan, jadi keinginannya pupus." Alex menghentikan ceritanya, rahangnya mengeras. "Gue nggak tau kalo itu permintaan terakhir adek gue sebelum malemnya ia meninggal. Andai gue tau Lun, gue bakal maksa tuh hujan buat berenti, gue bakal teriak-teriak manggil matahari buat nongol lima menit aja. Tapi nyatanya nggak bisa Lun."
Aku menepuk pundaknya, mencoba mengalirkan ketenangan, aku bahkan belum mengenalnya setengah jam, tapi keakraban kadang tak memerlukan waktu bukan.
"Meski sore itu hujan, bila ada matahari, maka pelangi juga akan ada." Aku tiba-tiba berkata yang bahkan aku sendiri tak tahu apa hubungannya dengan cerita Alex.
"Sore itu sama sekali tak ada matahari..." Mata Alex mulai basah, aku menyodorkan tisu kearahnya tapi ditolaknya. "Gue gak bakal nangis Lun. Gue tahu disana adek gue udah tenang, udah nggak sakit lagi. Gue ikhlas."
"Gue bahkan nggak bisa bayangin sampai kapan umur gue ini, Lex."
Matanya menoleh, dua butir air mata jatuh dari kelopakku, tangannya refleks mengusapnya, singkat.
"Syukuri setiap nafas yang Tuhan beri buat lo, Lun. Karena kita nggak bakal tau kapan Dia berhentiin nafas kita."
Aku mengangguk, jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul lima lewat duapuluh menit. Sudah lebih setengah jam aku menunggu disini dan tanpa sengaja aku bertemu cowok berjersey yang hidupnya hampir serupa hidupku. Dari sekian banyak orang yang kujumpai, hanya ia yang tak menatapku dengan pandangan iba karena penyakitku. Hanya ia yang mengerti bahwa yang kubutuhkan hanyalah kekuatan, bukan rasa kasihan yang sering diperlihatkan orang-orang. Aku nyaman dengannya, kurasa ia pun sama.
"Senja, Lun." Alex menyenggol bahuku, tangannya menunjuk ke arah Barat, disana matahari tampak turun perlahan-lahan ke peraduannya, menyisakan warna jingga di angkasa.
"Andai lo itu adik gue yang seharusnya gue ajak menikmati senja kayak gini ya." Alex menggumam, sangat jelas.
Aku hanya tersenyum. Hening. Pandanganku terpaku pada titik terang di Barat yang semakin meredup. Senja terlalu sempurna untuk diabadikan dengan kamera, keindahannya cukup kita abadikan dengan hati saja. Karena yang di hati takkan lenyap sekalipun kita memaksa.
Pertemuan juga terlalu berkesan untuk diakhiri, namun ia telah sejak lama bersahabat dengan perpisahan. Pertemuan selalu menggandeng perpisahan kemanapun ia pergi. Dan kali ini ia juga menguntitku dengan Alex disini.
Senja mulai menghilang tatkala mobil yang menjemputku tiba. Aku meninggalkan Alex tanpa ucapan apa-apa. Hanya harapan untuk bisa bertemu dengannya lagi yang kusampaikan tanpa suara lewat tatapan mata dan jari yang melambai dibalik jendela kaca. Tapi lusa sorenya, aku tak lagi menemukannya hingga sore-sore berikutnya. Dan senja yang kulalui tanpanya terasa tak sama. Aku benar-benar merindukannya.