Aku mengenalnya semenjak kami masih belum paham apa arti gaya gravitasi, bagaimana cara membagi dan mengkalikan bilangan, dan apa arti kehidupan setelah kematian. Saat itu kami hanya memahami dimana tempat membeli gulali dan telur grandong. Aku mengenalnya tepat di hari pertamaku pindah sekolah di kota ini. Di kota yang orang bilang adalah kota pelajar dan kota budaya. Kota yang nantinya aku ketahui sebagai kota pemilik kutukan sejuta rindu. Siapapun yang pernah singgah atau menetap beberapa waktu di kota ini, konon katanya akan selalu merasakan rindu untuk kembali ke kota ini. Yang aku pertanyakan di kemudian hari, sebarapa banyak kah persediaan rindu yang dimiliki oleh kota ini? Jika dibuat sebuah neraca, maka aku yakin, akun persediaan rindu di kota ini memiliki jumlah terbesar dibanding dengan jumlah aset yang lainnya.
Perkenalan kami tidak hanya sekedar sebuah perkenalan yang sambil lalu. Seperti kebanyakan cerita persahabatan, orang pertama yang kita kenal akan menjadi sahabat terdekat untuk selanjutnya. Ya, dan itu lah yang terjadi pada kami. Aku duduk di bangku di sebelahnya. Kami duduk semeja, di meja paling depan di kelas. Meja yang tepat berada di depan meja guru. Meja yang menjadi meja paling angker bagi anak-anak lainnya. Sudah beberapa hari semenjak tahun ajaran baru, ia duduk sendirian di meja itu. Tidak ada satu anak pun yang mau duduk di sebelahnya. Bukan karena tidak ada satu anak pun yang mau untuk duduk di dekatnya. Tapi tidak ada satu anak pun yang mau duduk persis di depan meja guru. Sementara ia duduk di meja itu pun hanya karena terpaksa, karena ia merupakan murid yang datang paling terlambat di hari pertama tahun ajaran baru dimulai.
Kami masih kelas dua sekolah dasar kala itu. Aku mengulang kelas dua di tahun itu. Bukan karena aku bodoh dan tidak naik kelas. Kata Ibu, aku menjadi murid paling pintar di sekolahku yang lama, namun karena aku masuk SD satu tahun lebih muda daripada umurku yang seharusnya, maka Ayah memutuskan untuk menempatkanku di kelas dua saat aku pindah sekolah. Katanya agar secara psikologis aku dapat menyesuaikan dengan teman-teman seumuranku. Tapi yang ada, hampir setahun aku menduduki kelas dua itu lagi, aku justru merasakan bosan karena hampir semua pelajaran sudah pernah aku lalui dan aku sudah hafal. Nilaiku saat itu buka nilai dari pemikiranku, tapi dari hasil menghafalku.
Kami bersahabat sangat dekat dan seperti drama anak SD pada umumnya, ada teman-teman sekelas kami yang tidak suka dengan kedekatan kami. Beberapa dari mereka bahkan ada yang dengan tidak segan berusaha merusak persahabatan kami. Bahkan sampai kami menginjak bangku SMP. Sekali dua kali persahabatan kami berhasil dikoyak. Namun seperti halnya jodoh yang tidak akan kemana. Kami pun kembali dekat. Tuhan masih mentakdirkan kami untuk tetap dekat. Hampir setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bersama karena jarak rumah kami yang berdekatan. Becak adalah alat transportasi favorit kami semenjak kami SD, sebelum akhirnya kami mengenal bus kota dan kendaraan pribadi. Kami menyebutnya sebagai becak kencana. Saat menaiki becak, kami kerap berlaku seperti dua orang putri raja yang sedang berkeliling negeri dengan becak kencana.
Pada tahun terakhir kami di SMP, kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke SMA yang berbeda. Bidang yang kami minati berbeda. Aku lebih menyukai pelajaran umum dan ia lebih menyukai pelajaran seni.
"Aku ingin menjadi seorang seniman," begitu katanya saat kami tengah duduk kelelahan setelah bermain sepeda di sore hari. Ia sangat pintar menyanyi. Suaranya sudah bagus sedari kecil. Bakatnya begitu besar. Bahkan guru vokal pun sebenarnya tidak terlalu banyak membantu meningkatkan kemampuannya. Ia memiliki bakat yang komplit beserta dengan bakat mengembangkan bakat menyanyinya.
Saat kuliah kami sempat hilang kontak karena kesibukan kami masing-masing. Ia sibuk dengan pertunjukkan-pertunjukkan seninya yang membuat namanya mulai dikenal di kalangan seniman daerah dan pada tahun tengah hampir akhir kuliahnya namanya juga dikenal di kalangan seniman nasional bahkan internasional. Sementara aku sibuk dengan penelitian-penelitian dan proyek dosen yang aku ikuti. Kami dua sahabat yang tumbuh bersama dan pada akhirnya memiliki dunia yang berbeda. Jika ada yang bertanya apa yang menyatukan kami. Tidak satu pun dari kami yang mampu menjawab. Tapi bagiku, mungkin keinginan Tuhan untuk mempersatukan kami lah yang membuat kami masih tetap bersahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIAM ADALAH BAHASA
Short Story~ Ada banyak bahasa di dunia ini dan aku memilih diam~ Kumpulan cerita-cerita pendek tentang diam yang lebih dipilih untuk menjadi sebuah bahasa. Karena tidak semua hal mudah untuk diungkapkan.